- Masa Depan Pilot Indonesia: Dari Kokpit Ke Ruang Kendali
- TransJabodetabek Memberikan Kemudahan Mobilisasi Warga Setempat
- Saat Jet Tempur Tak Bisa Terbang Bebas, Paradoks Pertahanan Udara Dan Kedaulatan Di Era Jaringan
Baca Juga
Yogyakarta - Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, wajah politik dan ekonomi Indonesia memasuki fase yang semakin kompleks. Dengan visi pembangunan besar-besaran, termasuk megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN), food estate, eksploitasi sumber daya alam, dan pendekatan yang menekankan stabilitas politik melalui penguatan negara, peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGO (Non-Government Organization) berada di titik kritis.
Mereka menghadapi dilema besar: tetap menjadi penyeimbang antara negara dan pasar, atau malah terkooptasi oleh agenda kekuasaan dan kapitalisme. Dalam konteks ini, kritik tajam James Petras (1997) dalam artikelnya Imperialism and NGOs in Latin America dan refleksi Tania Li (2007) dalam buku The Will to Improve menawarkan perspektif yang kokoh untuk menilai posisi dan tantangan NGO di Indonesia hari ini.
James Petras dalam tulisannya menggambarkan NGO sebagai Kuda Troya yang sering digunakan kekuatan neoliberal untuk melemahkan perlawanan rakyat. Ia menyoroti bagaimana ketergantungan NGO pada pendanaan asing menyebabkan agenda mereka sering kali selaras dengan kepentingan global, alih-alih kebutuhan lokal.
Fenomena ini sangat relevan di Indonesia, di mana banyak NGO, meskipun memiliki niat baik, secara tidak sadar terperangkap dalam sistem yang mendukung narasi pembangunan yang eksploitatif. Dalam proyek-proyek seperti IKN atau eksplorasi tambang di daerah terpencil, NGO sering dilibatkan untuk memberi legitimasi pada kebijakan yang sebenarnya mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat atau kelompok marjinal lainnya. Dengan dalih “pengentasan kemiskinan” atau “sustainability,” mereka menjadi bagian dari mekanisme hegemonik yang mengorbankan keadilan sosial.
Sebaliknya, Tania Li mengungkapkan ironi dari “kehendak untuk memperbaiki." Melalui kritiknya terhadap pendekatan teknokratik dalam pembangunan, ia menunjukkan bagaimana niat memperbaiki masyarakat sering kali gagal memahami kompleksitas lokal.
Di Indonesia, NGO internasional kerap mendikte program-program yang mereka anggap sebagai solusi terbaik, tanpa melibatkan partisipasi substantif dari komunitas yang mereka dampingi. Ketika mereka memasuki wilayah pedesaan atau komunitas adat dengan membawa program modernisasi, mereka sering kali menganggap masyarakat lokal sebagai entitas yang terbelakang dan harus diangkat.
Padahal, dalam banyak kasus, masyarakat ini memiliki sistem pengetahuan yang sudah mapan dan justru lebih berkelanjutan dibandingkan pendekatan modern yang diimpor. Tantangan ini menjadi semakin nyata ketika pemerintah di bawah Prabowo menggencarkan program yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa ruang yang cukup untuk kritik atau penyesuaian berbasis kebutuhan komunitas.
Yang lebih memprihatinkan adalah tabiat dan arogansi NGO dalam kooptasi wilayah pendampingan. Dengan sumber daya yang melimpah dan pendekatan yang sistematis, beberapa NGO sering kali mendominasi ruang-ruang pendampingan yang seharusnya menjadi milik NGO lokal. Keadaan ini tidak hanya merampas peran strategis NGO lokal, tetapi juga menggerogoti kapasitas mereka untuk menjadi aktor yang lebih memahami konteks dan kebutuhan masyarakat secara lebih mendalam. NGO lokal sering kali hanya diposisikan sebagai implementor temporer dari ragam program yang dirancang oleh NGO internasional, tanpa adanya penguatan kemandirian yang berarti. Akibatnya, peran mereka sebagai penghubung antara masyarakat dan perubahan sosial yang berkelanjutan menjadi terpinggirkan.
Komunitas yang seharusnya menjadi sasaran dari pendampingan sering merasa terasingkan dengan metode yang diterapkan oleh NGO internasional, yang seringkali tidak relevan atau tidak sensitif terhadap konteks lokal. Mereka terpaksa mengikuti pendekatan yang sudah distandarisasi, yang mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka. Pada saat yang sama, suara dan inisiatif dari NGO lokal yang memiliki pemahaman lebih mendalam tentang realitas dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat, seringkali tenggelam di tengah gempuran narasi global yang dibawa oleh organisasi-organisasi internasional ini.
Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun NGO internasional mungkin memiliki kapasitas dan sumber daya lebih besar, mereka sering kali gagal dalam memberikan ruang yang cukup bagi NGO lokal untuk berkembang dan memainkan peran yang lebih mandiri dan berkelanjutan dalam perubahan sosial.
Di tengah dinamika politik era Prabowo, tantangan ini semakin berat. Dengan gaya kepemimpinan yang menekankan stabilitas dan efisiensi, pemerintah tidak ragu-ragu memobilisasi kekuasaan negara untuk menekan kritik terhadap proyek-proyek strategis nasional. NGO yang bersikap kritis terhadap kebijakan seperti eksploitasi tambang, pembangunan infrastruktur besar-besaran, atau proyek IKN sering kali dilabeli sebagai penghambat pembangunan atau bahkan ancaman terhadap stabilitas nasional. Situasi ini memaksa NGO untuk memilih: tunduk pada tekanan negara atau mengambil risiko kehilangan ruang untuk bersuara.
