Roy Suryo Kritisi Larangan Medsos untuk Berdagang

Pakar Telematika Indonesia Roy Suryo. Net
Pakar Telematika Indonesia Roy Suryo. Net

Pakar Telematika Indonesia Roy Suryo menanggapi larangan berjualan di media sosial. Hal ini menyusul penerapan Permendag No 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan& Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagai Pengganti Permendag sejenis No 50 Tahun 2020.


"Saya mengapresiasi sikap pemerintah agar tidak disebut "abai" dalam menyikapi kondisi pasar tradisional dan UMKM seperti kondisi memprihatinkan yang sekarang terjadi di berbagai tempat, misalnya di Pasar Tanah Abang, Glodok dan lainnya," ungkap Roy dalam siaran rilisnya, Kamis (28/9).

Meski demikian, lanjut dia, larangan ini bukan sekedar pepesan kosong. Dalam artian, pemerintah harus konsiten dan konsekuen dalam menjalankan aturan tersebut. Pemerintah juga harus menindak tegas bila pengguna media sosial seperti TikTok masih melanggar. 

"Jangan tebang pilih hanya menyasar kepada pelaku masyarakat tertentu saja," kata dia. 

Dia mengatakan, beberapa hal disebut "sangat mikro" dalam Permendag tersebut sehingga memerlukan pengawasan& penindakan secara khusus. Diantaranya disebutkan dalam berbagai pemberitaan khusus TikTok minimal 100 US$ / sekitar Rp1,5Juta. 

"Sehingga apabila rencananya akan dibentuk 'Tim Pengawasan Siber" beranggotakan berbagai kementerian/ lembaga terkait seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Kominfo, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta instansi terkait lainnya tersebut apakah dipastikan bisa efektif dan ffisien?," lanjut dia. 

Hal ini karena setiap pelaku e-commerce menggunakan medsos harus disebut melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PSME). Model bisnis penyelenggara PMSE bisa sangat beragam, mulai dari lokapasar (marketplace) hingga social commerce.  Termasuk Permendag ini juga akan mengatur perizinan, perpajakan, dan ketentuan perdagangan lainnya.

"Masalahnya adalah sesuai laporan dari "We Are Social" direlease bulan April 2023, Indonesia tercatat sebagai negara dgn pengguna TikTok terbesar kedua di dunia, dimana tercatat ada 113 juta pengguna media sosial tersebut di bawah Amerika di angka 116.5 juta dari total pengguna seluruh dunia yang mencapai Rp1,09 Miliar. Siapkah "Tim Khusus" yang akan dibentuk untuk bisa melakukan pengawasan sampai penindakan dengan jumlah tersebut," ujar dia lagi. 

Dia juga menyoroti, kelihaian pengguna medsos TikTok untuk menyiasati berbagai aturan diterapkan. Misalkan, TikTok hanya boleh untuk promosi, bukan jualan secara langsung bisa dengan sederhana diakali dgn penggunaan multi gadget dan-atau multi-platform. Alhasil, secara tidak langsung tampak transaksinya. Apalagi kalau sudah digunakan Teknologi A.I (Artificial Intelilgence) dalam PMSE tersebut akan sangat kompleks.

"Pemerintah seharusnya tidak hanya berpikir soal mikro dalam menjalani Revolusi Industri 4.0 saat ini, apalagi beberapa negara maju sudah sampai pada tahap Society 5.0 dimana segala lini sudah menggunakan IoT (Internet of Thing), Big Data, A.I & Robot. Karena semua ini adalah keniscayaan kemajuan Teknologi Informasi & Komunikasi yang mau tidak mau harus dialami oleh Indonesia saat ini," kata dia.

Menurut dia, pemerintah harus menangani dari berbagai sisi. Dalam hal ini diperlukan pandangan makro dalam mengantisipasi pasar tradisional sekarang menjadi sepi tersebut. Jika hanya ditanggulangi dari satu sisi, sebut saja PMSE melalui TikTok ini dan tidak memberdayakan SDM di Indonesia, maka hanya akan menjadi "penonton" alias "ketinggalan di landasan" saja. 

"Selain pasar tradisional tetap sepi namun pengguna medsos yang sempat booming & menjadi penyelamat ekonomi semenjak pandemi tiga tahun lalu malah jadi ikut terpuruk," kata dia.