Sewindu Ganjar Pranowo Pimpin Jawa Tengah: Ekonomi Tumbuh Positif, Pariwisata Terpuruk, dan PR Tuntaskan Kartu Tani

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo saat mendampingi Presiden Joko Widodo. / Net.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo saat mendampingi Presiden Joko Widodo. / Net.

Tanggal 5 September 2021, Ganjar Pranowo genap Sewindu (delapan tahun) memimpin Jawa Tengah. Tanggal itu, tepat tiga tahun kepemimpinannya di periode kedua. Pada Periode pertama, 23 Agustus 2013 - 23 Agustus 2018, dia berpasangan dengan Heru Sudjatmoko. Sedangkan pada periode kedua, 5 September 2018 hingga sekarang, dia berpasangan dengan Taj Yasin Maimoen. Sepak terjangnya selama menjadi lurah-nya Jawa Tengah menuai pujian, juga kritik. Bagaimana penilaian, harapan dan kritik masyarakat terhadap kepemimpinannya selama sewindu ini, RMOL Jateng mengulasnya secara khusus dalam empat seri tulisan, terkait kebijakan di bidang ekonomi, politik dan kebijakan publik, kerukunan antarumat beragama dan toleransi, serta penanganan Covid-19.


Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan tren positif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah, pertumbuhan ekonomi Jateng kuartal kedua 2021 positif di angka 5,66 persen.

"Angka ini naik dibanding kuartal pertama 2021 yang masih minus -0,84 persen. Padahal, Jateng juga sempat minus di angka -5,91 persen di kuartal kedua 2020," kata Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, Senin (9/8).

Ganjar menambahkan, pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh berbagai sektor. Menurutnya, dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi Jateng didorong oleh hampir semua lapangan usaha. Dengan pertumbuhan tertinggi dari transportasi dan pergudangan yang tumbuh sebesar 85,43 persen. 

Sementara dari sisi pengeluaran, komponen yang mengalami kenaikan paling tinggi terjadi pada komponen ekspor sebesar 34,43 persen. Selain itu, lapangan usaha administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib mencatat pertumbuhan tertinggi yakni 13,13 persen. 

"Di sisi pengeluaran, seluruh komponen tumbuh positif dimana komponen pengeluaran konsumsi pemerintah mengalami pertumbuhan paling tinggi yakni 31,45 persen," jelasnya.

Ganjar memaparkan,  lapangan Usaha Industri Pengolahan mendominasi struktur ekonomi Jawa Tengah pada Triwulan II-2021 dengan kontribusi sebesar 34,47 persen. Sedangkan dari sisi pengeluaran didominasi oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga dengan kontribusi sebesar 60,83 persen.

industri pengolahan ikan di Jateng, yang mendominasi struktur ekonomi Jateng.

"Alhamdulillah sudah positif. Kita sudah positif di angka 5,66 persen. Nasional kan 7 persen. Artinya kita melihat sudah bagus," kata Ganjar.

Hanya saja, diakui Ganjar, pertumbuhan ekonomi saat ini banyak didorong dari sisi konsumsi. Belanja pemerintah yang digas sesuai arahan Presiden Joko Widodo ternyata hasilnya sudah kelihatan. Ekonomi di masyarakat, lanjutnya, juga sudah mulai menggeliat. Selain itu, semua Kabupaten/Kota, BUMN, BUMD dan dinas-dinas semuanya juga beraksi dengan gerakan belanja di masyarakat.

"Saya senang dikirimi gambar, mereka OPD (organisasi perangkat daerah) di kabupaten/ kota juga sudah banyak yang jajan. Beli punya masyarakat, jadi ekonomi masyarakat bergulir. Saya terima kasih, karena sekecil apapun kawan-kawan telah berkontribusi pada hal ini," pungkasnya.

