Transisi Paradigma Dalam Revisi UU TNI

Martin Dennise Silaban, Peneliti di SHEEP Indonesia Institute dan Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Istimewa
Martin Dennise Silaban, Peneliti di SHEEP Indonesia Institute dan Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Istimewa

Perubahan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru-baru ini diusulkan oleh Pemerintah dan disahkan oleh DPR menunjukkan adanya transisi yang signifikan dalam paradigma hubungan antara militer dan sipil di Indonesia.

UU yang disahkan pada masa Reformasi ini sebelumnya memiliki pendekatan yang sangat tegas dan terbatas, memisahkan secara jelas antara peran TNI sebagai kekuatan pertahanan dan urusan politik serta pemerintahan sipil. Namun, perubahan yang terjadi dalam beberapa pasal Undang-Undang tersebut mendorong terciptanya fleksibilitas dalam hubungan antara TNI dan sektor sipil, memberikan kesempatan bagi prajurit untuk secara perlahan-lahan kembali terlibat aktif dalam kehidupan sosial, politik, dan ekoNomormi, bahkan dalam bidang yang terkait dengan penegakan hukum.

Meminjam istilah Wendy Browns (2015) feNomormena ini dapat dilihat sebagai bentuk "stealth revolution", sebuah perubahan besar yang terjadi secara diam-diam dan tidak langsung terasa, namun memiliki dampak jangka panjang yang signifikan. Perubahan melalui revisi ini  memunculkan pergeseran mendalam dalam struktur hubungan antara militer dan sipil. Seiring dengan perubahan ini, prajurit TNI kini diberikan ruang lebih besar untuk berkontribusi dalam sektor-sektor sipil yang sebelumnya bukan menjadi domain mereka, termasuk penegakan hukum dan aspek-aspek lain dari pemerintahan sipil.

Stealth revolution ini menyiratkan bahwa meskipun perubahan tersebut dianggap tidak signifikan seperti apa yang dikemukakan DPR, dampaknya bisa sangat besar dalam merubah keseimbangan kekuasaan antara sektor militer dan sipil. Perubahan UU TNI ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai gradual transformation, yaitu sebuah perubahan yang berlangsung secara bertahap, namun memiliki potensi dampak yang sangat signifikan. Perubahan yang terjadi secara perlahan ini bisa mengubah struktur dan hubungan kekuasaan antara militer dan sipil dalam jangka panjang, dengan membawa konsekuensi yang mendalam bagi demokrasi dan masyarakat sipil di Indonesia.

Perubahan ini, meskipun dianggap bertujuan untuk memberikan lebih banyak ruang bagi pengembangan karir prajurit TNI dan juga menjaga profesionalisme TNI namun memunculkan kritik dari berbagai pihak termasuk Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang mencemaskan potensi kembalinya militerisasi politik dan pengaruh berlebihan TNI dalam urusan sipil. Dalam tulisan ini, saya akan membahas secara lebih mendalam perbedaan antara pendekatan yang ada dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 dengan paradigma baru yang muncul setelah perubahan, serta apa implikasi dari perubahan tersebut bagi sistem politik dan pemerintahan Indonesia secara keseluruhan.

UU Nomor 34 Tahun 2004: Memisahkan Militer Dan Pemerintahan Sipil

Pada dasarnya, UU Nomor 34 Tahun 2004 mengatur TNI sebagai lembaga yang independen dan terpisah dari urusan sipil selama prajuritnya masih aktif bertugas.

Dalam kerangka ini TNI diposisikan sebagai kekuatan pertahanan negara yang memiliki tugas utama untuk menjaga kedaulatan negara dan melindungi dari ancaman eksternal. UU ini memberikan batasan yang jelas tentang peran militer dalam politik dan sektor sipil, dengan tujuan untuk menghindari intervensi militer dalam urusan politik, serta memastikan agar prajurit TNI tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis atau pemerintahan sipil selama masih aktif bertugas.

Pemisahan yang tegas antara militer dan sipil ini bertujuan untuk menghindari konflik kepentingan, di mana seorang prajurit yang masih aktif bertugas tidak dapat berperan sebagai pengambil keputusan dalam kebijakan publik atau menjalankan peran politik. Konsep ini diambil untuk menjaga agar militer tetap fokus pada tugas utamanya yaitu mempertahankan keamanan negara dari ancaman eksternal, dan menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan yang pernah terjadi pada masa Orde Baru melalui dwi-fungsi ABRI, di mana militer memiliki peran ganda sebagai kekuatan pertahanan sekaligus sebagai alat pengendali politik.

