Renaisance Demak, Revitalisasi dan Reaktulisasi Jejak Sunan Kalijaga

Oleh : Zayinul Fatah , Ketua PKB Demak dan Ketua DPRD Demak
Ziarah makam di Masjid Agung Demak. Istimwa
Ziarah makam di Masjid Agung Demak. Istimwa

Tulisan ini disampaikan pada Dialog Revitalisasi Wisata Religi Kabupaten Demak (Renaisance Demak Menapaki Kembali Kejayaan, 28 September 2024)

Peran dan kontribusi serta ajaran Sunan Kalijaga dalam bersyiar menyampaikan agama Islam dapat menjadi tauladan di era kini tentang toleransi dan keberagaman. Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah mereaktualisasi ajaran-ajarannya, yang sekaligus menjadi legacy atas kiprah dari seorang Wali.

Sunan Kalijaga merupakan ikon dengan kharisma yang luar biasa. Karenya berbicara tentang menapaki kembali kejayaan Demak ikhtiar intinya adalah mereaktualisasi ajaran Sunan Kalijaga.

Pribadi sederhana namun begitu agung melampaui derajat manusia awam pada umumnya. Karena keagungan dan kesalehannya itulah meski telah wafat tujuh abad silam, maqbarah (kuburan) Sunan Kalijaga hampir tidak pernah sepi dari para peziarah.  

Pengaruh besar Sunan Kalijaga yang berasal dari abad ke-XIV dapat dirasakan sampai sekarang. Tidak hanya nama besar dengan warisan spiritual, kultural dan keadaban yang begitu menjulang, namun rentang waktu yang memahat kiprahnya adalah suri tauladan yang begitu menginspirasi. Mereka berkiprah dan berdakwah serta menjadi panutan dan pendidik bagi masyarakat khususnya dalam islamisasi di pulau Jawa.

Para Wali berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan, budaya, dan peradaban Jawa yang sebagian besar masih menjadi penganut kepercayaan, atau memeluk agama Hindu, dan Buddha.

Namun syiar atau penyebaran Islam di Jawa dilakukan tetap berlangsung damai, santun, dan elegan. Penyebaran agama dilakukan dengan interaksi sosial melalui ekonomi atau perdagangan, pernikahan, pendidikan, kesenian, kebudayaan, politik.

Perlu Perjuangan

Meski syiar dilakukan secara akulturastik, yakni membumikan nilai nilai yang disampaikan bukan berarti ikhtiar itu semudah membalik telapak tangan. Sama sekali bukan, sebaliknya dibutuhkan perjuangan atau jihad fi sabilillah yang panjang terus menerus tanpa henti.

Strategi islamisasi yang dilakukan oleh para Wali dilakukan secara bertahap melalui langkah strategis yakni tadrij (bertahap secara perlahan) dan ‘adamul haraj (tidak menyakiti dengan kekerasan).

Merujuk statistik bahwa hampir 90% penduduk Indonesia memeluk Islam merupakan portofolio tentang syiar Sunan Kalijaga dan para Wali di Indonesia. Yang menarik dan menjadi diskursus di sini syiar yang dilakukan para Wali dengan memerankan lembaga pendidikan sebagai pilar penting.

Pesantren menjadi representasi institusi dan sekaligus lokomotif pergerakan dalam konteks ini. Karenanya berbicara tentang Islam, apalagi di Jawa pendidikan pesantren menjadi lembaga yang memiliki peran sentral.

Relasi ini menjadi legacy bahwa keberadaan lembaga pendidikan Islam saat ini khususnya pondok pesantren merupakan warisan dari sana (Wali-red)  yang berjejak hingga sekarang. Keberhasilan para Wali dalam proses dakwah dan islamisasi yang paling efektif adalah melalui lembaga jalur pendidikan.

Proses dakwah yang berarti mengajak atau ikhuwah di jalan kebaikan tidak pernah terlepas dari unsur pendidikan Islam yang muaranya sama, yakni mengajak murid atau peserta didik dan mad’u (orang yang di ajak) kepada kebaikan.

Siapa sesungguhnya Wali Sanga itu menjadi pertanyaan mendasar untuk kita urai di sini. Kita sepakat bahwa Walisongo atau wali sembilan terdiri dari para ulama adalah a) Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, b) Sunan Ampel, c) Sunan Giri, d) Sunan Bonang, e) Sunan Drajat, f) Sunun Kudus, g) Sunan Gunung Jati, g) Sunan Kalijaga, dan h) Sunan Muria.

