Tidak Tergoda Varian Rasa, Krupuk Upik Tetap Melegenda

Perajin Krupuk Upik Di Desa Sawangan Kecamatan Pituruh Puworejo Melakukan Penjemuran Sebelum Dilakukan Pengemasan. Budi Agung/RMOLJawaTengah
Perajin Krupuk Upik Di Desa Sawangan Kecamatan Pituruh Puworejo Melakukan Penjemuran Sebelum Dilakukan Pengemasan. Budi Agung/RMOLJawaTengah

PITURUH - Jika Anda penikmat gado-gado, kupat tahu, pecel dan sejenisnya, pasti akan menemukan krupuk upik. Krupuk berbahan dasar ketela yang keberadaanya sudah sejak dulu kala.

Di tengah membanjirnya aneka jenis krupuk, krupuk ini seakan tidak tergantikan dan memiliki penggemar tersendiri. Tidak hanya untuk campuran aneka makanan itu, namun juga enak dinikmati begitu saja.

Di Desa Sawangan tepatnya di RT05/RW03, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo ada perajin jenis krupuk yang juga kerap disebut sermiyer dan krupuk ketela ini yang telah beroperasi sejak tahun 1977. Produksinya terus bertambah seiring perkembangan waktu.

Pangsa pasarnya amat baik, tidak saja beredar di Purworejo, namun juga meluber ke wilayah tetangga seperti Wates Kulonprogo, dan Gombong.

Permintaan lebih jauh sebenarnya ada, namun perajin tidak mampu memenuhi karena kebutuhan dasar berupa ketela pohon juga cukup sulit diperoleh.

Perajin sekaligus pengepul krupuk di Desa Sawangan, Wahyu menuturkan di sekitar tempatnya tinggal ada 10 keluarga yang menjadi perajin krupuk ini. Tidak saja menjadi sambilan, profesi ini sudah menjadi gantungan utama pendapatan harian mereka.

"Ini sudah menjadi keseharian kami dan kami berharap ini juga bisa menjadi sumber utama kesejahteraan kami," kata Wahyu, Selasa (11/06).

Dikatakan selama ini, krupuk produksinya itu memanfaatkan bahan utama dari petani ketela di Purworejo. Hanya saja terkadang mereka juga harus mendatangkan dari luar kota, saat produksi ketela di Purworejo menurun.

"Kalau pas di Purworejo stok tipis, kami mendatangkan dari Wonosobo dan Banjarnegara. Tapi kami pernah mendatangkan ketela ini dari Sukabumi Jawa Barat," tambahnya.

Setiap kali mengolah bahan dasar, Wahyu mengaku mendatangkan sekitar 1.5 ton ketela. Jika telah dikupas selanjutnya akan dilakukan pencucian dan digiling menggunakan parut khusus. Jika semua bahan telah terparut, akan dilakukan pengepresan dengan tujuan air bisa keluar dan kering.

Parutan ketela yang sudah dipres itu selanjutnya diberi pewarnaan merah. Namun itu tidak merata di seluruh bagian karena hanya memberikan motif garis merah seperti halnya ditemukan selama ini.

"Pewarnaan ini tujuannya agar lebih menarik. Bumbu yang digunakan juga standar saja seperti garam dan bawang. Kami memang tidak memproduksi varian rasa yang berbeda. Semua orisinil seperti saat pertama ada," tambahnya.

Jika bahan kerupuk ini sudah dirajang tipis, langkah selanjutnya adalah melakukan penjemuran hingga kering merata.

"Kalau cuacanya baik, penjemuran ini tidak lama. Sehari juga cukup," katanya.

Wahyu biasanya melakukan membungkus kerupuk itu dihitung dengan istilah bal. Dimana satu bal berisikan 5 kg kerupuk. Harga yang disematkan adalah Rp75.000.

Dijelaskan jika dibandingkan dahulu saat merintis usaha yang dilakukan oleh orang tuanya, Wahyu menyebut jika sekarang sudah banyak menggunakan alat bantu. Dirinya memang berusaha mengadakan alat untuk mendukung produksi.

"Kalau dulu masih dikerjakan secara manual dan singkongnya juga masih hasil menanam sendiri. Alhamdulillah sekarang bisa berkembang seperti sekarang ini," jelas Wahyu.