Sebelum Bicara Undang-undang Penyiaran Mari Kita Kenali Dulu Dia

Juni Soehardjo
Juni Soehardjo

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran pada zamannya dianggap telah mencakup kepentingan penyiaran pada umumnya.


Di dalamnya ada pendefinisian penyiaran, utamanya tentang penggunaan frekuensi elektro magnetik dan kewajiban adanya izin (lisensi) atas penggunaan frekuensi tersebut oleh pihak pemerintah untuk berjalannya suatu operasional lembaga penyiaran.

Sudut pandang tulisan ini menekankan pada kepentingan pentingnya mendapatkan izin regulator teknis di bidang penyiaran. Sebelum membuat suatu argumentasi hukum namun tidak mengetahui apa karakteristik Undang-undang Penyiaran dan amanat pengelolaan yang berada di dalamnya, maka kita hanya akan menggantang asap.

Sebelum digabung ke Kementerian Komunikasi dan Informatika, pihak regulator teknis yang mengeluarkan lisensi penggunaan frekuensi adalah Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel). 

Ditjen Postel merupakan regulator yang menjalankan semua pembagian dan pemeliharaan sumber daya terbatas berupa frekuensi atau pada istilah teknisnya gelombang elektromagnetik.

Dalam pelaksanaannya mereka mempertanggung jawabkan pembagian frekuensi sesuai panduan ITU (International Telecommunications Union). 

Setelah digabungkan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2006 maka Ditjen ini menjadi Direktorat Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (Ditjen SDPPI).

Semua pengaturan tentang pembagian frekuensi ada di Ditjen SDPPI termasuk frekuensi yang dipergunakan untuk penyiaran di Indonesia. Frekuensi seluler juga berada di bawah pengawasan dan pengendalian pihak Ditjen SDPPI.

Dengan demikian Undang-undang Penyiaran yang saat ini berlaku justru menekankan kepada penyelenggaraan dan pengawasan penggunaan sumber daya terbatas. 

Semua lembaga penyiaran yang berada di Indonesia merupakan lembaga penyiaran terestrial karena semua siaran mereka dapat ditangkap oleh mesin penerima sinyal tersebut. 

Sifat suatu penyiaran terestrial sudah pasti sangat berbeda dengan yang sekarang sedang ramai dibicarakan dan viral yakni distribusi audio visual melalui jalur streaming atau dalam bahasa sederhananya penyebar luasan suara dan gambar melalui jalur teknologi informasi.

Dari namanya saja, streaming jelas menggunakan teknologi yang sangat jauh berbeda dengan penyiaran terestrial. 

Terestrial menggunakan suatu properti publik yang harus dilakukan berdasarkan kewenangan oleh negara sebagai wakil negara dan wakil publik. Sebagai suatu properti publik, sumber daya terbatas diampu oleh Ditjen SDPPI. Hal ini merupakan suatu pengejawantahan dari Konstitusi Republik Indonesia, yakni Undang-undang Dasar 1945, tepatnya Pasal 33 ayat 3 dimana disebutkan “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” 

Pengejawantahan pasal ini sangat mahal bagi lembaga penyiaran. Terlebih lagi Undang-undang Penyiaran ini mewajibkan lembaga penyiaran memecah diri dalam beberapa entitas hukum di daerah. 

Pola pemikiran saat itu adalah agar memastikan warga suatu daerah tidak terus menerus dicekoki oleh berita dan informasi yang tidak terlalu relevan bagi mereka. Warga daerah Papua sudah tentu tidak memerlukan informasi kemacetan jalan tol di Jawa yang diliput terus menerus di dalam pemberitaan di musim liburan panjang atau menerima liputan banjir di utara Jawa selama 24 jam tak henti-henti. 

Diharapkan dengan adanya pemecahan entitas hukum, maka berita yang diterima oleh warga menjadi bervariasi dan majemuk sehingga mewakili kekayaan informasi Indonesia yang sangat luas.

Upaya kemajemukan ini sudah tentu berharga sangat mahal. Pada prakteknya, entitas lembaga penyiaran swasta di ibukota Republik Indonesia yang mendapatkan izin penggunaan gelombang elektromagnetik secara nasioinal ini wajib membayar izin lisensi mereka dengan jumlah yang sangat mahal. 

Pembayaran berupa retribusi juga harus dibayarkan ke pihak pemerintah daerah tempat mereka memiliki entitas lembaga penyiaran. Belum lagi pemilik lembaga penyiaran juga harus harus memperbaharui peralatan mereka setiap beberapa tahun sekali akibat perkembangan teknologi.

UU Penyiaran pada kenyataannya memberikan kesempatan lembaga penyiaran setempat untuk dapat berkembang sehingga menimbulkan efek riak ombak (ripple) yang luar biasa terhadap perekonomian setempat. 

Para pembuat undang-undang memiliki visi bahwa penyiaran televisi dan radio di Indonesia dibagi dalam 4 macam kategori yakni lembaga penyiaran swasta, termasuk di dalam kategori ini adalah kelompok-kelompok grup bisnis SCTV, MNC, dan sejenisnya; seterusnya adalah lembaga penyiaran publik yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) yang memberikan layanan informasi tidak komersial karena demi memberikan edukasi dan hiburan dengan tujuan mulia: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berikutnya adalah lembaga penyiaran komunitas yang menggunakan frekuensi dengan kapasitas terbatas demi melayani komunitas setempat; serta yang terakhir adalah lembaga penyiaran berlangganan, yang hanya bisa disaksikan dan dinikmati oleh pelanggan yang berkenan untuk mengeluarkan uang langganan untuk mendapatkan informasi khusus. 

