Saat Jet Tempur Tak Bisa Terbang Bebas, Paradoks Pertahanan Udara Dan Kedaulatan Di Era Jaringan

Ilustrasi Dashboard Pesawat Jet Tempur. Stockcake
Ilustrasi Dashboard Pesawat Jet Tempur. Stockcake

Bayangkan membeli jet tempur sekelas F-15EX dan Rafale - dua dari yang tercanggih di dunia - namun tak bisa menerbangkannya bebas di langit sendiri. Inilah paradoks nyata yang dihadapi Indonesia hari ini.

Masalah ini berakar dari pengendalian ruang udara strategis seperti Selat Malaka. Memang benar, sejak 2022, pengelolaan FIR (Flight Information Region) yang sebelumnya berada di bawah Singapura, telah secara resmi berubah menjadi FIR Jakarta.

Namun, wilayah udara eks-FIR Singapura dari permukaan hingga 37.000 kaki didelegasikan oleh Indonesia kepada Singapura untuk dikelola selama 25 tahun, dan segera diperpanjang saat memasuki waktu daluwarsa.

Artinya, kendali operasional tetap berada di tangan Singapura, termasuk untuk rencana penerbangan militer TNI AU yang masih harus dilaporkan ke otoritas mereka.

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apa gunanya memiliki armada tempur canggih jika tak bisa digunakan secara mandiri? Bukankah ini bertentangan dengan semangat kedaulatan udara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 458?

Indonesia telah meneken pembelian 48 Rafale dan merencanakan 24 F-15EX. Di atas kertas, ini adalah langkah besar dalam modernisasi alutsista. Namun, seperti diingatkan Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, kedaulatan udara tidak ditentukan oleh jumlah jet di hanggar, melainkan oleh kendali penuh atas langit sendiri.

Dari Jet Ke Jaringan: Menggeser Paradigma Lama

Modernisasi pertahanan bukan sekadar memperbarui arsenal. Dunia telah memasuki era network-centric warfare - sistem pertahanan terintegrasi yang menghubungkan radar, sensor, jet, rudal, pusat komando, hingga pengambilan keputusan berbasis data dan AI.

Sayangnya, Indonesia masih terpaku pada paradigma lama: beli jet, pasang radar, akuisisi rudal. Tanpa integrasi sistem, semua itu hanya komponen terpisah yang tak mampu bertindak cepat dan sinergis. Kita butuh ekosistem pertahanan yang menyatu, termasuk sistem keamanan siber untuk udara dan antariksa.

Ancaman Datang Dari Server, Bukan Hanya Dari Langit

Serangan masa kini tak selalu datang lewat udara, tapi bisa menyusup lewat sistem digital: malware di radar, backdoor di firmware, hingga sabotase dalam sistem kontrol. Semua ini bisa melumpuhkan sistem sebelum jet sempat terbang.

Namun, hingga kini Indonesia belum memiliki sistem komando pertahanan siber khusus untuk sektor udara. Padahal sektor ini sangat tergantung pada digitalisasi dan vendor luar. Tanpa kontrol terhadap supply-chain cyber security, kita seperti menyerahkan kunci rumah kepada pihak asing.

Integrasi Drone: Bukan Masa Depan, Tapi Kebutuhan Saat Ini

Modernisasi tak lengkap tanpa wahana nirawak (UAV/UCAV). Tapi lebih dari sekadar penggunaan drone, kita perlu sistem manned-unmanned teaming (MUM-T), di mana jet tempur dan drone beroperasi dalam satu taktik terpadu.

F-15EX dan Rafale bisa mengendalikan beberapa drone sekaligus - sebagai pengintai, pelindung, atau penyerang awal. Ini memperluas jangkauan, mengurangi risiko pilot, dan memperkuat daya kejut. Yang penting, UAV bisa dikembangkan dalam negeri, mendukung kemandirian industri pertahanan.

MRO: Titik Lemah Yang Terabaikan

Sektor Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO) sering luput dari perhatian, padahal menjadi titik rawan. Software perawatan yang tak transparan, komponen impor yang sulit diaudit, serta sistem yang terhubung ke cloud asing membuka celah bagi serangan siber.

MRO nasional harus diperkuat sebagai bagian dari strategi pertahanan, bukan hanya urusan logistik. Jika setiap kali jet error kita harus memanggil teknisi asing, maka kita belum sepenuhnya memiliki kekuatan udara—kita hanya menyewanya.

Penutup: Dari Aset Ke Sistem, Dari Simbol Ke Kedaulatan

Kekuatan udara bukan soal jumlah jet, tapi soal kendali penuh atas langit sendiri - secara fisik, digital, dan strategis. 

Indonesia harus berani memprioritaskan belanja besar yang disertai dengan kedaulatan sejati, demi mewujudkan sistem pertahanan yang terintegrasi, adaptif, dan mandiri.

Modernisasi alutsista harus selaras dengan pembaruan doktrin pertahanan yang mencakup keamanan rantai pasok, pertahanan siber, integrasi UAV, dan penguatan MRO. Tanpa itu semua, F-15EX dan Rafale hanya akan jadi harimau di kandang orang lain - gagah, tapi terkunci.

Selama wilayah udara strategis masih didelegasikan ke negara lain dan doktrin kita belum selaras dengan era digital dan jaringan, kedaulatan udara Indonesia akan terus tergadaikan - bukan oleh musuh, tapi oleh ketertinggalan kita sendiri.

Sudah saatnya kita membangun sistem pertahanan yang sungguh-sungguh berdaulat, memanfaatkan teknologi dan digitalisasi untuk memastikan langit Indonesia dijaga dengan kekuatan sejati, bukan sekadar simbol. Dan semua itu dimulai dari keberanian untuk memperbarui doktrin.

*Tommy Tamtomo, Wakil Ketua, Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) | Ketua Dewan Pengawas, Indonesia Cyber Security Forum (ICSF)