Pierre Fournié memberikan gambaran tentang hubungan kesembilan wali tersebut begitu komprehensif. Terlepas dari pola hubungan guru-murid dan kekerabatan yang ada kontribusi serta proses Islamisasi menjadi jejak fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri.

Agama Islam dapat menyebar secara damai, santun, dinamis, dan elegan berkat dari perjuangan para mubalig atau ulama’. Beberapa peninggalan atau jejak sejarah Walisongo dapat kita jumpai hingga masa kini.

Diantaranya masjid, sumur, makbarah/makam (kuburan), artefak, gamelan, tulisan, tembang atau nyanyian dan lain-lain. Peninggalan-peninggalan ini merupakan bukti sejarah yang sekaligus memberikan gambaran tentang ajaran dan media pendidikan yang dilakukan  para Wali.

Akulturasi budaya, pendekatan sosio-kultural-religius, dan sinkretisasi (penyesuaian) adad budaya dan keagamaan yang dilakukan oleh para Wali merupakan bukti keberhasilan dan peran dari jalan syiar mereka.

Keberhasilan Walisongo inilah yang merupakan salah satu bentuk iktibar atau ibrah yang harus dipelajari khususnya dalam lingkup pendidikan Islam.  Untuk memberikan narasi bagaimana kiprah dan perjuangan yang dipahat para nukilan kisah masing masing menarik untuk menjadi sebuah catatan di sini dari masing masing Wali.

(1) . Sunan Gresik, dikenal juga dengan nama Maulana Malik Ibrahim, menyebarkan Islam pada abad ke-XIV atau tahun 1404. Membantu menyelesaikan problematika masyarakat dalam bidang pertanian seperti kekeringan, bidang keamanan seperti perampokan, bidang pemerintahan dan politik, bidang perdagangan dan ekonomi, dan bidang pendidikan. Pondok Pesantren menjadi entitas pendidikan mulai dikenal masa Sunan Gresik. Pesantren inilah yang dalam kurun waktu panjang menjadi pilar penting penyebaran Islam, termasuk soko guru membiakkan keberadaban. Salah satu ajaran penting yang menjadi fokus utama dari pendidikan Sunan Gresik adalah persamaan kedudukan manusia disisi Allah SWT.

(2) . Sunan Ampel, beliau melakukan syiar dan penyebaran Islam dengan strategi silaturahim (pernikahan atau hubungan kekerabatan), strategi politik dan kekuatan, strategi integrasi ilmu syari’at dan ilmu tasawuf, sabar dan tidak mudah marah. Dengan usaha dan strategi tersebut, Sunan Ampel dapat memformulasikan ide kreatif sehingga memberikan pengaruh besar dalam perkembangan pendidikan Islam. Strategi ta’lim, mendirikan masjid dan pesantren, membuat huruf pegon, mengajarkan budi pekerti luhur yang dikenal dengan Moh Limo (moh madon -tidak main perempuan atau zina-; moh main -tidak judi-; moh maling -tidak mencuri-; moh ngombe -tidak mabuk-; moh madat -tidak menghisab candu-) .

(3) . Sunan Giri adalah seorang raja yang bergelar Prabu Satmata, sekaligus seorang pendidik yang kreatif. Selain mendidik melalui strategi silaturahim dan kekuasaan seperti Sunan Ampel . Sunan Giri juga berhasil menciptakan tembang (nyanyian) seperti Padang Bulan, Cublak-Cublak Suweng dan permainan untuk anak-anak seperti Jelungan, Jamuran, dan lain-lain. Sunan giri juga melengkapi hiasan-hiasan wayang seperti gelang, keroncong, dan lain-lain.

(4) . Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel. Selain mendidik melalui jalur kesenian seperti halnya Sunan Giri. Naskah Primbon Bonang memuat ajaran inti tasawuf tentang cinta atau mahabbah dan pengetahuan ma’rifat (intuitif) serta ketakwaan dan atau keikhlasan kepada Allah SWT. Naskah ini juga memuat referensi dari kitab Talkhis al-Minhaj karya An-Nawawi, Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al- Ghazali, , dan lain-lain. Selain naskah Primbon Bonang juga terdapat Soeloek Woedjil, yang mengungkap hakikat ketuhanan. Sunan Bonang dikenal sebagai seorang yang ulet, gigih, dan memanfaatkan peluang. Beliau juga dikenal sebagai seniman yang menciptakan gong ukuran kecil untuk mengiringi musik pada pertunjukan wayang.  Budaya, Tasawuf, Seni, kedigdayaan, Wayang, dan Suluk merupakan media akulturasi.