Dari pembagian itu sesungguhnya terlihat para pembentuk UU Penyiaran memiliki harapan bahwa dengan lembaga penyiaran komunitas, informasi dapat dibangun dari pihak warga lokal dan memperkaya penyiaran di Indonesia. Lembaga komunitas ini memiliki berbagai kemudahan dan tidak harus membayar izin untuk menggunakan frekuensi elektro magnetik. 

Namun, semua niat baik para pembuat undang-undang terbentur pada kenyataan keras, yakni masalah model bisnis. Tidak semua pihak di daerah di Indonesia memiliki kemampuan finansial untuk membiayai penyiaran yang mahal ongkosnya karena memang memiliki peralatan penyiaran dan memiliki sumber daya manusia yang mengerti penyiaran adalah sangat langka dan mahal. Belum lagi setelah beroperasi, dari manakah datangnya dana untuk memelihara semangat untuk mengisi konten yang sesuai dengan komunitas?

Belum lagi dengan datangnya smartphone pada dekade berikutnya, lembaga penyiaran komunitas sekarang ini rata-rata akhirnya bertahan hidup di perguruan tinggi dan kalangan akademisi di universitas. 

Mereka cukup bertahan karena memiliki entitas induk dan pelindung yang mampu memberikan tempat dan keberlangsungan sumber daya manusia mau pun sumber daya finansial untuk pengoperasiannya.

Apakah itu berarti UU Penyiaran ini ketinggalan zaman?

UU Penyiaran ini sesungguhnya merupakan jawaban dari teknologi yang mendobrak penyiaran pada saat itu. Pada saat orang awam menikmati perbagai layanan penyiaran langsung (terutama saat Indonesia saat itu sedang tercekam dengan penangkapan kelompok-kelompok teroris) banyak yang tidak menyadari bahwa ada suatu perpindahan besar. Yakni migrasi. 

Perpindahan besar itu bernama migrasi penyiaran dari sistem analog menjadi sistem teknologi digital. UU Penyiaran ini sudah menyiapkan diri walau belum bisa terlalu terperinci untuk menghadapinya. Tetapi Tim Migrasi Penyiaran Dari Sistem Analog Ke Sistem Digital yang dibentuk oleh Kementerian Kominfo terdiri dari kelompok asosiasi profesi, para ahli, para akademisi dan perwakilan berbagai entitas dari sektor penyiaran dan pendukungnya adalah orang yang sama yang menyusun RUU Penyiaran pada saat itu.

Namun, harus diakui perpindahan ini bukanlah hal yang mudah. Satu hal yang mengemuka pada saat pembicaraan dan pembahasan migrasi penyiaran adalah kesadaran bahwa dengan adanya migrasi, semua hal yang berkaitan dengan penyiaran akan berubah.

Yang berubah utamanya adalah model bisnis penyiaran, ongkos perpindahan ke peralatan digital, pelatihan bagi para penggiat penyiaran karena perubahan ini berarti perubahan cara bekerja di newsroom dan production house. 

Sementara pada saat yang sama harus pula dipikirkan teknologi mana yang akan digunakan untuk menjalankan sistem digital ini. 

Pada waktu pembahasan RUU Penyiaran dan Migrasi Penyiaran itu berbagai raksasa teknologi bersiduluan mampir ke Indonesia untuk memastikan sistem mereka dapat ditetapkan sebagai sistem digital resmi oleh pemerintah Indonesia.

UU Penyiaran adalah salah satu peraturan perundangan yang padat teknologi dan sangat memahami perubahan cepat dari suatu digitalisasi dan dibuat oleh para visioner yang mengetahui bahwa dunia masa depan akan didorong oleh aplikasi teknologi terbaru.

Kemungkinan besar yang terlewat oleh para pembuat UU Penyiaran tersebut adalah munculnya smartphone yang kelak membabat habis semua gawai yang tradisional. Pada permulaan abad XXI, orang terhubung dengan internet hanya apabila memiliki komputer dan laptop yang stasioner. 

Harga jasa internet juga sangat mahal sehingga tidak semua orang bisa memiliki akses terhadapnya. Pada saat itu, tidak ada satu pun gawai yang memungkinkan penggunanya untuk menikmati informasi dan hiburan secara bergerak (mobile). 

Ledakan internet yang dapat diakses oleh smartphone pada dasawarsa kedua abad XXI adalah sesuatu yang di luar kemampuan manusia untuk meramalkannya walau pun para ahli saat itu sudah menangkap kisi-kisinya.

Juga karakteristik FOMO (Fear of Missing Out) yang ditimbulkan oleh maraknya media sosial yang mulai meledak tak tertahankan pada tahun 2010 ke atas.

Tapi itu adalah permasalahan lain yang bisa dibicarakan dalam penulisan berikutnya. Kali ini cukup kita pelajari karakter UU Penyiaran secara mendasar.

Sehingga kita memahami pada saat membicarakan berbagai masalah turunan yang sangat erat dan jalin menjalin antara UU Penyiaran dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang memiliki karakteristiknya sendiri.

Setidaknya kita memahami UU Penyiaran tidak bisa dicap sebagai UU Paling Tua Yang Tidak Mengikuti Perkembangan Zaman! Seperti yang lantang disebutkan oleh seorang wakil rakyat terhormat dari Komisi I DPR RI pada saat diskusi tentang Rancangan Undang-undang Revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran pada Rabu (15/05) kemarin.