RUU Revisi Undang-undang Penyiaran Berbahaya Bagi Kemerdekaan Pers!

Ketua JMSI, Teguh Santosa, Mantan Wakil Presiden Confederation of ASEAN Journalists (CAJ), Dan Mantan Anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Menyuarakan Penolakannya Terhadap RUU Revisi Undang-undang Penyiaran. Dokumentasi
Ketua JMSI, Teguh Santosa, Mantan Wakil Presiden Confederation of ASEAN Journalists (CAJ), Dan Mantan Anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Menyuarakan Penolakannya Terhadap RUU Revisi Undang-undang Penyiaran. Dokumentasi

Saat ini cabang legislatif Pemerintahan Republik Indonesia yang diampu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) masa tugas 2019-2024 sedang membahas Rancangan Undang-undang Revisi Undang-undang Penyiaran (RUU Revisi Undang-Undang Penyiaran).


Pembahasan revisi Undang-undang Penyiaran ini bagaikan petir menyambar di siang hari bolong bagi para penggiat di bidang pers. Di dalam prakteknya, industri penyiaran memiliki aspek pemberitaan dan karenanya masuk ke dalam wilayah pers.

Ada beberapa pasal yang dipermasalahkan oleh masyarakat pers Indonesia. Salah satunya adalah pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigatif.

Merujuk kepada kenyataan praktik jurnalisme, JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia)  segera menolak secara lugas RUU Revisi Undang-Undang Penyiaran yang tengah digodok DPR RI tersebut.

JMSI mengingatkan, kemerdekaan pers dan hak masyarakat mengenai informasi dijamin oleh konstitusi Republik Indonesia, yakni Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Teguh Santosa sebagai Ketua JMSI menilai bahwa naskah RUU Revisi Undang-Undang Penyiaran itu berisi pasal-pasal yang mencederai kebebasan pers dan membahayakan demokrasi.

Mantan Wakil Presiden Confederation of ASEAN Journalists (CAJ) ini secara terbuka mendesak DPR RI untuk mengkaji kembali upaya RUU Revisi Undang-Undang Penyiaran dan menyelaraskannya dengan Konstitusi Republik Indonesia yakni Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

UUD 1945 Pasal 28F berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Saat ini diketahui RUU Revisi Undang-Undang Penyiaran Pasal 50B ayat 2 huruf c jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers khususnya Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.

Secara subtansi, sambung Teguh, aturan yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi oleh lembaga penyiaran dapat diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman kemerdekaan pers di tanah air. 

“Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik. Maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan oleh lembaga penyiaran televisi dan radio serta media digital mereka,” ujar Teguh dalam keterangannya, Rabu (15/05).

Teguh juga menggarisbawahi bahwa masyarakat pers khawatir RUU Revisi Undang-Undang Penyiaran itu menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri praktik jurnalistik yang profesional dan berkualitas.

Bagian lain dari RUU Revisi Undang-Undang Penyiaran yang membahayakan kemerdekaan pers adalah Pasal 50B ayat (2) huruf k yang melarang penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.

Menurut Teguh, bagian ini bersifat multi tafsir dan berpotensi menjadi pasal karet.

Perlu diperhatikan oleh para anggota DPR-RI, bahwa pihak berwenang di bidang pers adalah Dewan Pers yang berhak untuk memberikan penilaian terhadap berita bohong.

JMSI juga menilai Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat (2) dalam RUU Revisi Undang-Undang Penyiaran yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik lembaga penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan suatu hal yang tidak pantas. 

Teguh menekankan bahwa kewenangan lembaga yang berhak untuk memutus penyelesaian sengketa dalam kegiatan jurnalistik, bahkan sengketa di dalam kegiatan jurnalistik lembaga penyiaran adalah Dewan Pers.

Merujuk pada Undang-undang Pers, Teguh menyebut bagian ini harus dikaji ulang dengan sungguh-sungguh karena bersinggungan dengan amanat Undang-undang Pers yang memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyelesaikan sengketa suatu karya jurnalistik.

Teguh, yang juga mantan anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini mengingatkan DPR RI bahwa baik UUD 1945 mau pun Undang-Undang Pers memberikan mandat kepada pers nasional untuk mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui mekanisme swa-regulasi (self-regulation). Selama ini swa-regulasi dilakukan oleh Dewan Pers.

Berdasarkan prinsip swa-regulasi tersebut maka setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik, yang dipublikasikan melalui media cetak, media siber, mau pun lembaga penyiaran, hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers.

“Ini untuk memastikan bahwa kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas, dan bertanggungjawab dapat berlangsung independen tanpa intervensi dari pihak manapun,” ujarnya.