Pengaturan batasan usia pensiun juga merupakan salah satu cara untuk memastikan bahwa perwira tinggi TNI tidak terus berkuasa dalam dunia militer atau sipil. Pada UU Nomor 34 Tahun 2004, batas usia pensiun untuk perwira tinggi ditentukan secara ketat, dengan tujuan untuk memastikan regenerasi dalam struktur militer dan mencegah dominasi satu kelompok atau individu di dalam tubuh TNI dalam jangka waktu yang terlalu lama. Pendekatan ini secara keseluruhan mempertahankan prinsip kontrol sipil atas militer dan bertujuan mengurangi potensi militer untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik yang lebih luas.

Revisi UU Dan Perubahan Paradigma

Setelah disahkannya perubahan dalam UU yang baru, paradigma hubungan antara militer dan sipil mengalami pergeseran yang signifikan.

Salah satu perubahan paling mendasar adalah adanya peningkatan fleksibilitas dalam transisi prajurit TNI untuk beralih ke sektor sipil. Perubahan ini tidak hanya memperluas kesempatan bagi prajurit untuk berkarir di luar tugas pertahanan mereka, tetapi juga membuka ruang bagi TNI untuk terlibat dalam lembaga-lembaga di luar ranah pertahanan. Hal ini mencakup peran-peran yang sebelumnya menjadi domain eksklusif kepolisian, seperti dalam penegakan hukum. Dengan demikian, TNI kini memiliki peran yang lebih luas, merambah ke sektor-sektor sipil yang sebelumnya sepenuhnya diatur oleh lembaga sipil, yang dapat memunculkan tantangan baru terkait dengan pembagian kewenangan dan potensi tumpang tindih peran antara militer dan kepolisian.

Dalam pasal yang baru, perubahan ini memberikan lebih banyak ruang bagi para prajurit untuk berkarir di sektor-sektor seperti kejaksaan Republik Indonesia khususnya pidana militer, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, serta keamanan laut.  Bahkan beberapa perubahan terkait dengan peran prajurit dalam dunia internasional juga membuka peluang bagi mereka untuk memberikan kontribusi di percaturan luar negeri (pasal 7 ayat 2 poin ke 16), sebagai bagian dari upaya memperkuat hubungan internasional Indonesia dalam bidang pertahanan dan diplomasi khususnya terkait WNI di luar negeri.

Perubahan ini juga mendorong adanya transisi bagi TNI dari sebelumnya fokus pada pertahanan keamanan menjadi terlibat dalam penegakan hukum.  Kewenangan TNI untuk terlibat dalam penegakan hukum, seperti pemberantasan terorisme atau penanggulangan kejahatan Narkotika (yang seharusnya wewenang penegak hukum), dapat dilihat sebagai langkah mundur ke arah dwi-fungsi ABRI. Penugasan TNI untuk berperan dalam penegakan hukum sipil yang sebelumnya menjadi tugas kepolisian, kini dapat menempatkan militer di posisi yang lebih sentral dalam proses hukum domestik.

Perubahan ini tentu saja berpotensi membuka pintu bagi militer untuk terlibat dalam operasi penegakan hukum, yang dapat digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Misalnya, TNI dapat diberikan kewenangan untuk melakukan intervensi keamanan dalam kerusuhan sosial atau protes politik, yang akan meningkatkan kontrol militer terhadap situasi politik domestik. Dalam jangka panjang, ini dapat mengarah pada pengurangan kewenangan lembaga sipil yang seharusnya bertanggung jawab untuk menangani hal tersebut, seperti kepolisian.

Belum lagi potensi hadirnya kecemburuan pada institusi Kepolisian terkait revisi UU TNI ini, yang seakan dapat menyebabkan tumpang tindih peran dan tanggung jawab antara TNI dan Polri. Perubahan yang memungkinkan TNI lebih terlibat dalam urusan-urusan yang sebelumnya menjadi domain eksklusif kepolisian, seperti dalam penegakan hukum berpotensi menciptakan ketegangan antar kedua institusi tersebut. Tumpang tindih fungsi ini bisa memperburuk hubungan antara TNI dan Polri, menciptakan persaingan yang tidak sehat, dan bahkan memicu konflik internal yang merugikan efektivitas kedua lembaga dalam menjalankan tugasnya. Hal ini juga bisa memunculkan “kecemburuan struktural dan institusional”, di mana masing-masing institusi merasa bahwa kewenangannya semakin dibatasi atau terganggu oleh perluasan peran yang diberikan kepada TNI.

