OJK Dan BI Diminta Perketat Pengawasan

Ekonom Institute for Development of Economics and Fi­nance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara melihat, keputusan Bappebti bisa dipandang dari dua sisi. Di satu sisi, langkah tersebut dinilai positif lantaran akan menambah jumlah investor luar negeri dan domestik yang masuk.


"Hal ini bisa menjadi langkah awal perkembangan cryptocur­rency atau mata uang virtual di Indonesia,"  kata Bhima kepada Rakyat Merdeka.

Menurut Bhima, langkah ini meniru pasar future trading Chicago, Amerika Serikat dan di Jepang. Dengan begitu, Indo­nesia termasuk salah satu negara yang memfasilitasi perdagangan crypto.

Namun, lanjut Bhima, ada hal negatif yang harus diwaspa­dai. Crypto sebagai komoditas cenderung fluktuatif harganya dan sulit diprediksi. Bursa berjangka dengan underlying assetnya crypto, dikhawatirkan bisa sangat bergejolak.

"Sehingga ada risiko ke sistem keuangan nantinya. Yang ke­mudian dikhawatirkan adalah apakah kemudian berdampak pada keuangan dan ekonomi dalam negeri," ujarnya.

Bhima menilai, jika keputusan Bappebti tersebut bisa dilak­sanakan dengan baik, maka akan banyak perusahaan crypto local, seperti bitcoin, yang melakukan ICO (initial coin offering).

Bahkan, bukan tidak mungkin nantinya crypto akan diguna­kan lebih jauh sebagai instru­men transaksi keuangan seperti dalam e-commerce, sistem pembayaran, maupun pinjam meminjam.

Namun Bhima mengingatkan pentingnya peran Bank Indo­nesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam hal pengawasan dan regulasi.

"Jangan sampai ada crypto ilegal atau penipuan investasi atas nama cryptocurrency. Juga harus dipastikan agar transaksi crypto tidak mengandung unsur money laundry, tax evasion atau transaksi kriminal lainnya," tuturnya.

Terpisah, Direktur Riset Cen­ter of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Ab­dullah Redjalam berpendapat, dari sisi komoditas, memang Bappebti bisa saja memberikan izinnya. Namun aturannya harus jelas, legalisasi cryptocurrrency seperti bitcoin hanya terbatas pada komoditas perdagangan, bukan sebagai alat pembayaran atau transaksi.

"Nantinya orang boleh mem­perjualbelikan bitcoin, khusus­nya di bursa komoditas. Dalam konteks ini, saya kira tidak ada dampak signifikan, terhadap mata uang nilai tukar rupiah dan juga sistem pembayaran," tutur Piter kepada Rakyat Merdeka.

Terlebih hingga kini, sam­bung Piter, sikap dan imbauan BI sebagai regulator sistem pembayaran, sudah jelas di mana bitcoin dan sejenisnya bukan alat pembayaran yang diakui di Tanah Air.

"Dan masyarakat tidak boleh menggunakannya di Indonesia. Kita wajib menggunakan ru­piah," katanya.

Dalam kaitannya dengan le­galitas Crypto sebagai komodi­tas perdagangan, Piter bilang, hal itu perlu sekali disosialisasi­kan kepada masyarakat risiko memperjualbelikannya.

"Cari informasi sebanyak-banyaknya sebelum melakukan jual beli. Tujuannya agar tidak mengalami kerugian nantinya. Sebab nanti siapa yang akan bertanggung jawab? Juga mengantisipasi, jangan sampai penjualan Crypto melenceng menjadi alat pembayaran," saran Piter. ***