Dalam rilis terbarunya, BPS Provinsi Jawa Tengah menyebutkan bahwa dibandingkan dengan Triwulan I-2021 (q-to-q), ekonomi Jawa Tengah pada Triwulan II-2021 tumbuh sebesar 1,03 persen. Dengan pertumbuhan sebesar tersebut menjadikan untuk pertama kalinya ekonomi Jawa Tengah tumbuh positif setelah empat kuartal terakhir secara y-on-y mengalami kontraksi. Pertumbuhan y-on-y pertama kali terjadi pada kuartal II-2020 yang terkontraksi sebesar 5,91 persen.

Selanjutnya pada kuartal III-2020 mengalami sedikit perbaikan dengan terkontraksi sebesar 3,76 persen. Demikian pula pada kuartal IV-2020 dan kuartal I-2021 yang masing-masing terkontraksi 3,34 persen dan 0,84 persen. Dan baru pada kuartal II-2021 ini ekonomi Jawa Tengah mampu tumbuh positif dengan 5,66 persen dibanding kuartal II-2020.

Prof Dr Andreas Lako, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, kepada RMOL Jateng, mengakui capaian Pemprov Jateng di bidang ekonomi, dibawah kepemimpinan Ganjar Pranowo. 

‘’Saya optimistis, tren arus balik pertumbuhan ekonomi yang positif tersebut juga akan terjadi pada triwulan kedua hingga triwulan keempat 2021,’’ ungkap Prof Lako.

Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata, itu mengatakan, indikasinya terlihat dari tren neraca perdagangan Jateng yang terus meningkat selama Januari-Maret 2021. Kedua, secara nasional dan regional Jateng, tren penambahan kasus harian Covid-19 mulai menurun sejak 1 Februari hingga awal Mei 2021. Pemberlakuan PPKM dan vaksinasi massal yang dilakukan pemerintah cukup efektif mengendalikan laju kasus Covid-19.

Penurunan laju penambahan kasus tersebut tentu saja memberikan sinyal positif kepada para pelaku ekonomi dan masyarakat untuk mulai meningkatkan aktivitas perekonomian pada Triwulan II-IV 2021. Karena kasus Covid-19 waktunya sudah berlangsung lebih dari setahun, kelompok masyarakat kelas ekonomi menengah dan atas, kata dia,  mulai tak betah menahan hasratnya untuk berinvestasi dan berkonsumsi dengan nilai ekonomi yang besar.

Mengacu laporan BPS per Maret 2021, jumlah penduduk miskin Jateng menurun 10,2 ribu orang, yaitu dari 4,12 juta orang atau 11,84 persen (September 2020) menjadi 4,11 juta orang atau 11,79 persen (Maret 2021). Untuk tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Jateng, dari 2017 hingga Februari 2020 terus mengalami penurunan. Jika pada Februari 2020, TPT sebesar 4,25 persen, pada Agustus 2020 meningkat menjadi 6,48 persen. Namun pada Februari 2021, TPT kembali turun menjadi 5,96 persen.

Pada 5 Mei 2021, BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi Jateng pada Triwulan I 2021 mulai membaik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Dilaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jateng secara tahunan (yoy) pada Triwulan 1 2020 adalah minus 0,87% lebih tinggi dibandingkan dengan Triwulan IV 2020 sebesar minus 3,34%.  Sementara secara triwulan (q to q), pertumbuhan ekonomi Jateng semakin bagus, yaitu 1,69% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar minus 1,89%.

Hal lain yang juga menggembirakan di balik laju pertumbuhan yang kian membaik itu, kata Lako,  adalah semakin membaiknya kondisi perekonomian Jateng dari sisi permintaan (demand side) dan dari sisi lapangan usaha (supply side). Dari sisi permintaan, secara triwulan konsumsi rumah tangga (61,1%) dan ekspor barang dan jasa (40,- 56%) mulai mencatatkan tren pertumbuhan yang positif. Sementara itu, pengeluaran konsumsi pemerintah (4,94%) dan penanaman modal tetap bruto atau PMTB (30,42%) yang diharap bertumbuh positif, justru bertumbuh negatif.

