- Masjid Agung Demak, Lima Besar Destinasi Favorit Saat Libur Lebaran
- Peningkatan Wisata di Demak Mendatang dengan Revitalisasi Nilai-nilai Wisata Religi di Demak Berdasarkan Kejayaan Demak di Masa Lampau dan Kini, “Menyalakan Kembali Peta Api Demak Masa Lalu, Kini, Mendatang”
- Konsolidasikan BKM Jadi Lokomotif Kebangkitan Demak
Baca Juga
Tulisan ini disampaikan pada Dialog Revitalisasi Wisat Religi Kabupaten Demak (Renaisance Demak Menapaki Kembali Kejayaan, 28 September 2024)
DEMAK adalah kota tua yang sekarang menyandang status sebagai kabupaten, daerah otonom di bawah Provinsi Jawa Tengah yang di dalamnya tergabung 14 kecamatan (terbagi dalam 6 wilayah kelurahan dan 243 wilayah desa).
Predikat sebagai “Kota Wali” kabupaten berpenduduk 1 juta jiwa yang tersebar di wilayah seluas 900,12 km² ini menjadikan Demak sebagai kota yang penting dan diperhitungkan dalam sejarah Nusantara.
Kenapa? Karena predikat Kota Wali juga didukung bukti-bukti sejarah yang sebagian masih terawat dengan baik.
Yang paling utama adalah Masjid Agung Demak yang didirikan oleh para wali, dan pada masanya digunakan sebagai tempat berkumpul Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam.
Masjid ini memiliki pintu berhiasakan ukiran seperti dua kepala naga, simbol candrasengkala “Naga Mulat Salira Wani” yang memiliki makna tahun 1388 Saka atau 1466 M. Pintu tersebut, konon, hasil karya Ki Ageng Selo, tokoh yang diyakini memiliki keahlian menangkap petir.
Yang kedua, di belakang Masjid Agung Demak ada Kompleks Pemakaman Kesultanan Bintoro Demak. Bukan hanya makam Raden Patah (pendiri Kasultanan Demak), di tempat itu juga dimakamkan Sultan Demak II (Raden Pati Unus), Sultan Demak III (Raden Trenggono), dan Pangeran Sedo Lepen (Raden Surowiyoto). Putri Champa, ibu Raden Patah; dan Raden Husain putra Raden Patah, juga dimakamkan di situ.
Yang ketiga, 2 kilometer di sebelah tenggara Kota Demak tepatnya di Desa Kadilangu Kecamatan Demak terdapat Makam Sunan Kalijaga (Raden Said), salah satu wali yang kharismatik.
Para sesepuh Kadilangu dan keturunan Raden Patah juga banyak yang dimakamkan di sini. Di Kadilangu juga terdapat masjid kuno berbentuk joglo yang disebut Masjid Kalijaga.
Yang keempat, penetapan hari jadi Kabupaten Demak tanggal 28 Maret 1503 yang mengambil momentum peristiwa penobatan Raden Patah menjadi Sultan Demak (tanggal 12 Rabiulawal atau 12 Mulud Tahun 1425 Saka dikonversikan menjadi 28 Maret 1503).
Penetapan hari jadi Kabupaten Demak tersebut menjadi penguat bahwa Demak identik dengan Kasultanan dan kiprah para wali, sehingga predikat Kota Wali adalah manifestasi dari ikatan sejarah.
Dengan sedikitnya empat alasan tersebut (pasti ada hal lain yang menguatkan), dengan predikat Kota Wali, tidak berlebihan kalau Demak menjadi pusat destinasi wisata religi yang penting di Indonesia.
Namun apakah hal itu selaras dengan data kunjungan wisatawan? Mari kita lihat data-data segmental yang aktual.
Pada periode Liburan Lebaran 31 Maret – 15 April 2024, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Masjid Agung Demak mencapai 131.903 orang. Dalam konteks kunjungan ke obyek wisata di Jawa Tengah, jumlah pengunjung ke Masjid Agung Demak berada di posisi ketiga setelah Kota Lama Semarang dan Masjid Sheikh Zayed Solo.