Belum lagi adanya tambahan pengaturan lebih lanjut (Pasal 8,9 dan 10) dalam peraturan pemerintah terkait dengan tugas-tugas matra Angkatan Darat, Laut, dan Udara yang memungkinkan pemerintah mengatur tugas-tugas lain yang lebih spesifik dari apa yang telah tercantum dalam UU ini. Hal ini berpotensi menjadi celah-celah yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas peran militer dalam urusan sipil, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Salah satu perubahan lain yang juga patut dicatat adalah perpanjangan usia pensiun bagi perwira tinggi TNI, yang memungkinkan mereka untuk terus aktif dalam dinas militer lebih lama daripada sebelumnya. Hal ini memberikan keuntungan bagi TNI untuk mempertahankan pengalaman dan kepemimpinan dalam tubuh militer, tetapi juga membuka potensi bagi mereka untuk tetap terlibat dalam kebijakan pemerintahan, bahkan setelah masa pensiun yang lebih panjang.

Selain itu, peningkatan batas usia pensiun ini membuka potensi bagi perwira tinggi TNI untuk bertahan lebih lama di posisi-posisi strategis, baik di dalam militer maupun dalam lembaga pemerintah. Dalam konteks ini, ada risiko bahwa militer akan terus memiliki pengaruh besar dalam keputusan-keputusan politik, meskipun secara formal berada dalam batas yang lebih terbatas dibandingkan dengan masa Orde Baru. Dengan usia pensiun yang lebih panjang, perwira tinggi dapat lebih lama berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan negara, memperkuat dominasi militer dalam pengambilan keputusan nasional.

Lebih jauh lagi, posisi-posisi tersebut bisa dimanfaatkan oleh perwira tinggi untuk membentuk kekuasaan dan membangun jaringan-jaringan yang dapat terus bertahan meskipun mereka telah pensiun. Perwira yang telah keluar dari dinas aktif masih memiliki kapasitas untuk mempengaruhi kebijakan melalui pengaruh yang diperoleh selama masa tugasnya, baik dalam peran formal maupun informal. Jaringan yang terbentuk selama masa dinas, baik di dalam struktur militer, pemerintahan, maupun sektor-sektor lain, memungkinkan mereka untuk tetap memiliki posisi tawar yang kuat meskipun tidak lagi memegang jabatan resmi.

Dengan demikian, potensi dominasi militer ini tidak hanya terbatas pada masa aktif, tetapi juga dapat berlanjut setelah perwira tersebut pensiun, melalui jaringan pengaruh yang telah dibangun selama mereka berada dalam kekuasaan. Hal ini bisa memunculkan risiko bahwa meskipun secara struktural tidak lagi berada dalam posisi kekuasaan formal, pengaruh mereka terhadap pengambilan keputusan negara tetap signifikan, memperbesar kemungkinan bahwa pengaruh militer akan tetap mendominasi, meskipun tidak lagi berada dalam posisi resmi pemerintahan.

Otoritarianisme Dan Upaya Reclaim the State

Perubahan paradigma melalui revisi UU ini membuka ruang bagi militer untuk lebih banyak terlibat dalam urusan sipil, yang dapat berisiko menciptakan kekuasaan yang terkonsentrasi dalam tubuh TNI, terutama di bidang yang sebelumnya lebih dikuasai oleh sipil.  Pergeseran yang diusulkan dalam UU TNI  juga tidak hanya mengubah struktur dan fungsi TNI, tetapi juga menandakan perubahan dalam paradigma politik Indonesia yang lebih luas. Dalam sejarah Indonesia, militer memiliki peran dominan dalam mengatur dan mengontrol kehidupan politik masyarakat, terutama dalam masa Orde Baru. Meski masa tersebut telah berlalu, namun perubahan dalam UU TNI ini dapat dianggap sebagai langkah mundur bagi Indonesia yang telah berjuang untuk menguatkan sistem demokrasi.

Tentu saja, dalam perspektif keamanan nasional, terdapat argumen bahwa keterlibatan TNI dalam penanganan masalah non-konvensional seperti penanggulangan terorisme dan bencana alam dapat menjadi hal yang positif, mengingat kapabilitas TNI dalam hal mobilitas dan logistik yang sangat besar. Namun, persoalan timbul ketika peran tersebut berkembang menjadi sangat luas dan melibatkan kepentingan politik yang lebih dalam. Keputusan-keputusan yang diambil oleh militer, tanpa pengawasan yang memadai, dapat merusak prinsip-prinsip akuntabilitas yang merupakan fondasi dari pemerintahan yang demokratis.

