Produksi PT Garam Terancam Tak Maksimal

PT Garam (Persero) berharap rekomendasi pemerintah daerah untuk penggarapan lahan garam di Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa cepat dikeluarkan. Tanpa adanya izin dari pemerintah setempat, maka produksi PT Garam untuk memenuhi kebutuhan nasional sulit berjalan maksimal.


Direktur Operasi Garam Hartono mengaku, hingga saat ini masih menunggu rekomen­dasi pemerintah provinsi setem­pat untuk bisa menggarap lahan garam di NTT.

Ia menjelaskan rekomendasi dari Bupati sulit diperoleh lan­taran pemerintah daerah setem­pat menilai lahan tersebut adalah tanah ulayat.

Dijelaskan, tanah ulayat meru­pakan tanah yang dikuasai warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Jika demikian maka hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat masih menjadi wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat.

Padahal, pandangan pemerin­tah, tanah tersebut adalah tanah terlantar. Tanah itu akan diakui sebagai milik negara yang pe­runtukannya diserahkan penuh kepada pemerintah. "Masalah itu sampai sekarang ini belum ada titik temu," jelas Hartono.

Dia juga menyampaikan, PT Ga­ram telah melakukan pendekatan kepada masyarakat lokal atas 75 hektare tanah yang dikelola sebagai lahan perikanan. Ia pun mengakui, bahwa warga tidak masalah jika perseroan mencarikan solusi.

"Tinggal menunggu tanda tangan rekomendasi bupati (Ka­bupaten Kupang), semua izin se­lesai. Sekarang prosesnya masih pengakuan HGU dan Ulayat. Kepala dinas enggak berani kalau belum ada izin," kata dia.

Namun demikian, perseroan sudah melakukan pengerjaan la­han-lahan yang sudah diambil alih pemerintah. Dia mengatakan, pengerjaan lahan dilakukan sejak November tahun lalu. "Kami sudah bergerak. Surat-surat kami urus, pembayaran untuk izin sebagai HGU (hak guna usaha) oleh Garam sudah kami lakukan. Tinggal tung­gu izin rekomendasi dari bupati. Itu yang masih terkendala," ujarnya.

Dia menjelaskan PT Garam mendapatkan lahan seluas 225 ha di NTT terdiri dari 75 ha lahan di Desa Bipolo dan 150 ha di Desa Nunkurus. Sampai sekarang, lahan di Nunkurus belum bisa dimanfaatkan. Tapi untuk lahan di Bipolo sebagiannya telah diguna­kan masyarakat untuk perikanan.

"Kalau untuk itu kami sudah punya solusi," katanya.

Dia menerangkan PT Garam sudah memiliki rencana bisnis untuk mengelola lahan di Bipolo. Integrasi hulu sampai hilir. "Hulu­nya itu di ladang garam, hilirnya industri pabrik garam di sekitarnya ada perikanan juga," kata dia.

Saat ini PT Garam (Persero) tengah menargetkan produksi sebanyak 30.000 ton. Produksi terbesar didapat dari wilayah NTT.

Direktur Utama PT Garam Budi Sasongko mengatakan, potensi garam di NTT khususnya wilayah Bipolo sangat besar. Daerah banyak pantai ini akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ga­ram industri. "Saat ini kita sedang setting untuk memenuhi industri garam di negara ini," tutur Budi dilansir dari Kantor Berita

Ia mengatakan, ladang garam yang sedang dikembangkan di Bipolo sekarang adalah ladang garam yang sempurna karena baru pertama kali diolah oleh PT Garam Indonesia. Beda dengan ladang garam di Madura yang pertama kali dikembangkan saat zaman Belanda sehingga sedimentasi lahan tersebut perlu direvitalisasi serta diredesain kembali.

"Tetapi karena di sini (Bipolo) adalah model baru maka desain kita, kita sempurnakan sesuai dengan standar operasi yang benar dengan harapan agar ladang garam yang se­dang kita kembangkan ini semuanya bisa untuk industri," tambahnya.