Novi Kurniasari (44) beberapa kali mengganti kanal televisi. Jumat (20/8) pagi sekitar jam tujuh itu, stasiun tv nasional ada yang menyiarkan acara berita dan liga dangdut. Ada pula yang menyuguhkan tayangan olahraga. Yang lain menyajikan film kartun anak-anak.
- Serahkan Santunan Peserta Non ASN, Bupati Sukoharjo Ingatkan Manfaat BPJS Ketenagakerjaan
- Gubernur Ahmad Luthfi: Potensi Jateng Sebagai Referensi Investor
- Genangan Banjir Pergi, Kegiatan Perekonomian Di Pasar Genuk Menggeliat Lagi
Baca Juga
Bosan, karena tayangannya cenderung itu-itu saja, ibu rumah tangga warga Perumnas Pucanggading, Demak, itu, memindah kanal televisinya ke layanan tv interaktif dari perusahaan telekomunikasi nasional. Di sana, tersedia banyak pilihan, dari pendidikan, musik, fashion, lifestyle, sport, hingga film box office.
Ibu beranak dua itu, memilih tayangan film thriller drama. Saat ditanya apa sudah mengetahui kabar rencana migrasi tv analog ke tv digital, dia mengaku belum tahu.
‘’Sama sekali belum pernah dengar. Selama ini, ya tahunya nonton tv, tak tahu istilah analog atau digital,’’ ungkapnya.
Tetangganya, Try Edi (62), juga setali tiga uang. Ayah tiga anak itu mengaku tidak tahu ada rencana pemerintah soal migrasi tv tersebut. ‘’Kalau ada rencana itu, saya setuju saja, apalagi kalau yang baru nanti dijamin kualitas tayangannya lebih bagus,’’ ujarnya,
Namun, pria bekerja di sebuah usaha penyembelihan ayam ini, mengaku keberatan jika dibebani biaya mahal.
‘’Saya setuju ada perubahan, tidak menolak kebijakan pemerintah. Tapi, asal gratis, saya mau. Saya lebih baik tidak nonton tv, daripada harus membayar mahal,’’ papar pria asal Yogya ini.
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah, Anas Syahirul Alim meminta pemerintah menyempurnakan roadmap program migrasi ini, mengingat masih belum satu suara di antara stakeholder penyiaran dan minimnya sosialisasi di masyarakat.
‘’Pemerintah harus mengawal industri penyiaran menyediakan infrastruktur siaran digital. Karena sampai saat ini, belum semua provinsi terbangun infrastruktur transmisi layanan siaran digital. Jika batas akhir migrasi analog ke digital atau ASO (analog switch off) pada November 2022, maka harus dikebut fasilitas infrastruktur digital ini dalam kurun tidak lebih dari dua tahun,’’ tegas Anas, kepada RMOL Jateng, Jumat (20/8).
Jangan Memberatkan
Komisoner asal Solo ini juga menyampaikan kritik terkait distribusi Set Top Box (STB). STB merupakan perangkat untuk menerima siaran digital yang dapat dihubungkan ke pesawat televisi. Dia meminta ada skema yang lebih terencana dari distribusi STB ini, untuk masyarakat umum dan subsidi keluarga miskin.
‘’Untuk masyarakat umum, STB mahal, dan harus ada skema subsidi STB untuk keluarga miskin. Warga penerima subsidi STB harus didata secara detail. Pola distribusinya juga harus direncanakan dengan baik. Karena distribusi bantuan apa pun selama ini, selalu saja menimbulkan kontroversi di masyarakat, karena banyak yang terlewatkan. Artinya pemerataan distribusi perangkat STB ini juga harus jadi perhatian pemerintah. Baik untuk masyarakat miskin penerima subsidi maupun untuk masyarakat umum,’’ tukas alumni Komunikasi Fisip UNS Solo.
Dari pantauan RMOL Jateng di beberapa toko elektronik maupun toko online, harga STB bervariasi, mulai Rp200 ribu-Rp500 ribu. Bagi yang mampu, harga itu boleh jadi tidak masalah. Namun, sebaliknya bagi yang berkantung pas-pasan, terlebih di masa pandemi ini.
‘’Saya sepakat bahwa migrasi ke digital ini jangan memberatkan dan menyulitkan masyarakat, dalam artian dari sisi beban belanja dan teknis proses konsumsi siaran digital,’’ tegas Anas.
