Kim Jong Un-isme adalah fenomena kontroversial yang menjadikan dunia shok. Percaya tidak, bahkan Donald Trump pun kukut karenanya. Kontroversi Kim Jong Un muda, ketika itu umur 27 tahun menjadi Presiden Korut karena patron besarnya, yang tak lain ayahanda, yakni Kim Jon Il mangkat.
Kim Jong Un-isme adalah fenomena kontroversial yang menjadikan dunia shok. Percaya tidak, bahkan Donald Trump pun kukut karenanya. Kontroversi Kim Jong Un muda, ketika itu umur 27 tahun menjadi Presiden Korut karena patron besarnya, yang tak lain ayahanda, yakni Kim Jon Il mangkat. Dunia berspekulasi dengan macam macam kalkulasi, Korut akan segera bangkrut lantaran menyerahkan ‘tahta’ bagi Jong Un-‘bocah ajaib’ di tampuk kekuasaan.
Kalkulasi itu masuk akal karena siapa Jong Un, bagaimana rekam jejak dan portofolianya tak banyak diketahui publik. Maklum Korut menganut politik tertutup, dan bahkan terkena embargo Amerika Serikat dan sekutunya lantaran mereka ngotot membangun senjata nuklir. Tertutup, dan terisolasi praktis dunia tak banyak tahu bagaimana wajah atau pun profile Pyongyang dengan segala pernik perniknya.
Informasi didapat adalah berita sepihak kemasan Barat (baca Amerik cs-red), atau sesekali release dari KCNA, kantor berita resmi Korea Utara. Yang membuat dunia tidak habis pikir, juga diam diam mengagumi adalah meski, ditekan, diembargo, diisolasi tak lantas membuat Kim kecil nyali, apalagi mengemis kasihas pada AS dan sekutunya. Tidak!
Sebalik momentum itu dijadikan propaganda Kim membangun nasionalisme baru. Mereka begitu solid dan fanatik, yang luar biasa setia pada Jong Un dengan rela mendarmabhaktikan hidupnya untuk negara tercinta, yakni Korut. Jangan heran Korut adalah negara yang nyaris tidak memiliki ketergantungan pada dunia luar. Memang relasi klandestin mereka dengan Cina, Rusia, atau pun poros negara negara sosialis tetap dibangun secara apik.
Apa yang terjadi kemudian KIm si anak ajaib berhasil meraih simpati dan mengkapitalisasi dukungan rakyat untuk membangun Korut. Statistik tentang kemampuan mereka bertahan menghadapi krisis bahan pakar ekstrem Korut mempunya kemapuan bertahan cukup lama. Sebagai gambaran Indonesia akan mampu bertahan sekitar 36 hari ketika seluruh akses atau pintu masuk ditutup dan hidup mandiri tanpa pasokan BBM dari luar.
Amerika Serikat sang negara adidaya adalah 91 hari. Sementara Karea Utara mampu bertahan sampai dengan 123 hari. Bayangkan saja, dari sisi itu kita dapat menjadi indikator atau daya tahan Korut menghadapi situasi sulit. Negara negara, seperti Singapura meski secara PDP tinggi, namun mereka adalah kelompok yang tidak memiliki kekuatan, sebab praktis hanya mampu bertahan tidak lebih dari satu pekan. Gila!
Fenomena ini mencengangkan publik, Kim yang ketika itu dianggap anak kemarin sore, alias si pupuk bawang, justru membalik keadaan. Ketika dunia lumpuh digempur ovid 19, Korut membukukan sensasi wahid di luar akal sehat. KCNA merelease kabar Pyongyang sama sekali tak mengalami masa sulit yang berarti ketika pandemi mengamuk. Krisis Kesehatan yang menyeret terjadinya krisis ekonomi dan kemudian krisis politik tidak berlaku di Korut.
Makanya yang dapat kita saksikan adalah beririsan waktunya saat Covid menggila Korut memamerkan ujicoba rudal balistik antarbenua. Elok nian. Nah, dari sini pelajaran apa yang bisa dipetik. Kalau kita mau jujur realitas itu, sesungguhnya adalah pesan simbolik bahwa demokrasi, kapitalisme bukan merupakan ideologi yang layak diunggulkan. Karena sosialisme dengan komunisme justru lebih unggul menghadapi tsunami ekonomi, seperti yang kita lihat saat didera Covid 19.
