PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,  Kembalikan Raja Kepada Mereka Yang Berdarah Raja

Ir Daniel Budi Setiawan, MM. Pengamat Politik Tinggal Di Semarang. Foto: Istimewa/RMOLJateng
Ir Daniel Budi Setiawan, MM. Pengamat Politik Tinggal Di Semarang. Foto: Istimewa/RMOLJateng

“Ternyata Raja yang berasal dari rakyat adalah pendendam dan lebih kejam daripada Raja yang berdarah Raja,”


Kalimat itu mungkin satir yang menggambarkan situasi politik saat ini. Tak perlu digambarkan secara gamblang soal ini. Karena sesungguhnya pernyataan itu hanyalah aneksasi belaka.

Kini, yang penting dari yang terpenting adalah, sudah saatnya melepas ego dan kembali ke Undang Undang Dasar (UUD) '45 untuk membangun Indonesia.

Presiden Republik Indonesia, Kembalikan Raja kepada mereka yang berdarah Raja.

Sebab, sesungguhnya demokrasi dan oposisi adalah bukan budaya Indonesia dan bukan budaya kita. 

Memang dalam tatanan sebuah negara berdemokrasi dibutuhkan adanya oposisi dan koalisi. Hal ini sangat positif dalam menentukan arah kebijakan negara.

Tapi dengan musyawarah untuk mufakat dan gotong royong, kita bisa membangun negara sesuai dengan cita-cita leluhur. 

Hal itu bisa dilihat dari ajaran leluhur kita dulu. Sejak zaman kerajaaan dahulu kala. Bahkan, dalam hakikatnya, manusia merupakan makhluk sosial yang tentunya tidak bisa seorang diri menyelesaikan masalah.

Karena itu, mencermati Pemilu 2024, jika PDI Perjuangan dan PKS berada di luar pemerintahan maka komposisi Parpol menjadi PDI Perjuangan, Koalisi 02, dan PKS. Hal ini mengingatkan saya pada komposisi partai politik sebelum reformasi, yaitu PDI, Golkar, dan PPP.

Komposisi yang kemudian berubah pada tahun 2004 dengan munculnya diasosiasi partai politik menjadi multipartai dan setelah ‘trial & error’ selama 20 tahun, maka kemungkinan kembali pada era sebelum Reformasi sangat dimungkinkan karena selama 20 tahun tidak pernah ada partai politik yang mendapat suara 50% + 1.

Jika Koalisi 02 dapat membangun 'Koalisi Permanen” dengan faksi-faksi yang makin jelas (Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Nasdem, PKB, dan PAN) yang pada Pemilu 2024 memperoleh ± 64% suara (menurut hasil sementara), niscaya pembangunan Indonesia yang berkesinambungan akan lebih dapat diwujudkan.

Syarat membangun Koalisi Permanen yang diharapkan adalah meniadakan ego pribadi para ketua umum partai dan ego partai demi kebaikan “masa depan Indonesia”.

Dari disasosiasi partai politik tahun 2004, sekarang mereka kembali berasosiasi.

Jika 6 (enam) ketua umum partai dengan akhlak dan political will untuk membangun koalisi permanen (model UMNO Malaysia) dapat diwujudkan, maka dapat dipastikan Koalisi Permanen ini dapat senantiasa memelihara kekuasaannya dan dapat mewujudkan pembangunan Indonesia jangka panjang.

Koalisi Permanen di atas dimungkinkan kembali ke UUD 1945 naskah asli terlebih jika PPP bergabung. Hal ini berarti dua pertiga anggota DPR RI berasal dari Koalisi Permanen sehingga tatanan baru partai politik adalah sebagai berikut: PDI Perjuangan, Koalisi Permanen 02, dan PKS

Hal ini menunjukkan komposisi partai politik sebelum era reformasi. Dengan demikian pemilihan Presiden dapat dilakukan di dalam gedung oleh seluruh anggota MPR RI.

Kompetisi calon presiden sebelum dipilih oleh MPR-RI. Secara internal koalisi permanen mempersiapkan kandidatnya untuk berkompetisi sebelum diendorse oleh MPR-RI.

Dengan demikian, budaya Indonesia untuk musyawarah untuk mufakat dan gotong royong yang telah menjadi aset bangsa Indonesia tetap bisa di wujudkan dan dipelihara.

Bagaimana jika PDI Perjuangan bergabung dalam Koalisi Permanen? Jika PDI Perjuangan berada dalam Koalisi Permanen maka Pemilu tidak terlalu perlu lagi (hanya membuang uang saja).

Jika PDI Perjuangan dan PKS berada di luar Koalisi Permanen maka, sekalipun sebagai hanya partai penggembira, Pemilu tetap perlu diselenggarakan.

Gagasan partai politik berasosiasi kembali setelah 20 tahun sesungguhnya gagasan yang timbul dari langkah langkah politik Presiden Jokowi membangun koalisi besar di lapangan.

Sehingga dengan demikian kita tidak lagi mengingkari sila ke 4, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan, itu akan terlaksana kembali.