‘’Pemerintah harus bisa mengontrol harga STB di pasaran sehingga tidak merugikan masyarakat. Sementara untuk masyarakat miskin, pemerintah dan industri penyiaran pemenang mux akan memberikan STB secara gratis. Jumlah penerima STB gratis akan disesuaikan dengan jumlah masyarakat miskin dalam data Kemensos. Alokasi yang sudah dihitung 6,7 juta KK. Skema pemberian STB gratis untuk masyarakat miskin ini harus diperjelas dan direncanakan baik. Jangan sampai di lapangan bermasalah,’’ papar pria yang juga Ketua PWI Surakarta ini.
Plt. Direktur Jenderal Penyelenggaran Pos dan Informatika Kominfo Ismail sebelumnya mengatakan, bagi masyarakat yang memiliki tv analog tinggal menambahkan STB untuk bisa menikmati siaran tv digital. "Antena sendiri tidak perlu diganti, ini bisa tangkap siaran digital," jelasnya.
ASO Ditunda
Pelaksanaan ASO sendiri ditunda pemerintah. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menjelaskan kondisi pandemi Covid-19 dan kebijakan PPKM menjadi pertimbangan pemerintah untuk mereviu tahapan ASO.
Jika mengacu pada ketentuan tahapan sebelumnya, tahap 1 dilakukan pada tanggal 17 Agustus lalu, tepat di HUT ke-76 RI.
Semula, kebijakan ASO yang akan diimplementasikan pada seluruh wilayah terbagi dari lima tahapan. “Namun, mengingat luasnya negara kita dan kompleksitas luasnya masalah, maka Kominfo melakukan Analog Switch Off secara bertahap,” tandas Menkominfo, dikutip dari Kominfo.go.id.
ASO akan dilakukan dari yang awalnya lima tahap menjadi tiga tahap. Adapun tiga tahapan ASO itu akan dimulai pada akhir April, Agustus dan awal November 2022.
Anas setuju dengan penundaan ASO. Pemerintah selaku regulator dan industri penyiaran harus menyiapkan infrastrukturnya. Sosialisasi ke masyarakat juga digencarkan.
‘’Banyak yang belum paham tentang migrasi ke digital ini, masyarakat juga belum punya STB. Pembagian STB untuk masyarakat miskin juga belum terencana baik. Kalau tiba-tiba dimatikan analognya akan membuat keributan di masyarakat. Apalagi hiburan mereka di saat PPKM ini adalah tontonan di televisi. Penundaan ini keputusan tepat,’’ tegasnya.
Dampak Positif
Selain kritik, Anas menyatakan menyambut baik program migrasi analog ke digital ini. Apalagi, menurutnya, Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang terakhir melakukan migrasi digital ini. Migrasi digital, kata Anas, akan memberikan dampak positif bagi penonton, pelaku industri penyiaran dan industri komunikasi lainnya.
‘’Migrasi siaran analog ke digital ini akan membuat tayangan lebih jernih dan nyaman dinikmati penonton, juga peluang tumbuhnya program-program siaran lokal yang lebih kompetitif. Lapangan kerja di industri penyiaran juga diharapkan meningkat. Digitalisasi siaran berpotensi menghasilkan pendapatan negara dari penyewaan frekuensi untuk membuat TV baru,’’ paparnya.
Anas menuturkan, migrasi digital akan menambah slot saluran. Kualitas tayangan lebih jernih, baik suara maupun gambar. Maka, kebijakan ini harus dimanfaatkan untuk menghasilkan program-program siaran yang variatif dan berkualitas.
‘’Efisiensi infrastruktur ini berlaku untuk penggunaan menara (tower), pemancar dan penggunaan listrik, jika lembaga penyiaran harus menggunakan masing-masing infrastruktur sendiri. Siaran televisi digital juga mampu berdaya saing ekonomi digital, pendapatan negara, dan penyediaan lapangan kerja,’’ imbuhnya.
Hanya saja, kata Anas, jangan sampai migrasi digital ini hanya sekadar menghasilkan tayangan yang lebih jernih, tanpa diimbangi dengan kreatifitas penciptaan konten yang makin bermutu.
‘’Siaran digital juga harus mendorong tumbuhnya produksi konten-konten terutama konten lokal yang lebih sehat, lebih informatif, lebih mencerdaskan masyarakat. Jadi bisa menghasilkan jernih gambarnya, juga jernih isinya. Sehingga migrasi digital harus lebih berkualitas secara teknis tontonan dan lebih berkualitas dari mutu konten siarannya,’’ tandasnya.
- Bank Jateng Slawi Dan Maris Bangun Nasional Teken Kerja Sama KPR, Bupati Tegal: Ini Langkah Strategis
- Serunya Emak-Emak Ikut Pelatihan Baking Class Gratis dari Gardal
- OJK Cabut Izin Usaha 4 Koperasi Lembaga Keuangan Mikro Gapoktan di Pemalang