Begini Perspektif Komunitas LGBT Di Indonesia Dalam Psikologi Komunikasi

Ilustrasi Tulisan Muhammad Yusuf Firdiansyah Dan Rosita Kumala Dewi, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang. Menulis Untuk Persyaratan Mata Kuliah Psikologi Komunikasi.
Ilustrasi Tulisan Muhammad Yusuf Firdiansyah Dan Rosita Kumala Dewi, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang. Menulis Untuk Persyaratan Mata Kuliah Psikologi Komunikasi.

Dalam beberapa dekade terakhir, isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) telah menjadi topik yang semakin mendapat perhatian di berbagai belahan dunia. Termasuk negara Thailand, Thailand adalah salah satu negara dengan komunitas LGBTQ paling terbuka di Asia.

Negara Gajah Putih ini semakin dekat dengan meresmikan legalitas pernikahan sesama jenis. Hal ini terlihat dari 130 senator Thailand yang memberikan suara mendukung, hanya empat anggota yang menentang RUU tersebut, dilansir dari BBC News Indonesia (19/6/24).

Direktur Eksekutif Koalisi Pasifik Asia untuk Kesehatan Seksual Pria (APCOM), Midnight Poonkasetwattana, Bangkok memaparkan bahwa pernikahan sesama jenis di Thailand sudah dilegalkan.

Midnight menjelaskan bahwa dari segi ekonomi, Thailand mendapat banyak keuntungan karena dipandang sebagai negara yang menerima orang-orang LGBTQ+, bahkan sebelum Rancangan Undang-Undang (RUU) Pernikahan Sesama Jenis disahkan.

Midnight juga mengatakan adanya peningkatan tajam wisatawan LGBTQ dari Indonesia karena RUU tersebut dilegalkan serta negara-negara lain di kawasan ini. Tujuan mereka datang ke Thailand adalah untuk mengeksplorasi kemungkinan hidup autentik sesuai jati diri mereka tanpa harus bersembunyi, malu, atau takut akan hukuman, dibandingkan dengan negara asal mereka.

Langit (26) pria gay asal Bandung yang kini menetap di Thailand mengaku merasa lebih nyaman, tentram, tenang, dan aman dibanding di Indonesia. Langit mengaku saat di Indonesia telah mengalami perundungan terkait identitas seksualnya sejak remaja hingga menyebabkan trauma.

Di Thailand, Langit merasa lebih terlindungi, bahkan sebelum Senat meloloskan RUU Pernikahan Sesama Jenis. Dia merasa lebih bisa mengekspresikan diri di Thailand tanpa menyembunyikan identitasnya. Identitas seksual dan gender adalah aspek penting dari diri seseorang yang mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan dunia.

Bagi individu LGBT, mengkomunikasikan identitas ini bisa menjadi proses yang kompleks dan penuh tantangan.

Psikologi komunikasi mempelajari bagaimana individu mengungkapkan dan menyusun identitas mereka melalui interaksi sosial. Salah satu konsep kunci dalam psikologi komunikasi adalah teori pengungkapan diri (self-disclosure), yang merujuk pada proses di mana seseorang membagikan informasi pribadi mereka kepada orang lain. Bagi banyak individu LGBT, mengungkapkan identitas mereka (coming out) adalah langkah penting yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis mereka. Pengungkapan ini sering kali memerlukan keberanian dan pertimbangan yang matang karena risiko penolakan dan diskriminasi.

Bella Aubree, Koordinator Nasional Inti Muda Indonesia dan pegiat isu-isu sosial, menyebutkan bahwa Thailand sering dianggap sebagai destinasi yang ideal dan ramah bagi teman-teman LGBTQ+, termasuk bagi mereka para transgender yang ingin melakukan terapi penggantian hormon ataupun tindakan bedah untuk mengubah alat kelamin.

Lolosnya RUU Pernikahan Sesama Jenis oleh Senat Thailand tentu menuai reaksi dari warganet Indonesia.

Berdasarkan penelusuran BBC News Indonesia, komentar-komentar dan hujatan negatif bermunculan di media sosial dan kolom komentar di berbagai laman berita.

Komunikasi juga memainkan peran besar dalam penyebaran dan pembentukan stigma terhadap individu LGBT. Pesan negatif dan stereotip tentang LGBT sering kali diperkuat melalui media, interaksi sosial, dan institusi sosial.

Psikologi komunikasi membantu dalam memahami bagaimana pesan-pesan ini mempengaruhi persepsi dan sikap masyarakat terhadap komunitas LGBT. Stigma dan diskriminasi terhadap LGBT sangat umum di Indonesia. Stigma negatif yang diterima oleh LGBT dapat berupa diskriminasi, penghinaan, dan penolakan. Stigma ini dapat berdampak negatif pada kesehatan dan kesejahteraan LGBT.

Dede Oetomo, Sosiolog Universitas Airlangga, menyebutkan masalah yang paling disorot dan menjadi perhatian bagi komunitas LGBTQ+ Indonesia saat ini masih merujuk kepada hal-hal yang mendasar seperti adanya diskriminasi di bidang pendidikan dan pekerjaan.

American Psychological Association (2008) menyatakan bahwa diskriminasi terhadap LGBT dapat menyebabkan dampak psikologis yang negatif. Stigma ini juga dapat mempengaruhi perilaku LGBT, seperti kesadaran akan pandangan negatif masyarakat dan penolakan terhadap dirinya.

Bella Aubree dari Inti Muda menjelaskan jika para pegiat saat ini sedang bersama-sama melakukan advokasi dengan mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengesahkan UU Anti Diskriminasi yang dapat menjadi peluang bagi kelompok rentan termasuk teman-teman LGBTQ+ agar mendapatkan perlindungan dan keamanan dari diskriminasi yang terjadi.

“Harapannya melalui UU Anti Diskriminasi ini dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan lingkungan aman bagi kelompok rentan termasuk LGBTQ+,” kata Bella.

Psikologi komunikasi juga mengeksplorasi strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan penerimaan sosial terhadap individu LGBT.

Salah satu pendekatan adalah dengan mempromosikan komunikasi intergrup positif, yaitu interaksi yang positif antara individu dari kelompok mayoritas dan minoritas. Penelitian menunjukkan bahwa kontak yang berkualitas antara individu LGBT dan non-LGBT dapat mengurangi prasangka dan meningkatkan empati serta pemahaman. Media juga berperan penting dalam membentuk persepsi masyarakat tentang LGBT.

Tulisan Merupakan Opini Atau Pendapat Pribadi, Dibuat Untuk Tugas Mata Kuliah Psikologi Komunikasi. Opini Tidak Mewakili Lembaga Dan Institusi RMOLJawaTengah.