JARGON “Kebumen Ora Baen-Baen” berkumandang kencang setelah postingan saya di media sosial mendadak “diserbu” keingin-tahuan lanjutan. Share foto batu kapak koleksi peneliti mandiri kesejarahan Nusantara, Dr Sariat Arifia, ternyata mendapat respon bukan hanya dari orang-orang yang berasal dan berdomisili di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yang ora baen-baen, tapi juga muncul dari warga daerah lain.
- Arif Sugiyanto Belum Pasang Baliho Pencalonan, Ini Alasannya
- Transfer Dana Desa di Kebumen Alami Kenaikan
Baca Juga
Pertanyaan yang paling banyak mengemuka adalah tentang umur kapak yang usia batunya (Catat: bukan usia kapaknya) diperkirakan antara 50 juta-100 juta tahun lalu. Dugaan awal yang tentunya memerlukan pembuktian secara ilmiah dengan bantuan peralatan yang memadai. Pertanyaan, berapa usia kapak batu yang dikoleksi Doktor Sariat, memang dugaan awal.
Kalau usia kapaknya dipastikan lebih muda. Pasalnya, sebagai perbandingan, kapak batu tertua di dunia berusia sekitar 35.500 tahun, ditemukan di tanah suku Aborigin, Amhem Land, bagian utara Darwin, Australia.
(Supaya perbincangannya enak, kami lampirkan foto kapak batu yang ditemukan dari Sungai Lukulo dan foto Gus Azis selaku penemunya).
Rasa penasaran mendorong penulis menelisik hal-hal yang terkait dengan Lukulo yan ada di kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Ada yang menulis nama Sungai tersebut dengan pemenggalan kata “Luk Ulo” yang bisa diartikan sebagai lekukan atau liukan ular.
Di Lukulo atau Luk Ulo sekarang ini ada berbagai kegiatan masyarakat mulai dari menambang pasir, mengambil batuan untuk bangunan, pencarian batu mulia untuk hiasan (batu akik atau batu cincin), sampai pencarian batuan yang dianggap berharga karena keunikan bentuknya.
Di Tengah aktivitas tersebut, ternyata terjadi beberapa penemuan yang mengejutkan. Kapak batu koleksi Dr Sariat yang juga dosen di Institut Teknologi dan Bisnis Visi Nusantara (ITB Vinus) Bogor ini disebutkan merupakan penemuan tak sengaja penambang pasir yang kemudian dibeli oleh pencari batu akik dan batuan yang dianggap memiliki nilai bernama Gus Azis, dan kemudian sampai ke Doktor Sariat.
Gus Azis adalah salah seorang warga Kabupaten Kebumen yang memilih sumber kehidupan berburu batuan di Sungai Lukolo. Sebagaimana diketahui, di sepanjang aliran sungai Luk Ulo tersimpan berbagai batuan untuk bahan akik seperti Badar Besi, Batu Ginggang, Chalsedony (Kalsedon), Amethyst jenis Kecubung Wulung, Carnelian (Akik darah), dan bahkan pernah ditemukan giok (jade) yang disebut Giok Luk Ulo.
Ciri khas batuan Luk Ulo yang berdekatan dengan Laboratorium Geologi Dunia Karangsambung adalah memiliki warna yang menarik, keras, namun kurang transparan. Transparansinya yang rendah justrru menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan spiritualis.
Selain batuan mulia, di Luk Ulo konon pernah ditemukan fosil gajah purba jenis Elephas Hysudrindicus. Melihat potensi rahasia yang tersimpan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Lukulo, sudah selayaknya Kawasan ini mendapat prhatian khusus dari pemerintah.
Pemkab Kebumen meski memiliki keterbatasan dalam hal angaran dan tenaga ahli, sebagai pemilik wilayah langsung, selayaknya menjadi inisiator penanganan DAS Lukulo. Tentu perlu keterlibatan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi melalui organ pemerintahan yang relevan. Apalagi saat ini terdapat 19 situs geologi, 1 situs budaya dan 1 situs biologi di DAS Lukulo.
Terdorong potensi batu akik atau batu mulia yang ada, kita meminta pencerahan dari ahli batu mulia yang sering disebut sebagai “professor batu”, Ir Sujatmiko. Dari geologi lulusan ITB (Institut Terknologi Bandung) yang juga pemilik Pusat Promosi Batumulia Indonesia Gem-AFIA di Jalan Pajajaran Kota Bandung.
Pak Jatmiko menyebut batu berwarna yang ada di Sungai Lukolo memang spesifik, meski dia lebih akrab dengan batuan berwarna dari Sungai Klawing di Purbalingga, tetangga Kebumen.
Sungai Klawing diidentifikasi memilki potensi batuan berwarna yang cukup beragam.
Di sungai yang hulunya berada di Gunung Slamet banyak ditemukan batu-batu indah, seperti batu jasper, crystal quarts, hematite, citirine dan lainnya. Konon di Sungai ini juga pernah ditemukan batuan berwarna hijau dengan bercak merah yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “Batu Nogo Suwi” karena bisa dipakai untuk mengamati gerakan matahari.
Ternyata batuan tersebut di Eropa biasa disebut heliotrope yang terkena dengan nama batu darah Kristus atau Le Sang Du Christ yang banyak diburu kolektor.
Kebetulan Sudjatmiko pernah beberapa tahun menjadi dosen tamu di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dan sering mengajak mahasiswanya praktek lapangan di Sungai Klawing.
“Kalau dari segi jenis batuannya, potensi Klawing lebih beragam dari Lukulo. Tapi kalau soal umur batuannya, umur sungainya, juga soal dugaan adanya peradaban purba, saya tidak tahu karena memang bukan bidang saya,” tutur Sudjatmiko saat dihubungi.
Meski batuan berwarnanya bukan yang terlengkap dan terbaik di Indonesia, keberadaan DAS Lukulo tetaplah menarik untuk dikembangkan dan diberdayakan. Penetapan Karangsambung -wilayah yang dilewati Sungai Lukulo- sebagai UNESCO Global Geopark (UGGp) atau Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG), tentunya menjadi anjakan kuat untuk pengembangan DAS Lukulo.
Temuan awal tentang kapak batu, batu bolong, dan fosil gajah purba, juga tak bisa diabaikan.
Ide pengembangan DAS Lukulo secara terpadu dengan Karangsambung dan Kawasan lainnya seperti Goa Jatijajar dan goa-goa lain yang ada di sisi Selatan Gombong, sudah banyak bermunculan.
Tinggal tekad dan kesungguhan untuk mewujudkannya yang ditunggu. Rahasia yan terkandung di Sungai, di alam, dan di pegunungan adalah kekayaan besar yang bukan saja menarik, tapi seringkali mengejutkan.
- Siswa Asal Grobogan Sabet Juara 1 Sale Open Cup Pencak Silat 2025
- Tragedi Lift RS PKU Muhammadiyah Blora, Ketua Panitia Ditetapkan Sebagai Tersangka
- Surplus Tiap Tahun, Blora Sudah Swasembada Beras