Paradigma baru yang ingin diterapkan ini dapat membuka peluang bagi potensi otoritarianisme dalam pemerintahan. Militer yang semakin terlibat dalam politik dan urusan sipil berisiko menggiring Indonesia kembali pada pemerintahan yang terpusat pada kekuatan militer, yang pada akhirnya dapat mengurangi ruang untuk penguatan institusi sipil dan partisipasi politik masyarakat. Oleh karena itu, meskipun negara memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas dan keamanan, penting untuk menjaga agar institusi sipil tetap memiliki kontrol yang ketat atas keputusan-keputusan militer, tanpa memberi ruang bagi TNI untuk terlibat dalam ranah politik praktis secara berlebihan.

Dengan adanya perubahan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004, Indonesia kini menghadapi tantangan baru dalam menjaga keseimbangan antara peran militer dan sipil. Fleksibilitas yang diberikan kepada prajurit TNI untuk beralih ke sektor sipil, baik dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan, membuka peluang sekaligus risiko yang tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, organisasi masyarakat sipil (OMS) harus memainkan peran yang sangat penting dalam memastikan bahwa perubahan ini tidak mengarah pada pengaruh militer yang berlebihan dalam kehidupan politik dan pemerintahan.

Seiring dengan munculnya tantangan ini, apa yang disebut oleh Mansour Fakih sebagai merebut kembali negara atau "Reclaim the State" menjadi relevan. Dalam pandangan Fakih, konsep "Reclaim the State" merujuk pada upaya organisasi masyarakat sipil untuk merebut kembali kendali atas negara dari pengaruh kelompok-kelompok yang dapat merusak prinsip-prinsip demokrasi, termasuk dari militer yang terlalu dominan dalam urusan politik. Fakih menekankan pentingnya peran OMS untuk mengawal dan menjaga proses-proses politik serta kebijakan publik agar tetap berpihak pada kepentingan rakyat dan prinsip-prinsip demokrasi, bukan kepentingan sektoral atau kelompok tertentu yang berpotensi mengarah pada otoritarianisme.

Dengan perubahan yang terjadi dalam UU Nomor 34 Tahun 2004, tantangan besar kini menghadang bagi organisasi masyarakat sipil (OMS). Tidak hanya sekadar untuk menjaga agar tidak ada dominasi militer yang berlebihan dalam politik dan pemerintahan, tetapi OMS juga dihadapkan pada tugas untuk memastikan agar ruang demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah selama era Reformasi tetap terjaga. OMS harus berperan lebih aktif dalam mengembalikan kewenangan negara kepada rakyat, melalui pengawasan ketat terhadap kebijakan militer yang dapat mengancam tatanan sipil yang telah ada.

Namun, pekerjaan besar ini tidak hanya soal mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban. OMS harus terus memperkuat kerja-kerja pendidikan populer, membangun kesadaran kritis di kalangan masyarakat, agar rakyat bisa lebih memahami dan lebih aktif dalam menjaga hak-hak mereka. Reclaim the State bukan sekadar seruan untuk mempertahankan demokrasi yang sudah tercapai, tetapi lebih dari itu, sebuah perjuangan untuk memastikan bahwa negara tetap berpihak pada rakyat dan tidak jatuh kembali dalam cengkeraman kekuatan yang bisa menggiring politik ke arah otoritarianisme.

Upaya ini tentu tidak mudah, tetapi menjadi sangat penting bagi masa depan demokrasi Indonesia. Jika langkah-langkah pengawasan yang transparan, advokasi yang kuat, serta pendidikan kritis terhadap masyarakat dapat dilakukan secara konsisten, maka Indonesia dapat menghindari potensi kembali ke masa lalu yang tidak demokratis. Oleh karena itu, "Reclaim the State" adalah panggilan moral bagi OMS untuk terus menjaga dan memperjuangkan ruang demokrasi yang inklusif, transparan, dan berpihak pada rakyat. Inilah momentum yang tepat untuk menyadari sedang terjadi stealth revolution, sebuah perubahan besar yang terjadi secara perlahan, namun dapat menggeser keseimbangan kekuasaan antara sektor militer dan sipil.

Stealth revolution ini menyiratkan bahwa perubahan yang terjadi mungkin dianggap tidak signifikan namun  dampaknya dapat mengarah pada konsolidasi kekuasaan yang lebih besar di tangan militer, yang berpotensi merongrong keberlanjutan demokrasi. Oleh karena itu, "Reclaim the State" menjadi panggilan yang tidak bisa ditunda lagi. Masyarakat sipil harus kembali memperjuangkan dan mengembalikan kewenangan penuh negara kepada rakyat, memastikan bahwa ruang demokrasi tetap terjaga, dan bahwa pengambilan keputusan politik tidak tergeser oleh dominasi militer.

*) Martin Dennise, Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gajah Mada