- Orientasi Pelayanan Publik Dan Keberpihakan Pada UMKM
- Polda Jateng Siap Jalin Sinergitas dengan Kepala Dearah Terpilh
- Desa Inovatif
Baca Juga
Tulisan ini disampaikan pada Dialog Revitalisasi Wisata Religi Kabupaten Demak (Renaisance Demak Menapaki Kembali Kejayaan , 28 September 2024)
TRANSENDENSI menjadi bagian obsesi merekonstruksi Demak. Transendensi merupakan salah satu pijakan daya cipta, yang mengalirkan intuisi pejabat dan birokrat untuk membangun sebuah kota wisata mutakhir.
Mereka berkemungkinan menyingkap tabir transendensi yang menyelubungi realitas kehidupan sehari-hari dalam religiusitas, latar budaya, dan sejarah Demak.
Transendensi dipertaruhkan sebagai penjelajahan ekspresi rekonstruksi tata kota. Obsesi pejabat dan birokrat pada dunia religius mestinya sangat kental dalam merekonstruksi kota dengan jejak sejarah kerajaan Islam.
Makna transendensi adalah kesadaran ketuhanan atau kesadaran vertikal manusia, bukan secara agama semata, tetapi secara makna apa saja yang melampaui akal kemanusiaan.
Ini merujuk pada cara pandang keilahian, untuk memaknai religiusitas, latar budaya, dan sejarah Demak. Dengan berpijak pada religiusitas, latar budaya, dan sejarah Demak, pejabat dan birokrat dapat mengukuhkan rekonstruksi destinasi wisata.
Bagi saya, rekonstruksi objek wisata Demak berobsesi pada pemberdayaan religiusitas, latar budaya dan sejarah sebagai kerajaan Islam yang didukung para wali. Upaya mencipta destinasi wisata Demak menjadi jawaban atas pencarian identitas budaya untuk membebaskan diri dari kepalsuan citra produk kaum kapitalis.
Saya takjub pada kesadaran transendensi yang menandai ciri arsitektur masjid Demak. Arsitektur itu dibangun dengan semangat resiliensi dan harmoni religiusitas. Yang mesti dilakukan pemerintah adalah mencipta kembali identitas budaya dalam transendensi itu, dikemas selaras dengan bingkai destinasi wisata mutakhir.
***
SEJAK Kerajaan Demak berdiri, berkembang transendensi sebagai dasar religiusitas membentuk atmosfir kehidupan masyarakat multikultur. Masjid Agung Demak diyakini dibangun Wali Sanga dengan sosok Sunan Kalijaga yang paling berpengaruh pada masa Kesultanan Raden Patah abad 15.
Dalam arsitektur Masjid Agung Demak, kubah berbentuk limas bersusun tiga. Kubah masjid menjadi lambang religiusitas: iman, islam, dan ihsan.
Suatu saat, bila rekonstruksi masjid dilakukan, tentu akan mempertahankan potensi transendensi kubah, atau bahkan memberi citra estetika dengan kesadaran keilahian.
Peninggalan yang bisa direkonstruksi sebagai destinasi wisata mutakhir adalah makam raja dan Sunan Kalijaga. Tempat ini bisa dijadikan wisata sejarah dan religi.
Makam raja-raja Demak terletak di bagian utara Masjid Agung Demak. Makam yang ada di sini antara lain makam Pangeran Trenggono, Raden Patah, Syekh Maulana Magribi dan Arya Penangsang.
Daya tarik destinasi wisata Demak yang lebih memiliki nilai transenden, terutama makam Sunan Kalijaga, salah satu dari 9 wali yang menyiarkan agama Islam di tanah Jawa.
Destinasi wisata yang berobsesi pada makam wali serupa ini akan membentengi spiritualitas masyarakat dari kekuasaan kapital yang berobsesi pada citra sebagai konsumer.
Pemerintah beruntung memiliki destinasi wisata yang bernapas spiritualitas, religiusitas, dan transendensi yang menjadi atmosfer kehidupan masyarakat.
Kesadaran transendensi bisa dimanfaatkan untuk merekonstruksi Museum Masjid Agung Demak.
