Pakar Hukum USM Tanggapi Surat Perintah Penyidikan KPK Terkait Dugaan Korupsi Pemkot Semarang

Wakil Rektor III Universitas Semarang (USM) Dr Junaidi SHI, MH. Umar Dani/RMOLJawaTengah
Wakil Rektor III Universitas Semarang (USM) Dr Junaidi SHI, MH. Umar Dani/RMOLJawaTengah

Semarang - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan telah mengirimkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada empat tersangka terkait dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Kota Semarang.


Menanggapi hal ini, Dr. Junaidi, SHI, MH, Wakil Rektor  III Universitas Semarang (USM) sekaligus pakar hukum, memberikan pandangan kritisnya.

Menurut Junaidi, informasi yang berkembang di media belumlah valid karena KPK tidak menyebut secara langsung siapa yang menjadi tersangka.

"Adanya SPDP itu menandakan adanya penguatan alat bukti. Namun, saya melihat belum muncul siapa tersangkanya," kata Junaidi pada RMol Jateng Rabu (24/7)

Ia menekankan bahwa SPDP dan penetapan tersangka adalah dua hal berbeda.

"SPDP adalah Surat Perintah Dimulainya Penyidikan yang berisi bahwa penyidikan telah dimulai dengan koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa dan kepolisian. Sedangkan penetapan tersangka itu di luar komponen SPDP," jelasnya.

Junaidi menegaskan bahwa saat ini penetapan tersangka dari KPK belum ada secara resmi. Sebagai akademisi, ia menekankan pentingnya mencari bukti dengan SPDP ini.

"Dalam proses ini, apalagi menjelang Pilkada, KPK perlu bertindak cepat dan cermat. Bukan untuk segera menetapkan tersangka, tetapi untuk memastikan bahwa proses ini memiliki kepastian hukum," katanya.

Ia juga mengingatkan agar tidak ada spekulasi negatif terhadap penegak hukum yang sudah memiliki reputasi baik.

"Makanya saya sampaikan bahwa secara akademis, penegak hukum KPK harus cepat mengambil keputusan yang tepat agar kasus ini benar-benar terangkat dan memberikan kepastian hukum serta keadilan, tanpa mempengaruhi proses Pilkada," tambahnya.

Junaidi menyarankan untuk menunggu dan melihat perkembangan lebih lanjut, karena saat ini bola ada di tangan aparat penegak hukum. "Dasar negara kita adalah negara hukum, dan hukum harus menjadi prioritas karena berimplikasi pada penyelenggaraan pemerintahan," tegasnya.

Menurutnya, selama belum ada penahanan, kepala daerah yang menjadi tersangka masih boleh menjalankan pemerintahan berdasarkan asas praduga tak bersalah.

Namun, jika penetapan tersangka menyebabkan kekacauan dalam penyelenggaraan pemerintahan, kepala daerah yang bersangkutan sebaiknya mengundurkan diri untuk fokus menangani masalah hukumnya.

Jika terjadi kekosongan pemerintahan, gubernur dapat mengambil alih dengan menunjuk pejabat sementara atau memberikan kewenangan kepada pejabat pelaksana.

"Sekda bisa mengambil alih pemerintahan jika walikota tidak dapat menjalankan tugasnya. Namun, pelantikan pejabat OPD tetap berada dalam kewenangan wali kota, kecuali ada pendelegasian yang sah kepada sekda," pungkas Junaidi.