(5). Sunan Kalijaga murid dari Sunan Bonang ini memiliki sejarah kelam yang dikenal urakan dan nakal saat muda. Ada kisah beliau pernah merampok, ala Robinhood. Kisah ini memberikan pelajaran bahwa Islam adalah agama yang membuka pintu taubat bahkan bagi pemeluknya yang telah melakukan dosa-dosa besar. Dakwah dan pendidikan yang dilaksanakan oleh Sunan Kalijaga diantaranya adalah mereformasi wayang, gamelan pengiring, tembang dan lain-lain. Menciptakan lagu sekar ageng dan sekar alit. Membuat alat-alat pertanian, membuat pakaian, pendidikan politik dan ketatanegaraan,dan pembentukan nilai-nilai etis kemasyarakatan.

(6) . Sunan Gunung Jati merupakan keturunan dari Rasulullah SAW. Beliau keturunan dari Sultan Hud yang menguasai negeri Mesir. Sunan Gunung Jati lebih memilih jalan hidup zuhud daripada menjadi seorang Sultan.Memperkuat hubungan dengan orang-orang berpengaruh merupakan salah satu strategi Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Gunung Jati sangat berperan dalam Islamisasi bumi Pasundan dengan menaklukkan di Cirebon dan Banten serta kerajaan Demak.

(7). Sunan Drajat adalah putra dari Sunan Ampel yang dikenal sangat peduli dengan masyarakat miskin serta konsentrasi pada pendidikan akhlakul karimah. Memiliki etos kerja, empati, dermawan, solidaritas sosial, dan menciptakan kemakmuran serta gotong royong. Terdapat tujuh dasar ajaran yang dikenal masyarakat pepali pitu, yakni membuat senang, tetap ingat Tuhan, mencapai cita-cita luhur jangan hiraukan halangan, berjuang dan menekan gejolak nafsu, diam-hening. Masih menjadi tuntunan Sunan Drajad, adalah menggapai lahir batin dengan shalat lima waktu, beri tongkat orang buta, beri makan orang lapar, beri pakaian dan beri tempat berteduh.

(8) .Sunan Kudus dikenal sebagai ahli kerajinan alat-alat pertukangan, kerajianan emas, besi, keris pusaka, dan mengajarkan hukum Islam dengan tegas. Dengan keahlian tersebut, melalui jalur teknologi terapan, seni dan budaya. Sunan Kudus dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan mendidik serta menyebarkan Islam dengan damai. Salah satu ajaran dari Sunan Kudus adalah toleransi beragama yang hingga kini dapat dilihat di Situs Gapura dan Menara Kudus serta ajaran tentang larangan menyembelih sapi (hewan yang sakral dalam Hindu).

(9) . Sunan Muria beliau terkenal sebagai seniman dan dalang, banyak menciptakan tembang cilik (sekar alit). Melalui media dan pendekatan budaya, Sunan Muria dapat menyebarkan ajaran tauhid. Terdapat lima ajaran Sunan Muria yang masih relevan hingga saat ini, yakni mengikuti kehendak Allah SWT, bersedekah, makrifat wejangan, menghayati Tuhan yang Esa, dan menghargai tradisi dan budaya.Fokus ajaran Sunan Muria diantaranya penghayatan pada kebenaran yang esa, ketaatan kepada Allah, wirid, sederhana, dermawan, bijaksana dalam menghadapi budaya masyarakat dan strategi Peninggalan Ajaran.

Wali Pendidik dan Pencerah

Memijakkan pada fakta empiris di atas, para Wali tidak hanya sebagai pendidik dalam arti sebagai pengajar ilmu agama Islam, akan tetapi multi talenta dan lintas bidang. Beberapa peran tersebut tentu sangat membantunya dalam menyebarkan Islam dari dan ke segala bidang, misalnya perdagangan, pertanian, politik, seniman, penyanyi, dan lain-lain.

