Pemilu 2019 diduga diwarnai dengan rekayasa elektoral lewat jalur konstitusional. Pasalnya, ambang batas diambil dari pemilu sebelumnya tidak sesuai dengan desain yang diinginkan masyarakat luas.
- KPU Batang Segera Kembalikan Sisa Anggaran Pilkada
- Tingkatkan Kualitas Pemilu, KPU Grobogan Gelar FGD
- Efisiensi Anggaran, Mobil Dinas KPU dan Bawaslu Segera Ditarik
Baca Juga
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, dalam diskusi bertajuk 'Hapus Ambang Batas Nyapres, Darurat Demokrasi, Darurat Konstitusi' di Aula KH Ahmad Dahlan, Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (31/7).
"Ambang batas diambil dari Pemilu sebelumnya itu rekayasa elektroral. Tidak sesuai desain Pemilu yang kita ingin wujudkan," jelasnya seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL
Menurut Titi, aturan itu sebagai bentuk pemaksaan yang sifatnya sangat tidak logis. Yang mana, para politisi hanya menganggap demokrasi sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan semata.
"Ini hanya di Indonesia terjadi," ketusnya.
Meski demikian, Titi menilai MK tak menggunakan irasionalitas tersebut sebagai bahan pertimbangan.
"Tidak logis bicara kepemimpinan masa depan dengan kekuatan masa lampau untuk menentukan koalisi yang akan berkontestasi. Sayangnya irasionalitas itu tidak menjadi pertimbangan MK untuk diprioritaskan," pungkasnya.
Aturan terkait presidential threshold itu tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Perludem merupakan salah satu pihak yang mengajukan uji materi tersebut.
- KPU Batang Segera Kembalikan Sisa Anggaran Pilkada
- Tingkatkan Kualitas Pemilu, KPU Grobogan Gelar FGD
- Efisiensi Anggaran, Mobil Dinas KPU dan Bawaslu Segera Ditarik