Menerawang Sosok Yang Cocok Jadi Gubernur Jawa Tengah

Agus Widyanto, Wartawan, Peminat Budaya Dan Falsafah Jawa. Istimewa
Agus Widyanto, Wartawan, Peminat Budaya Dan Falsafah Jawa. Istimewa

Orang seperti apa tho yang bisa membawa Jawa Tengah menjadi wilayah provincial yang setara dengan provinsi lain di pulau Jawa?


Pertanyaan ini relevan dikemukakan memasuki proses pemilihan langsung Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah (Jateng) yang menjadi bagian dari Pilkada Serentak 2024. Pertanyaan seperti ini layak dikemukakan karena di Jawa Tengah yang disebut sebagai pusat kebudayaan Jawa yang memiliki banyak kekayaan budaya serta kekayaan alam, masih ada sedikitnya 3.790.000 orang miskin.

Kalau dihitung berdasarkan persentase, populasi orang miskin di Jateng mencapai 10.77% dari jumlah penduduk; sebagai perbandingan orang miskin di Jawa Barat (Jabar) 7.62% dari jumlah penduduk, Jawa Timur (Jatim) 10.35%, Banten 6.17%, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 4.44% dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 11.04%.

Itu adalah posisi perhitungan sampai Maret 2023. Yang perlu dipahami, patokan (agihan) atau enha-entha untuk mengukur garis kemiskinan di masing-masing provinsi juga berbeda. Jateng memakai patokan Rp477.580 per kapita per bulan; Jabar Rp495.229 per kapita per bulan; Jatim Rp507.286/kapita/bulan.

Infrastruktur di provinsi yang ada di bagian tengah pulau Jawa ini juga ironis. Jalur jalan Semarang ke arah timur melalui Demak, Kudus, Pati, Rembang dan lanjut ke Tuban Jawa Timur, sudah sangat ruwet dan tanpa jalur alternatif.

Akses ke Kabupaten Grobogan baik dari Semarang, Solo mau pun Blora seperti pekerjaan rumah yang tak pernah selesai dikerjakan.

Di sisi Selatan, jalur dari Purworejo, Kebumen, Banyumas dan Cilacap juga belum tertata. Posisi yang strategis tidak menjadikan ketersediaan infrastruktur yang memadai di Jawa Tengah, khususnya jalan darat.

Maaf itu sekedar kilasan saja untuk memahami betapa betapa Jawa Tengah sebenarnya tertinggal dibanding provinsi lain di pulau Jawa.  Ketertinggalan yang sulit diterima akal sehat mengingat posisi wilayah, pengaruh kultural, serta potensi yang dimiliki sangat mencukup, setidaknya setara dengan provinsi besar lain di Jawa. Kalaupun masyarakatnya diam saja, tidak bergolak, bukan berarti tidak ada masalah.

Harapan mendapatkan kesejahteraan selalu ada. Keadaan yang disebut murah kang sarwo tinuku, subur kang sarwo tinandur (mampu membeli semua kebutuhan, semua usaha memberi hasil yang baik); kondisi yang Tata Tentrem Kerta Raharja (kawasan yang tertib, damai, dan sejahtera serta berkecukupan dalam segala hal), selalu didambakan.

Kalau pun sampai saat ini situasinya seperti baik-baik saja, aman terkendali, bisa jadi masyarakat Jateng masih dalam proses ngalah, mengalah, menerima keadaan dengan kesadaran. Ngalah dipahami sebagai kawontenan (kalah yang sesunguhnya, kekalahan yang harus diterima karena kondisi diri yang tidak memungkinkan). Sebagian ngalih dengan menjadi pekerja migran di luar Jawa Tengah, dan masih terus berjuang mencari jalan mencapai kesejahteraan fisik dan rohani. Laku diam atau tapa ngrame masih menjadi pilihan, ekspresi ngamuk menjadi pilihan terakhir yang dilakukan kalau semua proses menemui jalan buntu.