Disporabud Jateng mencatat kunjungan wisatawan Nusantara dan Wisman tahun 2022 berdasarkan destinasinya, ke Masjid Agung Demak 399.150 wisatawan,703.796 wisatawan. (Sebagai perbandingan pengunjung ke Makam Pandanaran di Klaten 77.407 wisatawan, Menara Kudus 172.006 wisatawan, MAJT Semarang 85.097 wisatawan, Lawang Sewu 515.482 wisatawan, Kota Lama 1.275.081 wisatawan, Makam Syech Jangkung Pati 147.451 wisatawan, Makam Sunan Prawoto Pati 22.031 wisatawan).
Secara faktual, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Masjid Agung Demak dan Makam Sunan Kalijaga cukup tinggi. Komparasi di atas sekedar melihat, bahwa “Idealnya pengunjung ke Masjid Agung Demak dan Makam Sunan Kalijaga bisa lebih banyak lagi” karena secara historis, kultural serta aspek kedekatan sosioreligius. Kalau “porsi ideal belum bisa diperoleh”, mungkin ada daya tarik Kota Wali yang belum ditangkap masyarakat.
Artinya, ada hal-hal perlu dibenahi, dilengkapi dan ditata supaya potensi yang dimiliki Demak ada di koginisi kolektif dan bisa menjadi top of mind (yang muncul dalam pikiran orang) dalam konteks destinasi wisata religi.
Kenapa begitu, bisa jadi ada yang belum terkomunikasikan tentang betapa penting dan menariknya Demak sebagai situs sejarah tempat awal dimulainya Kerajaan Islam di Jawa.
Yang populer dalam khazanah pariwisata budaya adalah revitalisasi. Meskipun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan revitalisasi sebagai proses perbuatan menghidupkan kembali atau menggiatkan kembali; namun secara maknawi revitalisasi yang dimaksud bukan hanya mengaktifkan kembali apa yang sebelumnya pernah ada, tapi juga menyempurnakan strukturnya, mekanisme kerjanya dan menyesuaikan dengan kondisi yang baru.
Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 18/PRT/M/2010 Tahun 2010 tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan, khususnya di Pasal 1 (Ayat) 1 menyebutkan bahwa revitalisasi adalah merupakan upaya untuk meningkatkan nilai lahan/kawasan melalui pembangunan kembali dalam suatu kawasan yang dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya.
Artinya ada rangkaian upaya menghidupkan kembali kawasan yang kurang maksimal atau cenderung mati, menjadi lebih hidup dan semarak.
Apa yang dilakukan pemerintah pusat merevitalisasi beberapa kawasan memperlihatkan hasil yang membanggakan. Di antaranya revitalisasi Kota Lama Semarang yang kini menjadi destinasi unggulan di Jawa Tengah, yang jumlah pengunjungnya mampu melampaui capaian pengunjung Candi Borobudur.
Pura Mangkunegaran Solo kini makin menarik setelah dilakukan revitalisasi oleh Kementerian PUPR bersama Kementerian BUMN. Kota Lama Banyumas juga terlihat makin menarik pasca-revitalisasi.
Merupakan langkah yang strategis kalau Pemkab Demak melakukan lobi ke pemerintah pusat untuk meminta dukungan Revitalisasi Kawasan Wisata Religi Demak agar Demak berkembang menjadi daerah tujuan wisata yang berdaya guna baik untuk ekonomi masyarakat sekaligus untuk tujuan edukasi.
Tentunya tidak hanya penataan kawasan semata, perlu juga meminta untuk dibangunkan “Replika Kasultanan Demak” supaya destinasinya menjadi lengkap. Pasti ada keingintahuan, kira-kira seperti apa bentuk fisik Kasultanan Demak Bintoro waktu itu.
Untuk menunjukkan kesungguhan usulan tersebut, menjadi kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten Demak untuk memulai langkah nyata dengan membuat kajian yang relevan, termasuk mempersiapkan infrastruktur pendukung seperti penyediaan areal yang diperlukan, serta mempersiapkan koneksitas yang memadai.
Penyiapan diri (dalam hal ini Pemkab Demak dan para pemangku kepentingan) yang bertumpu pada realitas dan akal sehat, akan memudahkan turunnya bantuan pemerintah pusat.
Lebih dahsyat lagi kalau Pemkab Demak mulai “berburu” mencari koleksi barang-barang lama yang memiliki nilai dan terkait dengan keberadaan Demak masa lalu.
“Berburu” di sini tidak semata mencari dan membeli, melobi kolektor agar mau meminjamkan -syukur berkenan menghibahkan koleksinya, akan memberi nilai tambah “kesungguhan penyiapan diri Demak sebagai destinasi wisata religi unggulan”.
