Satu Keluarga Jadi Terdakwa, Disidang Bersama Di Pengadilan Negeri Pekalongan

Satu Keluarga Asal Kota Pekalongan Menjadi Terdakwa Kasus Dugaan Mafia Tanah, Selasa (26/03). Bakti Buwono/RMOLJateng
Satu Keluarga Asal Kota Pekalongan Menjadi Terdakwa Kasus Dugaan Mafia Tanah, Selasa (26/03). Bakti Buwono/RMOLJateng

Sidang perdana kasus dugaan praktek mafia tanah yang mengakibatkan satu keluarga di Kota Pekalongan menjadi terdakwa dimulai. Agus Maksum Mulyo Hadi menjadi Ketua Majelis Hakim di sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan.


Agenda sidang perdana itu pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Hari ini Penuntut Umum belum siap menghadirkan saksi sehingga sidang ditutup dan ditunda pada Selasa 2 April 2024," ujar Ketua Majelis Hakim Agus Maksum Mulyo Hadi di ruang sidang, Selasa (26/03).

Keempat terdakwa tidak menjalani penahanan. Sehingga pada agenda berikutnya wajib hadir dalam sidang lanjutan. Para terdakwa dipersilahkan untuk mengajukan eksepsi atau keberatannya.

Ketua Tim Kuasa Hukum, Nasokha, yang mewakili kliennya Leny Setyawati (74) mengatakan tidak mengajukan eksepsi dan lebih memilih langsung masuk ke agenda pembuktian.

"Hari ini tidak ada eksepsi karena eksepsi itu berkaitan dengan identitas atau kompetensi pengadilan, nanti perkara-perkara lain yang tidak benar dan sebagainya akan masuk ke pledoi. Kita langsung ke pembuktian," tegasnya.

Dalam perkara yang ditanganinya itu ada proses balik nama sertifikat tanpa melibatkan istri mau pun ahli waris sehingga karena itu perdata mestinya ada tanda tangan suami istri.

"Nah saya malah curiganya kalau itu bisa dilakukan proses tanda tangan apakah dipalsukan atau tidak ini yang nanti pembuktiannya seperti apa," jelas Nasokha.

Adapun dakwaan JPU yang menyebut barang siapa memasuki pekarangan orang tanpa izin di lahan milik orang lain itu tidak relevan, pasalnya korban selama menempati itu tidak tahu lahan pernah dipindahkan ke siapa.

Korban sendiri tidak pernah dimintai tanda tangan dan tidak tahu ada proses balik nama. Kemudian ada hal lainnya seperti proses balik nama menggunakan jasa notaris dari Cirebon bukan dari Pekalongan.

"Kalau tidak salah ada (peraturan-red) kewilayahan. Orang Pekalongan ya notarisnya Pekalongan, bukan ke Cirebon. Lalu sertifikat yang seharusnya dijadikan jaminan utang malah dilakukan jual beli. Jadi gak ada istilah AJB (Akad Jual Beli) gantung," bebernya.

Sebelumnya, kasus itu berawal dari sengketa kepemilikan lahan satu keluarga di kota Pekalongan yang menjadi tersangka kasus dugaan menempati tanah tanpa izin. Seorang ibu dan tiga anaknya ditetapkan tersangka oleh Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah.

Mereka yang jadi tersangka adalah Lanny Setyawati (ibu), dan ketiga anaknya Titin Lutiarso, Haryono serta Lilyana. Keempatnya sedang menjalani proses hukum perdata dan pidana sekaligus atas kasus tersebut. Keempatnya ditetapkan jadi tersangka pada 22 Februari 2024 lalu.

"Kami sebenarnya menyayangkan proses perdata sedang berlangsung (sudah ditetapkan sebagai tersangka) hal yang janggal kasus pidana dimajukan bareng perdata. Lalu ada plang dipasang (depan rumah serta garis polisi-red) tidak ada logo kepolisian. Kami bertanya-tanya. Kami yang mewakili kepentingan bersangkutan," kata pengacara keluarga Lanny, Imamul Abror saat ditemui, Sabtu (23/03) sore.

Di depan rumah kliennya terpampang plang bertuliskan "Tanah dan Bangunan Sesuai SHGB No 00038/Noyontaansari dan SHGB No 00037/Noyontaansari A.N Felly Anggraini Tandarpanata, Freddy Tandapranata dan Yuliana Tandapranata Saat Ini Dalam Proses Penyidikan Ditreskrimum Polda Jawa Tengah Berdasarkan Laporan Polisi No.LP/B/250/V/2021/Jateng Direskrimum, tanggal 7 Mei 2021". Tulisan tersebut berwarna putih dengan latar merah tanpa ada logo kepolisian.

