Pertemuan Tanpa Orgasme (Antiklimaks) Mega-Prabowo (1)

Jayanto Arus Adi, Pemimpin Redaksi RMOLJawaTengah
Jayanto Arus Adi, Pemimpin Redaksi RMOLJawaTengah

Presiden Prabowo Subianto akhirnya bertemu (menemui) Presiden Republik Indonesia (RI) ke-5 Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan, Senin (07/04). Pertemuan politik yang ditunggu publik ini memanfaatkan momentum Idulfitri. Artinya terselip pesan sesungguhnya silaturahmi (pertemuan) ini bukanlah pertemuan biasa. Dinamika dan turbulensi berbagai spekulasi berkembang sejak agenda (rencana) kedua tokoh bangsa dikabarkan bakal bertemu.


Namun, pertemuan itu ternyata baru terlaksana Senin (07/04) lalu, dan itu pun tidak seheboh seperti yang diprediksi banyak kalangan, atau publik. Apa yang menjadi sebab momentum yang ditunggu-tunggu publik ini baru terlaksana?

Berbagai pendapat mengemuka, seperti faktor Joko Widodo, Presiden RI ke-7, juga turbulensi serta dampak kasus Hasto Kristyanto, Sekretaris Jendral PDI Perjuangan, orang kepercayaan Mega.

Mengesampingkan berbagai spekulasi yang berkembang, ada tiga poin yang menjadi narasi utama pada Catatan Jayanto kali ini. Pertama, apa pun dan bagaimana pun silaturahmi (pertemuan) politik itu sangat penting bagi kedua belah pihak.

Yang menjadi catatan khusus saya di sini adalah, mengapa Megawati tanpa didampingi orang-orang, sebut ring satu yang selama ini selalu mendampinginya. Ketidakhadiran Puan Mahari, Putri Mahkoti (karena Perempuan) dan Prananda Prabowo menjadi perenungan tersendiri. Apalagi tokoh-tokoh sentral lain, yang selama ini menjadi figur sentral, seperti Saleh Basarah, Eriko Sutarduga, Andi Wijayanto, juga tak tampak dalam pertemuan itu.

Sebaliknya Megawati lebih mempercayai (didampingi) Menkopolhukam Jendral Pol (Purn) Budi Gunawan. Fakta ini jujur menjadi catatan khusus saya di sini. Artinya kondisi sekarang Megawati, maaf saya harus mengatakan, tidak lagi ada tokoh yang dipercaya untuk mendampingi, bahkan sekelas putrinya sendiri, Puan Maharani, juga Pananda Prabowo.

Terhadap narasi terakhir biarlah waktu yang akan menjadi hakim, untuk menjernihkan keadaan, serta menapis realitas atas nama kebenaran yang berpijak pada hati nurani. Meski subyektif komplikasi relasi Megawati dengan Joko Widodo menurut hemat saya menjadi salah satu ganjalan di balik sikap Mega, mengapa tidak mengajak (melibatkan) putra-putrinya (Puan dan Prananda).

Bukan hanya itu, mereka yang selama ini diposisikan menjadi orang-orang (faksi) Puan, seperti Bambang Patjul, dan tokoh senior lain, sebut Komarudin Wakatubun, Guntur Romli, Ronny Talapessy juga tak tampak. Begitu pun orang-orang (faksi) Prananda Prabowo, yakni Ganjar, Djarot Saiful Hidayat pun tak terlibat. Mengapa mereka tak hadir mendampingi, justru Budi Gunawan, mantan ajudan Mega, saat menjadi Presiden RI ke-5, yang sekarang adalah tokoh sentral di Kabinet Merah Putih Prabowo.

Saya kira ketidaktampakan (ketidakhadiran) sejumlah tokoh dalam di tubuh Partai Banteng bukan missing in disorder. Tetapi ada sikap, yang baik oleh Megawati sendiri, dan juga Prabowo, menjadi sebuah kesadaran dan menjadi pemahaman bersama. Secara lebih klir saya ingin mengatakan, situasi menjelang Kongres mendatang Mak Banteng benar-benar tengah menapis kesetiaan pada orang-orang yang selama ini dipercayainya.