Namun, semua tantangan ini bukan berarti NGO kehilangan harapan untuk menjadi kekuatan penyeimbang yang berarti. Seperti yang dikemukakan Petras, kunci keberlanjutan NGO adalah menjaga independensi politik mereka. Mereka harus keluar dari ketergantungan pada pendanaan asing atau korporasi besar dengan mengembangkan model pembiayaan alternatif, seperti crowdfunding berbasis komunitas, kemitraan dengan filantropi lokal, atau bahkan kontribusi berbasis koperasi. Model ini tidak hanya memberikan kemandirian finansial tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap agenda NGO.
Pelajaran penting dari Tania Li adalah pentingnya sensitivitas lokal dalam merancang dan menjalankan program-program. NGO harus berhenti memaksakan solusi generik yang sering kali tidak relevan dan bahkan kontraproduktif. Sebaliknya, mereka perlu membangun dialog yang mendalam dengan masyarakat, memahami kebutuhan spesifik, dan mengutamakan perspektif komunitas dalam setiap tahapan perancangan program. Lebih dari itu, fokus utama seharusnya bukan hanya pada pemberdayaan semu yang terbatas pada pelatihan ekonomi, wirausaha, atau program-program teknis lainnya.
Yang jauh lebih penting adalah pemberkuasaan (empowerment) yang memungkinkan masyarakat memahami situasi mereka secara structural serta mengidentifikasi akar permasalahan yang sering kali bersumber dari ketimpangan kebijakan, sistem ekonomi yang tidak adil, atau eksploitasi sumber daya. Dengan pendekatan ini, masyarakat didorong untuk memperkuat kemampuan mereka dalam melakukan advokasi secara mandiri, menciptakan ruang partisipasi yang lebih besar, dan mengupayakan perubahan kebijakan secara struktural dengan cara-cara mereka sendiri. Dalam hal ini, NGO harus bertransformasi dari sekadar pelaksana proyek menjadi mitra sejati yang mendukung komunitas untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan membangun keberlanjutan sosial yang sesungguhnya.
Langkah strategis lainnya adalah memperkuat aliansi dengan organisasi masyarakat sipil lain, seperti serikat buruh, organisasi adat, dan kelompok lingkungan. Koalisi semacam ini dapat memberikan daya tawar yang lebih besar bagi NGO dalam menghadapi kekuatan negara dan pasar. Selain itu, aliansi ini dapat menjadi wadah untuk berbagi sumber daya dan strategi, sekaligus menciptakan solidaritas dalam menghadapi tantangan yang kompleks.
Dalam kerangka pemerintahan di Indonesia sekarang, NGO juga harus mengambil peran yang lebih proaktif sebagai “penjaga demokrasi.” Ketika negara semakin terpusat dan pasar semakin dominan, NGO memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi suara kritis yang mengingatkan pemerintah tentang pentingnya keadilan sosial, transparansi, dan akuntabilitas. Peran ini tidak selalu mudah, terutama di tengah tekanan politik dan ekonomi, tetapi inilah yang akan menentukan relevansi dan legitimasi NGO di masa depan.
Dengan memadukan independensi politik, pendekatan berbasis komunitas dan pemberkuasaan, dan keberanian untuk bersikap kritis, NGO di Indonesia memiliki peluang untuk tetap menjadi penyeimbang yang kuat. Sebagaimana yang diingatkan oleh Petras dan Li, tantangan terbesar bagi NGO adalah untuk tidak kehilangan esensi perjuangan mereka. Mereka harus menolak menjadi alat kekuasaan, baik negara maupun pasar, dan tetap fokus pada misi utama mereka: memperjuangkan keadilan sosial, memberdayakan masyarakat, dan melindungi kelompok rentan dari eksploitasi.
Di bawah kepemimpinan Prabowo, keberanian untuk bersikap kritis dan berpihak pada masyarakat akar rumput akan menentukan masa depan NGO di Indonesia. Mereka tidak boleh hanya menjadi pelengkap (komplementer) dalam proyek pembangunan, melainkan harus menjadi aktor utama yang memperjuangkan keadilan, keberlanjutan, dan kemandirian komunitas. Inilah saatnya bagi NGO di Indonesia untuk membuktikan bahwa mereka bukan sekadar perpanjangan tangan neoliberal, tetapi kekuatan sejati dalam membangun demokrasi dan keadilan sosial.
Martin Dennise Silaban (Penulis dan Peneliti di SHEEP Indonesia Institute &Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Berbagai tulisannya sudah dimuat di media nasional maupun lokal seperti The Jakarta Post, Tempo, Mongabay, Solopos, SuaraMerdeka, GreenNetwork Asia, Jurnalpost, Tropis.id, Mudabicara.id, rmoljawatengah.id, Kedaulatan Rakyat, dan Floresa.co)
- Wagub Jateng Ingin Ada Tambahan Ekstrakurikuler Keagamaan Di Sekolah
- Tegal Muhammadiyah University Gelar Wisuda I: Mampu Cetak Lulusan Berkualitas
- Gerai Dekranasda Jateng Di Bandara Ahmad Yani Diusulkan Pindah Lokasi