Peran Walisongo dalam segala bidang tersebut, tentu berkaitan dengan strategi islamisasi yang dilakukannya, sehingga melalui peran tersebut para Wali dapat berbaur dan beradaptasi dengan masyarakat sekitar.

Mendasarkan peran dan ajaran Walisongo dalam pendidikan Islam, setidaknya berdapat beberapa hal yang perlu digarisbawahi.

Pertama, ajaran-ajaran tentang menjauhi hal yang menerak syariat, seperti Moh Limo, Pepali Pitu dan lain-lain mampu menghadirkan pemahaman Aqidah lebih kukuh.

Kedua, media pendidikan dan dakwah yang sesuai dengan kondisi dan kegemaran masyarakat seperti tembang, wayang, dan lain-lain terbukti ampuh dan dapat diterima oleh masyarakat.

Ketiga, urgensi integrasi antara ilmu syari’at, tasawuf, dan hakikat serta beberapa ilmu keahlian yang dimiliki oleh Walisongo.

Keempat, keberhasilan dalam bekerjasama antara Walisongo dengan umara’ (pemerintah) menjadi salah satu strategi dalam penyebaran agama Islam. Kelima, akulturasi dan internalisasi serta sinkretisasi budaya, peradaban, sosial kemasyarakatan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam terbukti dapat menjadikan Islam sebagai agama yang dapat diterima secara damai dan mampu menjawab permasalahan umat

Reaktulisasi Nilai Nilai

Proses internalisasi yang dilakukan oleh Walisongo dapat tercermin dari beberapa istilah yang digunakan dalam bersyiar. Walisongo tidak menggunakan arabisasi ajaran Islam, sehingga Islam dapat diterima dengan mudah serta dapat beradaptasi dengan kondisi dan situasi yang ada di kalangan masyarakat.

Internalisasi ajaran Islam yang sederhana melalui lagu atau tembang atau syi’ir dapat menjadi salah satu metode dan strategi yang hingga di era perubahan ini masih relevan untuk digunakan dan dikembangkan.

Beberapa ciptaan tembang atau lagu seperti yang diciptakan Sunan Kalijaga, yakni lir-ilir, padang bulan, sekar alit, dan lain-lain dapat menjadi pelajaran penting tentang internalisasi melalui media pendidikan yang efektif dan efisien hingga saat ini.

Sejarah Sunan Kudus tentang larangan menyembelih sapi merupakan salah satu proses internalisasi ajaran pendidikan Islam yang lebih mengedepankan kepentingan umum, toleransi, menjaga keamanan dan ketentraman serta perdamaian daripada kepentingan menyebarkan aturan-aturan formal hukum Islam (fiqih).

Proses internalisasi yang dilakukan oleh Sunan Kudus merupakan bentuk dari proses pendidikan Islam yang rahmatan lil alamin. Strategi ini perlu dikembangkan dan diperkuat serta ditelaah kembali, sehingga syariah dan fiqih tidak menjadi aturan formal dan baku yang membatasi gerak langkah umat Islam dalam proses berkehidupan yang telah berubah misalnya terkait dengan bidang muamalah (jual beli online dan lain-lain).

Dengan ajaran ini maka proses pendidikan Islam dapat dilakukan secara terbuka, demokratis, dan humanis dengan tanpa adanya diskriminasi dan intimidasi. Cara pandang ini juga akan memberikan jawaban atas perubahan umat manusia yang heterogen di era globalisasi.

Penambahan alat-alat musik yang dilakukan oleh Sunan Bonang, kemudian penambahan karakter atau tokoh wayang serta merubah beberapa alur merupakan salah satu bukti terhadap proses sinkretisasi yang dilakukan oleh Walisongo. Pondok pesantren juga merupakan bukti sejarah tentang sinkretisasi yang dilakukan oleh Walisongo dalam lembaga pendidikan Islam khususnya di Indonesia.

Proses internalisasi dan sinkretisasi ajaran Walisongo di era perubahan saat ini perlu dilakukan mengingat gencarnya arus informasi dan globalisasi. Melalui penguatan terhadap ajaran Islam yang dilakukan secara terbuka, demokratis, dan humanis serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat di era perubahan diharapkan proses pendewasaan terhadap wawasan keislaman, proses pendewasaan terhadap perilaku dan budaya masyarakat dapat sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang dinamis dan adaptif serta responsif terhadap perubahan yang terjadi di segala bidang.