Ia menilai pemasangan plang janggal, sebab saat ini kasus masih berjalan atau dalam sengketa. Lalu segala hal terkait penyitaan dan sebagainya harus ada perintah pengadilan yang berdasarkan putusan inkracht.

Lanny Setyawati (74) menjelaskan objek sengketa adalah lahan seluas 1.433 M2 di Jalan Kartini, Kota Pekalongan. Lahan itu ada dua sertifikat dengan luas 1.013 M2, dan 420 M2. Di lokasi itulah keluarganya tinggal serta usaha keluarga berdiri.

Ia lalu menjelaskan duduk perkara kasus yang menjerat keluarganya. Kasus yang membuat satu keluarga jadi tersangka itu bermula dari usaha bisnis suaminya, Lukito Lutiarso dengan Pabrik Teh milik Tan Pek Siong.

Pada 1994, suaminya, Lukito Lutiarso kesulitan keuangan dan meminta bantuan Tan Pek Siong untuk menebus sertifikat tanahnya di bank. Saat itu, rekanan suaminya mengutus anaknya, Hidayat Pranata, untuk membantu menebus tiga sertifikat. Rinciannya dua sertifikat di Jalan Kartini (yang sekarang jadi sengketa) dan sertifikat tanah seluas 420 m2 di Jalan Bandung.

"Akhirnya dibantu anaknya Pak Siong, yaitu pak Hidayat, dengan nominal Rp400 juta dimana 3 sertifikat di dua lokasi itu akhirnya bisa ditebus. Lalu sertifikat diubah atas nama pak Hidayat, ada akta jual beli (AJB)," urainya.

Keluarga Lukito Lutiarso tetap menempati serta membuka usaha di dua lokasi itu dengan sistem pinjam pakai dengan perjanjian di hadapan Notaris Ida Yulia. Perjanjian pinjam pakai itu ditandangani keduanya pada 1997.

Lalu pada 2007, Lukito Lutiarso, membayar sebesar Rp200 juta pada Hidayat. Ia mendapatkan kembali sertifikat tanah di Jalan Bandung seluas 420 M2. Dalam waktu seminggu, sertifikat itu sudah balik nama lagi jadi Lukito Lutiarso.

Pada 2019, Hidayat Pranata meninggal dunia. Lalu, suaminya juga punya itikad baik. Lukito sempat berkonsultasi pada seseorang bernama Suryo untuk menghitung biaya menebus sisa sertifikat yang masih ada di tangan keluarga koleganya itu. Namun belum sempat menebus, Lukito Lutiarso meninggal dunia pada 2021.

"Belum ada 40 hari, tiba-tiba istri almarhum pak Hidayat mengatakan bahwa yang kita tinggal, sepihak diklaim milik mereka. Saat itu kami dalam keadaan berduka, karena ada keluarga lain yang meninggal dunia. Hal itu pun dikatakan ke cucu saya yang tidak tahu apa-apa," ucapnya lirih.

Pihaknya pun berkonsultasi pada pengacara waktu itu dan memutuskan untuk menggugat secara perdata, sebagai upayanya mempertahankan tanah keluarganya. Proses perdata berlangsung di tingkat pengadilan negeri hingga kasasi di tingkat Mahkamah Agung. Diakuinya bahwa hingga kasasi, pihaknya selalu kalah.

Namun pihak keluarga tidak menyerah dengan mengajukan upaya pengajuan kembali (PK) yang putusannya belum turun hingga saat ini.

Ternyata pihak lawan melaporkan keluarganya ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreksrimum) Polda Jawa Tengah dengan dugaan perkara tindak pidana memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya dan atau memasuki pekarangan tanpa izin yang berhak. Hal itu tertuang dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, dan/atau pasal 167 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hingga akhirnya Lanny Setyawati dan tiga anaknya ditetapkan jadi tersangka.

"Padahal proses perdata belum selesai, kok bisa jadi tersangka? Lagipula, kalau jual beli biasa, masak sertifikat di Jalan Bandung bisa ditebus? Lalu kami bisa menempati sampai sekarang?" tanyanya.

Lanny menyatakan akan tetap berusaha hingga akhir untuk mencari keadilan hingga inkracht (berkekuatan hukum tetap) dan ada perintah resmi dari pengadilan.