- Saat Jet Tempur Tak Bisa Terbang Bebas, Paradoks Pertahanan Udara Dan Kedaulatan Di Era Jaringan
- Kejadian Kecelakaan Di Perlintasan Sebidang Sudah Menjadi Isu Nasional
- Mudik Tidak Sekedar Lancar
Baca Juga
Di era perang digital, penguasaan perangkat keras militer bukan lagi sekadar soal siapa yang memiliki pesawat tempur, rudal, atau sistem radar, tetapi tentang siapa yang mengendalikan perangkat lunak yang menjalankannya.
Perdebatan baru-baru ini mengenai F-35 dan kemungkinan adanya kill switch jarak jauh—sebuah fungsi yang, secara teori, memungkinkan AS untuk menonaktifkan atau memanipulasi jet tempur sekutunya dari kejauhan - memunculkan pertanyaan mendasar tentang kedaulatan digital.
Bagi Indonesia, yang tengah giat memodernisasi sistem pertahanan udaranya, ini bukan sekadar wacana. Selama ini, Indonesia bergantung pada pemasok asing untuk mendapatkan jet tempurnya, baik dari AS, Rusia, maupun Eropa.
Namun, seiring dengan semakin tingginya ketergantungan pesawat pada perangkat lunak, risiko kendali asing, kerentanan siber, dan ketergantungan operasional menjadi semakin nyata. Era di mana pilot dan teknisi dapat sepenuhnya memahami dan merawat pesawat mereka sendiri, seperti yang terjadi pada F-16, mulai menghilang. Kini, banyak jet tempur modern berfungsi sebagai sistem yang terhubung dengan jaringan, terus berkomunikasi dengan pabrikan untuk pembaruan, diagnostik, dan perbaikan keamanan—sering kali melalui saluran terenkripsi yang tidak dapat diakses oleh negara pembeli.
Ketergantungan ini berbahaya. Bayangkan jika Indonesia terlibat dalam konflik atau menghadapi tekanan geopolitik dari negara pemasok. Jika jet tempur atau sistem pertahanan udara yang dimiliki berjalan dengan perangkat lunak yang dikendalikan secara eksternal, apakah Indonesia benar-benar memiliki kendali atas asetnya? Dapatkah pesawat-pesawat ini diandalkan dalam situasi genting?
Risiko negara asing menahan pembaruan perangkat lunak, membatasi akses, atau bahkan menonaktifkan sistem kritis secara jarak jauh adalah ancaman nyata.
Kekhawatiran ini tidak hanya dirasakan oleh Indonesia. Rumor tentang kill switch pada F-35 telah menimbulkan keresahan global, bahkan di antara sekutu NATO.
Prancis, yang melihat potensi bahaya dari ketergantungan berlebihan pada jet tempur Amerika, mengusulkan agar NATO mempertimbangkan Rafale sebagai alternatif. Tidak seperti F-35, yang sangat terintegrasi dengan jaringan militer AS, Rafale menawarkan kemandirian operasional yang lebih besar—sebuah opsi menarik bagi negara-negara yang ingin menghindari ketergantungan strategis.
Perdebatan ini menegaskan bahwa kontrol perangkat lunak kini menjadi faktor utama dalam keputusan pengadaan militer, dengan negara-negara semakin memprioritaskan bukan hanya kemampuan, tetapi juga kedaulatan.
Bagi Indonesia, solusi atas tantangan ini adalah komitmen yang jelas terhadap kedaulatan digital. Negara tidak boleh membangun sistem pertahanan udara yang rentan terhadap kendali asing. Ini berarti Indonesia harus memprioritaskan sistem dengan arsitektur terbuka, menuntut akses ke perangkat lunak operasional saat membeli peralatan militer, serta berinvestasi dalam kemampuan dirgantara dan keamanan siber dalam negeri.
PT Dirgantara Indonesia, dapat bekerja sama dengan BRIN dan lembaga penelitian militer lainnya, harus mendorong kemandirian yang lebih besar dalam pengembangan jet tempur, drone, dan sistem pertahanan udara. Program KF-21 Boramae dengan Korea Selatan merupakan langkah yang tepat, tetapi Indonesia harus melangkah lebih jauh—memastikan bahwa kendali tidak hanya atas perangkat keras, tetapi juga atas perangkat lunaknya.
Namun, kedaulatan digital tidak cukup jika *rantai pasok penerbangan masih bergantung pada komponen dan perangkat lunak dari negara asing*. Sistem pertahanan udara Indonesia harus memperkuat keamanan rantai pasoknya untuk menghindari penyisipan backdoor, kill switch, atau manipulasi perangkat lunak yang dapat mengancam operasional. Ini berarti Indonesia harus mengembangkan strategi industri pertahanan berbasis dalam negeri yang melibatkan produksi lokal komponen kunci, audit menyeluruh terhadap kode sumber perangkat lunak, dan kerja sama dengan mitra strategis yang bersedia memberikan transparansi penuh.
Pembangunan rantai pasok yang aman dan mandiri juga membutuhkan penguatan regulasi serta kerja sama dengan universitas dan industri teknologi dalam negeri untuk menciptakan ekosistem inovasi. Selain itu, unit perang siber harus secara aktif melakukan analisis kerentanan terhadap perangkat lunak dan perangkat keras yang digunakan dalam sistem pertahanan udara. Tanpa langkah ini, kedaulatan digital hanya akan menjadi ilusi.
Di saat yang sama, pertahanan siber harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari strategi pertahanan udara Indonesia. Unit perang siber khusus TNI, yang bekerja sama dengan BSSN dan intelijen militer lainnya, perlu difokuskan untuk melindungi infrastruktur dirgantara kritis Indonesia.
Serangan siber terhadap jaringan pertahanan udara, sistem komando dan kendali, serta satelit militer bisa sama menghancurkannya dengan serangan fisik. Jika jet tempur tercanggih Indonesia masih terhubung ke sistem pemeliharaan berbasis cloud milik negara asing, siapa yang bisa menjamin bahwa pesawat-pesawat ini tetap dapat dioperasikan dalam situasi krisis?
Dunia sedang memasuki fase di mana perangkat lunak, bukan hanya kekuatan senjata, yang akan menentukan hasil dari sebuah konflik. Jika Indonesia ingin benar-benar berdaulat dalam kemampuan pertahanannya, maka negara ini harus mengendalikan masa depannya secara digital.
Pelajaran dari perdebatan F-35 sangat jelas: jika kita tidak menguasai kode perangkat lunak, kita tidak menguasai sistem. Dan dalam perang, kendali adalah segalanya.
*) Tommy Tamtomo, Vice Chairman, Pusat Studi Air Power Indonesia
- Dugaan Penyimpangan Bisnis Di Balik Pengiriman Barang Galian Dari PPMM Ke IPP
- Tangani Sampah Di Pasar Adiwerna, Wabup Tegal: Alhamdulillah Sudah Selesai
- Kapolres Cup 2025 Siap Digelar, Pendaftaran Resmi Dibuka di Polres Boyolali