TKDN Dihapus, Kebijakan Tepat Atau Keliru?

Ilustrasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) Keluaran Kementerian Perindustrian. Dokumentasi
Ilustrasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) Keluaran Kementerian Perindustrian. Dokumentasi

Jakarta - Indonesia sudah berencana untuk menghapuskan kewajiban TKDN (tingkat komponenn dalam negeri) bagi semua produk yang diedarkan di Indonesia. Keputusan ini adalah sebagai upaya Indonesia untuk dapat melakukan negosiasi dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.


Sebagaimana diketahui, Presiden Trump menjatuhkan tarif sebesar 32% atas semua transaksi perdagangan dengan Indonesia. Ada beberapa pihak yang menganggap pelonggaran ini telah membuat Indonesia dalam kondisi yang akan semakin buruk. Pihak yang menganggap ini buruk menyebutkan tingkat investasi di Indonesia akan turun.

Turunnya investasi adalah karena pihak investor yang selama ini telah berupaya memenuhi dan lakukan compliance terhadap peraturan perudangan Indonesia menganggap kebijakan yang berubah-ubah menunjukkan iklim investasi di Indonesia tidak stabil. Pengusaha itu sendiri telah berinvestasi di Indonesia dengan membangun pabrik komponen atau perakitan dalam memenuhi syarat TKDN sebelumnya.

Dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memberikan penilaiannya. Salah satu peneliti dan ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky menyebutkan bahwa pelonggaran ini sudah tepat. Pasalnya, kata dia, persyratan komponen TKDN selama ini menjadi penghambat bagi masuknya investasi.

“Persyaratan TKDN yang ketat dapat meningkatkan biaya produksi dan membuat perusahaan kesulitan menyesuaikan dengan kebutuhan lokal. Belum lagi soal kualitasnya yang seringkali lebih rendah jika mereka mendatangkan komponen yang diproduksi dari negara lain, seperti Vietnam,” katanya kepada Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 3, Selasa (15/04) kemarin.

Redaktur RMOLJawaTengah berhasil mendapatkan narasumber di bidang teknologi informasi. Ardie Sutedja dari ICSF (Internet Cyber Security Forum), yang berpengalaman di sektor teknologi informasi dan karenanya melihat dari sudut gawai yang beredar di Indonesia, melihat dari kacamata produk teknologi.

Ia sebut wacana penerapan kebijakan kandungan lokal wajib (local content requirement) untuk teknologi digital yang bersifat sensitif dan mutakhir memerlukan pertimbangan alternatif kebijakan yang lebih strategis.

Pada kenyataannya, Indonesia masih memiliki ketergantungan besar kepada rantai pasokan global yakni sekitar 78%. Data dari Kementerian Perindustrian (2024) menunjukkan komponen untuk infrastruktur 5G, cloud computing, dan sistem keamanan siber masih diimpor.

“Pemaksaan kandungan lokal dalam kondisi ini justru akan memperlambat adopsi teknologi kritis, sementara kapasistas riset dan produksi dalam negeri membutuhkan waktu 5-10 tahun untuk mencapai standar global,” kata pakar keamanan siber tersebut.

Selain itu, resiko dari kewajiban TKDN meningkatkan resiko bengkaknya biaya dan inefisiensi. Ia mengutip Studi LPEM UI (2023) yang memperkirakan bahwa kebijakan ini meningkatkan biaya infrastruktur digital hingga 40%. Sementara pada saat yang sama produktivitas industri manufaktur Indonesia nilainya 35% lebih rendah dibandingkan Malaysia.

Ardie Sutedja juga menyebutkan potensi konflik dengan komitmen perdagangan internasional. Sebagai anggota WTO, Indonesia perlu mempelajari kasus sengketa India versus AS di WTO terkait dengan kebijakan solar cell yang berujung pada kemenangan India.

Untuk menghadapi kondisi TKDN yang dilonggarkan ini Ardie menyebut ada 3 solusi alternatif. Yakni insentif berbasis kinerja untuk perusahaan berinvestasi dalam transfer teknologi, kemitraan strategis dengan negara produsen teknologi melalui skema kerja sama (joint venture) serta fokus kepada pengembangan sumber daya manusia melalui program pelatihan (reskilling) berbasis kebutuhan industri 4.0. Interoperabilitas regulasi juga diperlukan untuk memastikan teknologi asing dapat terintegrasi dengan ekosistem lokal.

Kebijakan yang bijak harus menyeimbangkan antara aspirasi kemandirian teknologi dengan realitas kapasitas industri dan hukum perdagangan global. “Daripada (melakukan - red) proteksionisme, Indonesia perlu memposisikan diri sebagai penyeimbang digital yang mampu memanfaatkan teknologi global sekaligus membangun kompetensi domestik secara bertahap,” pungkas Ardie.