Prof Budi Setiyono: Pilgub Jangan Hanya Bicarakan Figur

Prof Budi Setiyono. dok RMOLJateng
Prof Budi Setiyono. dok RMOLJateng

Akhir-akhir ini mulai ramai pembicaraan Masyarakat terkait pemilihan gubernur (Pilgub) Jawa Tengah 2024-2029.


Hanya saja menurut guru besar Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro dalam perbincangan dengan RMOLJateng, ramainya perbicangan Pilgub ini masih sebatas figur kandidat, tapi belum banyak memperbincangkan isu-isu strategis provinsi Jateng yang harus dihadapi oleh gubernur yang terpilih nantinya.

Padahal menurut Prof. Budi, memperbincangkan isu strategis dapat menyebabkan Pilgub memberikan kontribusi mendasar terhadap tata kelola pemerintahan demokratis yang sehat. 

“Pilgub harus memungkinkan para pemilih untuk memilih pemimpin secara terbuka atas dasar ide dan gagasan mengatasi masalah publik dan meminta pertanggungjawaban mereka atas kinerja mereka selama menjabat nantinya.” ujar Prof. Budi.

Akuntabilitas menjadi lemah bila para kandidat terpilih semata-mata karena popularitas dan tidak peduli apakah mereka akan terpilih berdasarkan tawaran ide brilian atau kebijakan alternatif. 

Pemimpin yang terpilih semata-mata karena popularitas, akan sulit dikontrol akibat tiadanya benchmark (tolok ukur). Hal seperti ini tentu saja dalam jangka panjang memberikan kontribusi terhadap perlemahan demokrasi. 

Selain itu, Prof. Budi Setiyono yang juga Wakil Rektor 3 Undip menambahkan, ketika proses pemilu bersifat kompetitif dan memaksa para kandidat atau partai untuk memaparkan rekam jejak dan niat (visi-misi) mereka di masa depan kepada publik, maka proses Pilgub dapat berfungsi sebagai forum diskusi isu-isu publik dan memfasilitasi ekspresi opini publik. 

Dengan demikian, pemilu memberikan pendidikan politik bagi warga negara dan memastikan pemerintah yang demokratis tanggap terhadap keinginan rakyat. Hal ini juga berfungsi untuk melegitimasi tindakan pihak-pihak yang memegang kekuasaan.

Dalam kondisi seperti ini, Pilgub juga dapat memperkuat stabilitas dan legitimasi komunitas politik. Seperti halnya Pemilu di tingkat nasional, dimana rakyat dapat memperbincangkan perosalan-persoalan kolektif mereka, Pilgub dapat menghubungkan komunikasi masyarakat satu sama lain dan dengan demikian menegaskan kelangsungan pemerintahan. Hasilnya, Pilgub membantu memfasilitasi integrasi sosial dan politik.

"Perlu diingat, Pilgub juga mempunyai tujuan mengaktualisasikan diri dengan menegaskan nilai dan martabat setiap warga negara sebagai umat manusia. Apa pun kebutuhan lain yang dimiliki pemilih, partisipasi dalam pemilu berfungsi untuk memperkuat harga diri dan harga diri mereka. Pemberian suara memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya dan, melalui ekspresi keberpihakan, untuk memenuhi kebutuhan mereka akan rasa memiliki.” sambung Prof. Budi. 

Bahkan tanpa hak suara pun memenuhi kebutuhan sebagian orang untuk mengekspresikan keterasingan mereka dari komunitas politik. 

Justru karena alasan-alasan inilah, perjuangan panjang untuk mendapatkan hak memilih dan tuntutan kesetaraan dalam partisipasi pemilu dapat dipandang sebagai manifestasi dari keinginan besar manusia akan kepuasan pribadi.

“Besar harapan saya agar Pilgub tidak sekedar memenuhi aspek ritualistik. Pilgub dan kampanye-kampanye yang mendahuluinya harus menjadi peristiwa dramatis yang disertai dengan diskusi, demonstrasi, pernyataan pendapat, di dalam liputan televisi, perbincangan radio dan media sosial yang semuanya menarik perhatian akan pentingnya partisipasi dalam peristiwa tersebut.” Prof. Budi menambahkan.

Kandidat, partai politik, dan kelompok kepentingan yang mewakili beragam tujuan menggunakan simbol nasionalisme atau patriotisme, untuk menguji rekam jajak, visi, misi, dan motivasi para kandidat secara komprehensif. 

“Dengan demikian Pilgub dapat menjadi peristiwa yang dapat membangkitkan emosi dan menyalurkannya ke simbol-simbol kolektif, memecahkan kemonotonan kehidupan sehari-hari dan memusatkan perhatian pada nasib bersama di masa datang” tutup Prof. Budi.