Dari sisi penawaran, tiga sektor usaha utama penyumbang nilai ekonomi dan penyerap tenaga kerja terbesar Jateng (62,62%) yaitu pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan, semuanya mencatatkan pertumbuhan yang positif. Sektor pertanian yang pada triwulan sebelumnya bertumbuh negatif (- 21,65%), pada Triwulan 1 2021 pertumbuhannya meroket menjadi 18,33%. Secara keseluruhan, dari 17 sektor usaha, 10 sektor usaha di antaranya mencatatkan pertumbuhan yang positif.

Namun, pertumbuhan ekonomi Jateng pun terkoreksi selama masa pandemi ini. Pada 2020, pertumbuhan minus 2,65 persen. Namun inflasi bisa ditekan hanya 1,62 persen. Kondisi yang dialami Jateng, kata Lako, juga dialami semua provinsi tetangga, Jatim, DKI, dan Jabar. Diberlakukannya PSBB dan PPKM mikro membuat aktivitas ekonomi terhenti. Ekspor impor menurun drastis, permintaan konsumsi turun. Pandemi sangat memukul telak dunia usaha.

‘’Pada periode pertama Ganjar memimpin Jateng, pertumbuhan ekonomi selalu diatas 5 persen setiap tahun, antara 5,2-5,3 persen,’’ ujar Lako.

Di masa Ganjar, inflasi pun turun. Pada masa Bibit Waluyo, inflasi 6-9 persen. Pada masa Ganjar, inflasi 2-3 persen, tetapi pertumbuhan ekonomi 5 persen. Lako menuturkan, indikator keberhasilan pemimpin dapat dilihat dari kestabilan politik, adanya keseimbangan antara permintaan dan penawaran, pengendalian inflasi.

‘’Ganjar saya nilai berhasil menciptakan kestabilan politik yang sangat bagus,’’ ujarnya.

Pariwisata Terpuruk

Di tengah pertumbuhan  ekonomi Jateng, sektor pariwisata yang paling terpuruk akibat pukulan telak pandemi Covid-19. Sebanyak 17.800 pelaku di pariwisata di Jateng terdampak berhenti totalnya aktivitas pariwisata.

Kepala Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Dinporapar) Jateng Sinung N. Rachmadi mengatakan, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada ditutupnya tempat-tempat wisata, tapi juga berhentinya usaha-usaha penopang.

Di masa pandemi, Pemprov Jateng mencoba membangkitkan sektor pariwisata, dengan membuka sebagian tempat wisata dengan penerapan protokol kesehatan ketat. Misalnya Candi Borobudur dan dataran tinggi Dieng, dengan melakukan pembatasan jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 30 persen dari biasanya.

Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Tengah, Bambang Mintosih, mengungkapkan, kebijakan tersebut menjadi sandungan bagi proses pemulihan industri pariwisata di Jateng.

“Kita baru ancang-ancang pemulihan, tapi sudah muncul kebijakan baru. Ini jadi jadi pageblug buat pengusaha dan karyawan. Kita mau dukung juga susah, tidak mendukung ya tidak bisa, jadi dilematis,” jelasnya

Benk, sapaan akrabnya, hanya bisa berharap pada stimulus pariwisata yang dijanjikan pemerintah saat PPKM Darurat di Jateng.

“Kita tidak mau membebani pemerintah dengan tanggungan stimulus yang besar, tapi saya juga punya dilema. Sebagai pengusaha saya tidak punya pemasukan dan sebagai karyawan saya juga digaji mundur entah sampai kapan,” ungkapnya.

Meskipun sektor perhotelan masih diperbolehkan untuk beroperasi, berhentinya kegiatan pariwisata seperti pertunjukan seni dan budaya tentunya memiliki pengaruh besar pada jumlah kunjungan tamu hotel.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah, pada Mei 2021 okupansi atau Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di wilayah tersebut dilaporkan mengalami penurunan 4,07 poin (m-to-m).

TPK hotel berbintang di Jateng pada tahun ini juga belum sepenuhnya pulih. Hal tersebut terlihat dari kenaikan TPK secara year-on-year yang masih di bawah 20%, tepatnya 17,28 poin, Mei 2021.