Lokasi museum ini berada di utara masjid. Di sini terdapat beragam peninggalan serat-serat dan kitab yang ditulis para wali, bedug, pintu asli masjid ketika awal pembangunan, gentong dari Dinasti Ming hadiah Putri Campa, miniatur masjid, serta ilustrasi bentuk masjid sejak 500 tahun lalu sampai dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada bangunan setelah renovasi.
Transendensi yang menjaga tradisi beragama agar tidak ditenggelamkan kekuasaan kaum kapitalis sekuler dapat dikembangkan dalam Grebek Besar Demak.
Grebek diselenggarakan pada tanggal 9 Dzulhijah dengan arak-arakan tumpeng sembilan dari pendapa kabupaten. Pada 10 Dzulhijah diselenggarakan puncak grebek besar, dengan 40 prajurit yang mengiring bupati dan staf dari Masjid Agung Demak menuju Kadilangu untuk memandikan pusaka peninggalan para wali dan kerajaan.
Destinasi wisata dapat dikembangkan dengan mengembangkan para pengrajin kaligrafi dan rebana. Para pengrajin kaligrafi menjual hasil kerajinan di kios-kios sekitar Masjid Agung.
Kaligrafi ini dikenal berkualitas dan indah. Kerajinan rebana juga menyempurnakan transendensi Demak, dan mestinya disertai dengan aktivitas grup rebana yang lebih modern, selaras dengan cita rasa estetika kaum milineal – meski tak menutup kemungkinan melestarikan tradisi sebagaimana grup rebana Bantenan Kampung Kauman Bintoro.
***
DALAM ajaran-ajaran Sunan Kalijaga terdapat kesadaran transendensi yang memasuki ruang religuisitas yang membentuk identitas budaya. Saya mengutip 5 ajaran Sunan Kalijaga.
Pertama, marjuni ajining sarira, yang bermakna kita mesti menghargai diri sendiri lebih dulu baru menghargai orang lain. Kedua, menembah, yang artinya menyembah pada Allah, mematuhi segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ketiga, mengabdi, mengajarkan kepada kita untuk berbakti pada orang tua. Keempat, maguruo, yang bermakna mencari guru yang bisa mengajarkan hakikat kehidupan dan ilmu ikhlas. Kelima, martapah yang berarti peduli, prihatin, hidup dalam kesederhanaan dan tidak boros.
Upaya menghimpun ajaran-ajaran Sunan Kalijaga dan menyusunnya menjadi sebuah buku yang diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia, akan membuka cakrawala pengetahuan bangsa-bangsa lain untuk berziarah ke makamnya, dan berwisata ke Demak.
Begitu pula perlu didirikan sebuah gedung kesenian tempat ajaran-ajaran seni Sunan Kalijaga dipergelarkan kembali dengan besutan seniman mutakhir, yang memahami dinamika estetika.
Pergelaran wayang kulit sebagai salah satu media dakwah Sunan Kalijaga, merupakan ekspresi seni yang sangat digemari masyarakat ketika itu, bisa kembali dipergelarkan dengan kemasan estetika dan pemahaman masyarakat masa kini.
Syair yang diciptakannya, seperti tembang “Lir-ilir”, gamelan, lakon wayang “Layang Kalimasada” dan “Petruk Jadi Raja” berkemungkinan memperoleh ruang penciptaan kembali dan pementasan mutakhir yang memberi sugesti transendensi pada masyarakat.
Tak hanya menghidupkan destinasi wisata, saya memandang transendensi Demak berkemungkinan menjadi penawar bagi manusia mutakhir yang kehilangan spiritualitasnya.
Demak berpotensi mengembalikan kesadaran manusia untuk memasuki ruang transendensi, yang memberikan jatidiri masyarakat menghadapi perkembangan konsumerisme sebagai fenomena bawah sadar yang dibentuk kekuasaan kapitalisme.
Rekonstruksi destinasi wisata yang saya paparkan ini mesti diuji penggunaannya dalam masyarakat lewat perkembangan waktu.
***
*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.
- Desa Wisata di Kabupaten Demak: Strategi Pengembangan dan Tantangan di Era Disrupsi
- Dialog Revitalisasi Wisata Religi Kabupaten Demak Langkah Inovatif yang Harus Diapresiasi
- Promosi Pariwisata Demak, Ade Bhakti: Bisa Manfaatkan Sosmed