Rupanya, Ada Campur Tangan Kolonial Belanda Dibalik Banjir Demak, Kudus, Jepara dan Grobogan

Istimewa
Istimewa

Banjir yang menerjang empat wilayah di Jawa Tengah sepekan lalu, begitu menuai sorotan banyak pihak. Bahkan, terbaru, Presiden Joko Widodo (Jokowi) datang ke Demak untuk meninjau langsung kondisi terakhir termasuk memastikan bantuan bagi ribuan pengungsi korban terdampak banjir disana.


Dalam tinjauannya, Jokowi sempat menerima laporan jika banjir di Demak terjadi akibat sedimentasi sungai sehingga membuat tanggul-tanggul yang ada jebol karena tidak kuat menahan debit air yang deras.

Mendengar soal sedimentasi, RMOLJateng lantas mencoba menggali sejumlah informasi terkait aliran arus sungai di wilayah Jawa Tengah. Hasilnya, cukup menarik dan menggagumkan sebetulnya, karena memiliki nilias historis dan geologis yang cukup tinggi.

Ya dari sejumlah literatur yang ada, diketahui, jika aliran yang menjadi titik banjir saat ini tak lepas dari upaya Pemerintah Kolonial Belanda di jamannya yang coba merekayasa eks Selat Muria untuk pengembangan wilayah menjadi lahan pertanian yang bebas banjir dimulai tahun 1898.

Mengutip tulisan Ir. Tri Hardono Dipl.HE, MT. mantan Dosen Fak. Teknik Sipil UNISSULA sejak Juli 2001 hingga pensiun Januari 2021 di salah satu media online di Jawa Tengah, 'campur tangan' Belanda bermula saat Sungai Serang yang semula bermuara di Kedung (Jepara) dipindah sebagai “FLOODWAY” ke Bungo (Demak).

Pemindahan alur sungai ini, kata Tri Hardono, dimulai dari Bendung Pembagi Banjir Wilalung dan dikenal sebagai Kali Wulan atau SWD 1.

Bendung Wilalung dibangun pada tahun 1916, dimaksudkan untuk “Kolmatase Lembah Juana” (yang semula juga bagian dari Selat Muria), dengan digelontori debit banjir 400 m3/detik melalui Kali Babalan.

"Dimaksudkan agar Lembah Juana tersebut bisa dijadikan lahan pertanian dengan luas: 11.000 ha dan saat ini dikenal sebagai Daerah Irigasi (DI) Klambu Kanan – setelah disuplai air dari Bendung Klambu," katanya dikutip Jumat (22/3).

Setelah 70-an tahun, lanjut Tri, kolmatasi dilakukan, dilanjutkan dengan rekayasa pengendalian banjir di areal tersebut dengan ketentuan debit banjir yang semula dialirkan ke Lembah Juwana 400 m3/dtk kemudian dipindah alirkan melalui “Short Cut” Wilalung (1987).

Dan remain debit Kali Serang dialirkan melalui 2 Pintu Wilalung dan sebagian ditahan di areal retensi basin Wilalung.

"Kapasitas Kali Wulan dari Bendung Wilalung sampai dengan muara di Bungo Demak hanya didesain untuk 750 m3/dtk. Jika terjadi kelebihan debit (akibat debit Kali Gelis) maka dilimpahkan ke samping melalui “Side Spillway GOLENG” di Dukuh Goleng (Pasuruhan) Kudus," bebernya.

Persoalan besarnya, lanjut Tri, adalah sedimentasi berat di Kali Serang dan Lusi yang mengalir ke hilir dan menyempitkan alur Kali Wulan dan memicu tumpukan berat di muara membendung aliran banjir debit Kali Wulan.

Sehingga, pada tahun 1983 sampai dengan 1987 telah dilakukan pekerjaan pengendalian banjir dan dari tahun 1987 itulah kawasan tersebut telah bebas banjir.

"Namun karena kurang terpeliharanya alur Kali Wulan dari proses sedimentasi itulah maka terjadi banjir seperti saat ini terjadi. Dengan penyebab utamanya adalah terbendungnya muara Kali Wulan, dimana 70% sedimen yang terbawa dari hulu Sungai Serang dan Lusi menumpuk di muara Kali Wulan," jabar Tri.

"Sedangkan Pengembangan Daerah Irigasi Klambu Kanan (11.000 ha) selesai pada 1993-an telah SUKSES dgn berfungsinya Bendungan Kedungombo," tambah Tri lagi.

Karena itu, menurutnya, untuk mengembalikan lahan-lahan pertanian dari Daerah Irigasi Jratunseluna dan bebasnya daerah tersebut dari bencana banjir maka sepantasnyalah ada koordinasi dari stakeholder terkait dari Kabupaten Demak, Kudus, Jepara dan Grobogan di bawah Koordinasi penanggung jawab yang seharusnya yakni BBWS Pemali Juana.

"Semoga lewat upaya itu, persoalan banjir yang kerap menggenangi wilayah Demak, Kudus, Jepara dan Grobogan ini bisa diurai dan tidak terjadi lagi di masa mendatang," tandasnya.