Kalau Kota Lama Semarang, Kota Lama Banyumas, Pura Mangkunegaran, Kawasan Kota Lama Kesawan di Medan Sumatera Utara, Kawasan Saribu Rumah Gadang (SRG) Kabupaten Solok Selatan Provinsi Sumatra Barat, bisa mendapatkan bantuan revitalisasi; Demak pun berhak mendapatkannya.
Tidak ada yang tidak bisa dilakukan, apalagi jika Demak sendiri mau memulai langkah-langkah yang jelas sebagai wujud kesungguhannya.
Jikalau merasa memiliki anggaran yang cukup, bisa juga melakukan secara mandiri seperti yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta yang membangun Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan seluas 289 Hektar di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Pemprov DKI Jakarta bukan hanya membangun dengan dana APBD-nya sendiri, tapi menyiapkan organisasi pengelolaannya dalam bentuk UPK (Unit Pengelola Kawasan), semacam UPT (Unit Pengelola Teknis) yang biasa ada di pemerintah daerah.
Tidak bisa dikesampingkan perlunya menyiapkan regulasi mulai dari Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan aturan turunannya agar alokasi anggaran yang diperlukan untuk menyiapkan kegiatan awal bisa dipertanggung jawabkan.
Regulasi diperlukan selain untuk pertangung jawaban angaran juga untuk kepastian keberlangsungan kegiatan.
Patut dicatat, pembangunan jalan tol ruas Semarang Demak akan menjadi peluang besar yang perlu disambut dengan persiapan yang futuristik. Kita bisa belajar bagaimana Kota Cirebon kebanjiran wisatawan saat akhir pekan, saat ruas tol Trans Jawa baru sampai ke Cirebon.
Warga Jabodetabek yang butuh nuansa hiburan baru berbondong-bondong ke Cirebon sehingga kuliner, obyek wisata, industri kerajinan dan hotel di Kota Udang berkembang pesat.
Padatnya Kota Bandung, macetnya Kawasan Puncak dan Cianjur, dan padatnya lalulintas di Kota Bogor, menjadi peluang yang berhasil ditangkap Cirebon.
Jadwal penyelesaian ruas tol Kaligawe-Sayung Demak pada tahun 2027, jika dirasa terlalu lama, ada baiknya Pemkab Demak mendorong dilakukannya percepatan.
Bagaimanapun dampak kehadiran ruas tol di beberapa daerah telah mendongkrak tingkat kunjungan. Alasannya sederhana: Koneksitas.
Tersedianya koneksitas yang memadai ke Demak pasti akan membuat warga Solo dan sekitarnya, penduduk Daerah Istiewa Yogyakarta, dan warga dari Jawa Timur mulai dari Karesidenan Madiun sampai Surabaya, berbondong-bondong melancong ke Demak.
Koneksitas tol membuat perjalanan menjadi terukur waktu tempuhnya, selain nyaman. Kalau saat ini di Semarang banyak kendaraan berplatnomor AD, AB, AE, B, D, E, L, dan N bertebaran saat akhir pekan long week end; juga kendaraan plat H, G, E, AE, L, N, Z mondar-mandir di Solo, dan yang pasti Jogja akan makin padat setelah Tol Jogja-Solo dioperasikan; pada saatnya kendaraan dari berbagai plat nomer yang ada di Jawa agar berderet-deret masuk ke Demak.
Yang mengkhawatirkan justru kesiapan Demak mengantisipasinya. Jika panjang ruas jalan, area parkir, koneksitas ke destinasi wisata serta ketersediaan ruang transit (rest area) tidak memadai, dan tidak ada ruang bagi pejalan kaki yang cukup, semua potensi akan berbalik menjadi kekecewaan.
Kekecewaan bakal membuhul jika sajian kulinernya tidak memenuhi standar kelayakan, pendatang tidak mendapatkan keramah-tamahan, dan situasinya semrawut. Semoga saja Demak siap menyambut karena persiapan dirinya cukup dan dipertimbangkan dengan akal sehat.
- Makam Ki Sawonggaling, Permata Tersembunyi Wisata Religi di Demak
- Masjid Agung Demak, Lima Besar Destinasi Favorit Saat Libur Lebaran
- Kejaksaan Negeri dan Kantor Kemenag Demak Lakukan MoU Bersama