Prestasi lain Jong Un adalah dia satu satunya pemimpin dunia, ketika datang dihinggapi hujan dan ketikdapercayaan publik yang nyaris semua underestimate padanya. Tetapi yang terjadi kemudian adalah dia justu tampil sebagai The Champion. Sepanjang sejarah peradaban modern baru Jong Un yang mampu menundukkan atau lebih ekstrem mempermalukan sang adidaya itu. Donald Trump yang melakukan itu, yakni menginisiasi dialog, dan hasilnya kita tahu Korut tetap saja tidak bisa ditaklukkan.
Guiness Book mencatat Jong Un juga merupakan presiden yang paling banyak diberitakan oleh media dunia. Inilah pelajaran mutakhir menarik yang layak dipetik siapa pun pemimpin dunia. Peradaban ternyata tidak semata mata dibangun dengan unjuk kekuatan, alias super power, sepeti yang selama ini dipertontonkan Amerika. Karena pada akhirnya Trump pun harus meneguk pil pahit kekalahan di periode keduanya, takluk politisi gaek Joe Bidden.
Dikotomi demokrasi versus sosialisme menjadi tidak relevan lagi. Korut adalah pesan moral tentang demokrasi. Saya jujur tertarik pendapat yang mengatakan otoriter menjadi pil mujarab menyikapi dunia yang terbelah. Demokrasi yang dimaknakan manifestasi civil society ternyata justru keblinger. Demokrasi dengan anak kandung kapitalisme adalah monster bagi ihtiar menyemai keadilan sosial, dan juga kesejahteraan itu sendiri.
Karena demokrasi, kapitalisme yang menyandarkan pada vox populi vox dei adalah predator bagi sesama. Dia ibarat piranha yang memangsa sesama atas nama ambisi dan kekuasaan. Demokrasi adalah madu dan racun peradaban.
Menginspirasi jejak Jong Un kita seperti setuju untuk memberikan legacy diktatorisme dan otoriterianisme merupakan sekoci peradan. Tentu otoriterianisme di sini bukanlah seperti Idi Amin di Uganda dulu, atau Moamar Ghadafi di Libia, juga Casro di Kuba, atau Ferdinand Marcos di Filiphina. Single majority di Indonesia era Soeharto pada galibanya adalah otoriterianme yang madani.
Indonesia di era Orba adalah musim semi yang indah, sayang dalam perjalanannya dikotori oleh kepentingan kapitalis semua atas nama politik global. Dokumen yang dibuka oleh AS setelah dinyatakan tidak relevan menjadi file rahasia nyata nyata peristiwa G.30 S PKI dengan actor ‘boneke’ Soeharto adalah permainan CIA. Artinya apa, artinya inilah pelajaran yang perlu dipetik ketika kemudian Orba tumbang oleh reformasi.
Saya membayangkan andai transisi Orba tidak meledak dengan tragedi alih zaman yang cacat, pincang dan penuh noda Indonesia akan menjadi raksasa dunia. Sayang dialektika bahwa sesuatu yang diawali dengan lancung akan redup, layu dan mati dengan sendiri. Terminologi yang pas sebagai analog adalah kita dapat berbohong pada banyak orang, tetapi tidak pada semua orang. Roda zaman adalah kelindan antara kejujuran, kerja keras, dan niat baik.
Nah, ketika aspek aspek etis itu dilupakan, maka karma pun akan menjadi hakim sekaligus jagal perabadan itu sendiri. Sekarang kita mencoba memaknai bagaimana peradaban ini mengalami kristalisasi sedemikian rupa. Secara logika Korut tidak mampu atau akan segera kukut menghadapi embargo, sanksi Amerika dan sekutunya. Tetapi zaman berkehendak pada alur yang tidak selalu hitam putih.
Pelajaran yang lain adalah Sumer Spring di Midle East- Timur Tengah. Kentara sekali konflik yang terjadi di sini tidak lain adalah racikan adidaya kapitalis yang didalangi Amerika dan sekutunya. Suriah hancur, Yaman babak belur, Mesir porak poranda tidak lain karena ambisi lalim mereka yang mengusung demokrasi dan civil society. Melihat itu semua lalu apa yang dapat diperas sebagai buah perenungan atas nama kemanusiaan.