Masih ditutupnya akses wistawan mancanegara (wisman) ke Jawa Tengah menjadi salah satu pemicu buruknya kinerja industri perhotelan. Pasalnya, sejak April 2020, jumlah kunjungan wisman ke Jawa Tengah masih nihil. Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Provinsi Jawa Tengah, Sinoeng Noegroho Rachmadi, mengungkapkan bahwa penutupan akses wisman tersebut dilakukan guna mencengah penularan Covid-19.

“Wisatawan asing ada, tetapi mereka tidak datang dari luar. Tapi ekspatriat Jawa Tengah yang sudah ada di Indonesia, jadi konsultan, dosen, dan sebagainya,” jelas Sinoeng.

Kian merosotnya kinerja pariwisata di Jateng, menurut Benk, dapat berimbas pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal.

“Kalau PHK ini pasti, pasti ada pengaruh. Di sektor perhotelan tidak ada lagi daily worker, ini pekerja harian pasti di-cut untuk menekan operasional. Kita pun masuknya pasti cuma setengah, itu pun belum tentu bisa menutup biaya operasional,” jelasnya.

Sebagai pelaku industri pariwisata, Benk hanya bisa pasrah. Meskipun proses sertifikasi Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan) atau CHSE,  yang diminta pemerintah sudah dilakukan, namun hal tersebut tampaknya tidak berpengaruh banyak bagi kelangsungan usaha.

“Kami sudah mendapatkan CHSE, sudah vaksin, terus apa lagi? Tindakan preventif sudah dilakukan, standar pelayanan juga sudah dijaga. Sekarang kami cuma bisa menunggu yang terbaik,” pungkasnya.

Namun, seiring terjadinya penurunan level PPKM di hampir sebagian besar daerah di Jateng selama dua minggu terakhir, Benk menaruh harapan, sektor pariwisata yang terpuruk hampir dua tahun terakhir ini, dapat kembali bangkit dengan dibukanya kembali destinasi wisata, meski dengan pembatasan dan prokes ketat.

Tuntaskan Kartu Tani

Di sektor pertanian, Jawa Tengah adalah provinsi yang menjadi lumbung pangan kedua nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, Jawa Tengah memiliki lahan seluas 1.821.983,17 hektare di 2018, kemudian 1.678.479,21 hektare di 2019, dan 1.666.931,49 hektar di 2020. Namun dari data hasil produksi padi di Jawa Tengah, dari tahun ke tahun terdapat tren menurun meski tak terlalu signifikan. Pada 2018, Jawa Tengah mencatat hasil produksi padi 10.499.588,23 ton. Di 2019, capaian itu menyusut menjadi 9.655.653,98 ton dan menyusut lagi ke angka 9.489.164,62 ton pada 2020.

Namun, di sektor pertanian, Jateng masih menyisakan banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dibenahi. Salah satunya menuntaskan Kartu Tani, yang menjadi program unggulan Ganjar saat mengawali kepemimpinannya di Jawa Tengah.

Dosen Fakultas Peternakan dan Pertanian (FPP) Universitas Diponegoro, Siwi Gayatri, Ph.D mengatakan, Program Kartu Tani belum dilaksanakan sepenuhnya sesuai dengan arah kebijakan dan SOP yang dibuat oleh pembuat kebijakan, dalam hal ini gubernur.

Dikatakan, pelaksanaan program kartu tani dilakukan oleh komponen-komponen pelaksana yang meliputi penyuluh, kelompok tani, kios pupuk, BRI sebagai bank mitra dan kepala desa.

‘’Walaupun demikian para pelaksana kartu tani yang terlibat selalu berupaya untuk menjalankan peran dan wewenangnya dalam mencapai tujuan kebijakan program kartu tani,’’ kata dosen agribisnis FPP Undip ini.

Lantas apa persoalannya? Menurut Siwi, masalahnya bersifat  teknis pada saat pengusulan dan pembuatan e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok)  seperti pendataan petani yang masih belum terupdate secara keseluruhan, adanya permasalahan terkait status kepemilikan lahan, dan status lahan.