Kontras jika Megawati tak didampingi siapa pun kecuali Budi Gunawan, Prabowo Subiyanto mengajak orang-orang dekat (kepercayaan) sebut Sufi Dasco Ahmad, Saiful Muzani, Teddy Wijaya dan Prasetyo Hadi juga Sugiono. Mereka yang mendampingi Prabowo adalah afirmasi menjadi tokoh-tokoh yang selama ini menjadi The Dream Team yang telah cukup lama mendampingi sang Presiden. Menjadi pertanyaan tersisa adalah mengapa Hashim Djojohadikusumo, adik kandung yang notabene tokoh sentral Partai Gerindra pun juga tidak dihadirkan (dilibatkan).

Poin kedua adalah saya mempunyai pandangan, meski telah diagendakan lama, namun tertunda-tunda karena tarik menarik kepentingan (politik) silaturahmi Idulfitri lalu tak luput dari agenda-agenda krusial masing-masing pihak. Mega yang kecewa atas sikap Prabowo terkait langkah KPK menahan Hasto akhirnya melunak, meski sedikit berat hati. Pertemuan dilakukan di Teuku Umar, meski tak diartikulasikan membawa makna bahwa Mega hanya mau bertemu di rumahnya.

Lantas apa makna buat Prabowo, bagaimana pun di tengah turbulensi dan kecaman publik atas beberapa persoalan krusial Undang-Undang TNI dan lain lain, pemerintah tidak bisa memandang sebelah mata keberadaan PDI Perjuangan. Pascasilaturahmi monumental itu kita dapat merasakan artikulasi dari vokalis Partai Moncong Putih tampak mereda. Apakah ini kebetulan, atau ada titah sanga Ketua Umum, saya lebih setuju bahwa tidak ada yang kebetulan.

Poin berikut yang penting menjadi afirmasi atas pertemuan ini adalah faktor Jokowi. Narasi Dasco bahwa pertemuan ini murni merupakan silaturahmi antara kedua tokoh sentral, Megawati sebagai Ketua Umum partai pemenang Pemilu, dan Prabowo adalah pemenang Pilpres pasti ada benang merah dengan sang guru politik, siapa lagi kalau bukan Joko Widodo. Relasi personal Prabowo dengan Jokowi mempunya ikatan fundamental yang sangat kuat. Secara logika tidak mungkin Prabowo, seorang prajurit, seorang ksatria akan meninggalkan (berkhianat) kepada Presiden RI ke-7, Joko Widodo.

Memijakkan pada sejumlah varian narasi di atas menjadi poin akhir Catatan Jayanto di sini adalah meski tetap memiliki makna, namun menganalogikan sebuah relasi kasmaran, ada yang antiklimaks di sini.

Ketika gaduh, riuh dan gerah begitu mendera syahwat pertemuan yang mestinya menjadi oase, kini nyaris tanpa orgasme. Ini seperti kerinduan publik yang berharap-harap dan menunggu dengan panas dingin akhirnya datar-datar saja menyikapinya.

Meski begitu, sebagai orang beragama, saya percaya tidak ada yang kebetulan, semua adalah tidak lepas dari sang maha pengatur, yakni sang maha kuas. Apa pun dan bagaimana pun silaturahmi selalu menghadirkan makna spiritual, pertama adalah keduanya Allah satukan dalam ridloNya, panjang umur dan dibukakan pintu rezeki, serta keberkahan, keselamatan menjadi pemimpin negeri kita tercinta ini. Tabik. (bersambung)

Jayanto Arus Adi adalah Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers, aktif di Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) - Konstituen Dewan Pers dan duduk sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan. Memimpin MOJO (Mobile Jurnalis Indonesia), organisasi yang menaungi penggiat media berbasis Android. Mengelola RMOL Jateng, Media Online yang sangat berpengaruh di Jawa Tengah sebagai Pemimpin Umum dan Redaksi. Aktif juga di Satu Pena, Organisasi Penulis yang didirikan Deny JA. Mengajar Jurnalistik di beberapa Perguruan Tinggi. Di antara aktivitas tersebut aktif pula menjadi konsultan politik dan media.