Aaah ternyata kita tidak boleh terjebak demokrasi yang tampil dengan topeng. Namun kita perlu belajar memetik hikmah pada diktotor, juga sosialisme dan bahkan komunisme yang humanis?!! Gila, apa apaan ini? Ya, menjadi anak zaman kita perlu lebih bijak mengambil keputusan, untuk menilai manakah jalan yang terbaik. Karena banyak jalan menuju Roma.
Apakah Jokowi adalah seorang demokratis, sosialis, atau diktator itu sendiri?? Mari kita bersama memeras dan mengkristalisasi sikap utuh dari pemimpin pemimpin kita. Pada Soekarno kami hormat dan padanya layak disematkan founding father yang juga filosof, juga pemimpin besar. Pelajaran yang harus dipetika pada Presiden II Soeharto adalah bagaimana dedikasi pada bangsa dan negara harus dimanifestasikan secara utuh.
Soeharto adalah tokoh besar, sangat disayangkan ending dari kepemimpinnnya mesti runtuh oleh krisis yang sebagian terjadi karena anak petani Godean ini lupa membuat bendungan tanpa saluran yang memungkin air dapat terus mengalir sehinnga terlepas dari ambrolnya bendungan itu sendiri. Silakan memberikan resepsi juga pemaknaan atas kiprah dan pengabdian BJ Habiebie, kemudian Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono sampai Jokowi Widodo.
Jujur saya setuju single majority yang direduksi menjadi profile demokrasi saat ini. Saya melihat demokrasi Indonesia adalah demokrasi semprul, seperti pilkada langsung, pileg suara terbanyak, kemudian otonomi daerah menjadi residu peradaban membuat kita berjalan mundur. Demokrasi yang saya impikan bukanlah demokrasi seperti sekarang ini.
Bukan berarti pada Kim Jong Un saya setuju seratus persen. Makna dan pesan yang ingin saya sampaikan adalah kita harus punya sikap, dan percaya diri untuk itu. Jujur saya suka dengan Presiden Jokowi bagaimana dia melola perbedaan dan mengambil kebijakan yang khas dan itu menjadi Jokowi Style. Seorang ekonomi pernah mengatakan, Indonesia terlalu sayang diserahkan pada seoarang Jokowi. Aaah ternyata ekomom yang pernah juga jadi Menteri ini justru keliru, dan bahkan keblinger.
Satu hal lagi Jokowi memberikan pelajaran sederhana, yakni kesederhanaan itu sendiri. Hal lain saya yang banyak orang salah menilai, Jokowi tak cukup berkharakter dan lemah leadershipnya. Karena bagi saya sebaliknya kegigihannya membangun tol, menjadi jari jari transportasi nasional merupakan keputusan penuh keberanian, sekaligus brilian. Soal Freeport, soal Chefron, Blok Mahakam, soal Petral bagi saya merupakan bagian dari kecerdikannya, sekaligus cermin kenegarawanannya.
Merangkul rival, kompetitor, pesaing dan bahkan musuh saat berlaga menjemput RI Satu, menjadi menterinya adalah teladan yang luar biasa. Apresisasi yang sama juga pada Pak Prabowo untuk sikap yang sama. Akhirnya mau di bawa ke mana Indonesia ke depan, saya tidak setuju demokrasi seperti sekarang ini, saya tidak setuju otonomi seperti sekarang ini, saya ingin sistem Pendidikan juga tidak seperti sekarang….
Saya ingin pemimpin Indonesia itu kuat, sederhana, visioner, membumi, toleran, tegas, otoriter tidak masalah, asalkan tetap madani. Ya otoriter yang madani, bukan demokrasi yang menghisap, memberi panggung mereka yang punya duit, apalagi menjadi Indonesia menjadi khilafah. Merdeka.
Jayanto Arus Adi
Pemimpin Umum RMOL Jateng, Tenaga Ahli DPR RI, Mahasiswa program Doktor Unnes, Dosen dan Anggota Dewan Pertimbangan.
- Dituduh Gunakan Ijazah Palsu, Jokowi Akan Tempuh Jalur Hukum
- Ijazah Dipertanyakan, TPUA Datangi Kediaman Pribadi Jokowi
- Kunjungi Jokowi di Solo, Mahathir Ingat Soeharto