Ganjar saat menanam padi bersama petani di Delanggu, Klaten. foto: jatengprov.go.id

Penerbitan kartu tani akhirnya mengalami berbagai masalah, seperti belum tercetaknya kartu tani, pelayanan kartu tani oleh unit KCP BRI menjadikan permasalahan dalam sinkronisasi data serta sistem pendistribusian dan aktivasi kartu yang belum termanajemen dengan optimal serta ketersediaan sarana prasarana yang masih belum tercukupi.

Sedangkan aspek nonteknis, kata Siwi,  berkaitan dengan kompetensi dan kesiapan SDM petani dan kios pupuk yang kurang, motivasi pelaksana yang belum maksimal dan penerimaan program kartu tani yang masih rendah.

Meski sempat dihujat, namun program Kartu tani di Jateng tetap masih yang terbaik. Dalam acara pertemuan perencanaan kebutuhan pupuk berbasis e-RDKK di Banjarmasin, Senin (16/9/2019), program Kartu Tani Jateng dinobatkan sebagai terbaik nasional oleh Kementerian Pertanian (Kementan) RI.

Program Kartu Tani Jateng dinilai paling baik dibanding daerah lain karena sejumlah faktor. Diantaranya dari sisi implementasi penyaluran, tingkat implementasi penggunaan, hingga upload e-RDKK sebagai database Kartu Tani.  Data yang dicatat dari jatengprov.go.id, jumlah petani di Jateng mencapai 2,8 juta jiwa. Jumlah kartu tani yang sudah terdistribusi sebanyak 2,6 juta petani, sementara yang belum mendapatkan sekitar 200 ribu petani.

Dalam beberapa kesempatan lain, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menegaskan bahwa program Kartu Tani bukan hanya berbicara soal pupuk bersubsidi, namun lebih pada pendataan petani di lapangan. Data pertanian itu penting untuk menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada pangan.

“Saat ini, hanya Jawa Tengah yang memiliki data pertanian terlengkap dan tidak dimiliki daerah lain. Mulai data siapa petaninya, dimana lokasinya, dia tanam apa, berapa luasannya dan lain sebagainya. Data-data itu sangat penting untuk dasar pengambilan kebijakan soal pertanian kita di masa yang akan datang,” ujar Ganjar.

Kesejahteraan Petani

Sebagaimana provinsi lain di Tanah Air, Jateng juga mengalami persoalan minimnya kesejahteraan petani. Permasalahan pertanian yang sangat komplek, kata Siwi Gayatri, semakin memperburuk keadaan petani untuk keluar dari kemiskinan.

Siwi juga menilai, masih terdapat kesulitan dalam hal penyaluran pupuk di Jawa Tengah, dan pemerintahan dibawah kepemimpinan Ganjar Pranowo belum dapat memperbaiki harga produk pertanian, khususnya ketika panen raya. Produk pertanian Jawa Tengah belum mampu memenuhi permintaan dalam negeri. 

Untuk memperbaiki kinerja pemerintah, menurut Siwi, perlu strategi dan terobosan dalam hal reformasi pembangunan pertanian secara mendasar dan menyeluruh. Kerjasama dan pendampingan dari universitas atau lembaga penelitian perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan tujuan kedaulatan pangan dapat tercapai.

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan Ganjar Pranowo di bidang tata kelola pertanian, khususnya dalam memenuhi kebutuhan benih dan pupuk adalah meningkatkan produktivitas dengan penggunaan benih bermutu dan varietas unggul baru dan distribusi pupuk subsidi tepat sasaran.

Dalam hal ini, Gubernur Jateng harus mengimplementasikan kartu tani dan membuka jalur kemitraan antara produsen benih dengan petani mitra dan kemudahan dalam pemasaran hasil.

Gubernur Jateng juga harus mendukung implementasi program bantuan benih nasional seperti BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul) dan Cadangan Benih Nasional (CBN). Program tersebut sangat membantu dan mendukung bagi keberhasilan peningkatan produktivitas dan produksi. Namun pelaksanaannya selalu bermasalah, seperti mekanisme benih bantuan seringkali tidak tersedia pada jumlah dan varietas yang tepat sesuai dengan kebutuhan petani berdasarkan data RDKK yang diajukan oleh petani/kelompok tani melalui Dinas Pertanian setempat.