PP Muhammadiyah menggelar acara 'Dialog Terbuka Muhammadiyah Bersama Calon Pemimpin Bangsa' dengan menghadirkan tiga pasang calon presiden (capres). Untuk kesempatan pertama pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Amin), berkesempatan hadir dalam dengan menghadapi lima panelis.
- Tokoh Muda dan Pengusaha Milenial Masuk Radar Pilkada Karanganyar
- Rocky Gerung : Pilih Calon Presiden yang Pikirannya Tebal Bukan Amplopnya Tebal
- Peduli SDM Santri, Jokowi Akan Bangun Ribuan BLK Di Ponpes
Baca Juga
Ketua Umum (Ketum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, perhelatan ini bertujuan agar rakyat tak salah memilih dan juga untuk menguji kenegarawanan para calon serta membahas berbagai persoalan bangsa.
"Kegiatan ini dapat memberi ruang bagi para pemilih untuk tidak asal memilih, tanpa kesadaran literasi politik yang cerdas," kata Haedar yang hadir membuka dialog secara langsung.
Dalam kesempatan pertama tersebut, untuk menghadapi Capres Amin, Muhammadiyah menghadirkan lima panelis yang akan memberikan pertanyaan terkait isu-isu terkini yang berkaitan dengan agama, pendidikan, hukum, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Lima panelis tersebut adalah Rektor UMS Solo Prof. Sofyan Anif, perwakilan dari Pimpinan Pusat di bidang keagamaan, sosial, dan kemasyarakatan Kyai H Muhammadiyah Saad Ibrahim, mantan Ketua Komisi Yudisial Prof. Dr. Aidul Fitriciada yang mendalami hukum dan demokrasi. Bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial bersama Prof. Dr. Zuly Qodir dan Prof. Siti Zuhro yang akan mencermati kesetaraan dan isu perempuan.
Selaku tuan rumah, Prof Sofyan mengangkat pertanyaan terkait kebijakan PPPK dalam dunia pendidikan. Sebab untuk membangun SDM, pilarnya ada seorang guru. Dengan lugas, Anies menjawab ada indikasi diskriminasi untuk PPPK di sekolah negeri maupun sekolah swasta.
"Yang disebut diskriminasi, kalau mereka mengajar di swasta seakan-akan bukan Indonesia, dan harus dikembalikan pemerintah. Yang baik adalah dia bisa tetap di swasta dan negara bisa menghargai mereka," kata Anies, Selasa (22/11) di Edutorium UMS Solo.
Untuk Prof. Dr. Siti Zuhro memberikan pertanyaan terkait Undang-undang otonomi daerah, yang menarik kewenangan daerah ke pusat. Serta keperluan adanya Ibu Kota Negara (IKN). Terkait IKN, Anies melihat belum ada kebutuhan mendesak Indonesia membangun kota besar di tengah hutan. Sebab, IKN dibangun dengan tujuan pemerataan, sehingga menurutnya tidak akan menunjukkan pemerataan yang baru. Karena kota baru itu akan timpang dengan daerah di sekitarnya.
"Kalau mau memeratakan Indonesia, bangun kota kecil jadi menengah, kota menengah jadi besar di seluruh wilayah Indonesia. Bukan cuma membangun satu kota di tengah-tengah hutan," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Anies juga membahas terkait kebebasan berpendapat. Sebab dengan kebebasan berpendapat, dan memberikan kritik kepada pemerintah, maka kualitas kebijakan akan meningkat.
Dari data ditampilkan, terjadi kemunduran sosial. Indeks demokrasi dari skor 7,03 pada tahun 2015, turun menjadi 6,71 di tahun 2022. Indek kebebasan pers dari 59,25 di tahun 2015, turun menjadi 54,83 pada tahun 2022. Serta indeks persepsi korupsi dari 36 di tahun 2015, turun menjadi 34 pada tahun 2022.
"Ketika kritik itu mati atau dimatikan, maka kualitas kebijakan itu mengalami penurunan. Jadi kebebasan ini menurut kami penting untuk dikembalikan, bahkan kebebasan masyarakat secara umum. Jangan sampai menyebut Indonesia dengan istilah Wakanda, atau Konoha, hanya karena kita tidak berani menyebut nama Indonesia karena ada UU ITE yang memprosesnya. Insya Allah UU yang membelenggu kebebasan, akan direvisi kedepannya," pungkasnya.
- Yophi Dapat Surat Tugas DPP, Partai Demokrat Hanya Jaring Nama Bacawabup
- Fokus Urus Bayi, Rencana Nyaleg Vicky Shu Masih Bisa Berubah
- Soal Program PIP PDI Perjuangan, Yuliyanto : Jangan Mencubit Kalau Gak Mau Dicubit