Semua itu, tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Perlu ada langkah nyata untuk memperbaiki keadaan. Sebuah proses yang membutuhkan sumber daya yang cukup, baik dana, tenaga, pikiran, juga partisipasi. Sebuah proses pencapaian tujuan yang dalam pemahaman modern diwadahi dalam bentuk pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Dalam konteks Jawa Tengah adalah pemerintahan provinsi yang dipimpin seorang gubernur dibantu seorang wakil gubernur. Jabatan periodik yang akan diisi melalui proses Pilgub Jateng 2024 yang pendaftaran Pasangan Calonnya dibuka 27 Agustus - 29 Agustus 2024, pencoblosannya 27 November 2024 dan rekapitulasi hasil perhitungan suaranya 27 November - 16 Desember 2024.

Yang terpilih dalam Pilgub Jateng 2024 ini akan menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap upaya mensejahterakan warga Jawa Tengah. Karena di tangannyalah anggaran pemerintah provinsi yang di Tahun Anggaran (TA) nilainya mendekati Rp 30 triliun dikelola. Kebijakan politik yang diambilnya, akan berpengaruh terhadap 35.000.000 warga Jateng. Nah, loh.

Melihat permasalahan yang ada di Jawa Tengah, terasa miris jika melihat fenomena munculnya sosok-sosok yang bersiap mengikuti kontestasi Pilgub Jateng 2024 berbekal perintah dari atasan, dorongan dari sekelompok masyarakat. Atau karena merasa memiliki popularitas dan elektabilitas yang cukup. Lebih miris lagi kalau ada yang masuk kontestasi Pilgub Jateng 2024 karena merasa memiliki logistik yang cukup. Weladalah.   

Rasa-rasanya menarik juga kalau pada momentum sekarang kita merenung bersama mengenai pemimpin seperti apa yang cocok dan mampu membawa Jawa Tengah mencapai kemajuan yang signifikan?

Masyarakat Jawa memiliki pemahaman yang terpelihara sampai sekarang tentang tugas utama pemimpin dalam kehidupan di dunia. Tugasnya: Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak). Sebuah definisi tugas jelas dan terang-benderang, dan sudah sangat operasional, bisa langsung diterapkan.

Untuk melakukannya, juga sudah ada panduan yang jelas: Momong, Among, Ngemong, Ngomong. Secara ringkas mungkin formula ini bisa disebut papat (4) Mong atau Pat Mong. Mong yang pertama yakni momong dalam Bahasa Indonesia disetarakan dengan mengasuh, berarti merawat dengan tulus dan penuh kasih sayang serta membiasakan dilakukannya hal-hal yang baik. Sedangkan among berarti melayani sekaligus memberi contoh, edukasi, kepada masyarakat, baik di kala tindakannya terlihat mau pun tidak terlihat.

Ngemong memiliki arti tekun mengamati agar bisa mengarahkan semua potensi yang ada dalam masyarakat supaya mampu berkembang sesuai potensinya dalam segala keadaan. Adapun ngomong adalah kesediaan pemimpin berkomunikasi dengan masyarakat secara intens agar tercapai kesepemahaman bersama tentang apa yang ingin dicapai dan dituju secara bersama-sama.

Cek ombak apakah empat mong yang dilakukan sudah mencapai garis yan diharapkan, lagi-lagi masyarakat Jawa punya ukuran kualitatif yang disebut “manunggaling kawula-Gusti”. Ini bukan tentang spiritual, tapi tentang parameter kualitatif kepemimpinan yang ditafsirkan sebagai tercapainya satu pemahaman antara masyarakat dan pemimpin, yang dalam khazanah modern mungkin setara dengan approval rating atau bisa juga disebut tingkat kepuasan publik.

Itu sekedar uraian sederhana, barangkali bermanfaat, setidaknya sebagai cermin mematut diri bagi mereka yang berniat maju dalam Kontestasi Pilgub Jateng 2024.

Bagi pemegang hak pilih, barangkali uraian ini bisa sebagai pertimbangan untuk memutuskan. Sumonggo.

Tulisan merupakan opini pribadi, tidak merepresentasikan atau mewakili organisasi/institusi/lembaga RMOLJawaTengah dan afiliasinya.