Perbankan diperkirakan belum bisa lepas dari ancaman
pengetatan likuiditas. Jika bank tak cakap mengantisipasi risiko,
ancaman akan jadi kenyataan.
Peneliti Ekonom Senior Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi menilai, ancaman pengetatan likuiditas global memang harus menjadi pertimbangan tersendiri bagi InÂdonesia, termasuk perbankan.
"Situasi sekarang ini adalah situasi di mana kita perlu memberi ruang untuk pemilik dana, supaya tertarik masuk ke dalam negeri," kata Eric kepada Rakyat Merdeka.
Eric mengaplaus Bank InÂdonesia (BI) yang telah meÂnyediakan instrumen investasi lebih banyak, di mana, kebijakan tersebut menjadi alternatif untuk bisa menarik dana asing. BeÂlum lama ini BI mengaktifkan kembali Sertifikat BI (SBI) demi memperdalam pasar keuangan dan menambah likuiditas.
Namun hal tersebut belum cuÂkup. Eric melihat BI harus terus menembakkan amunisi untuk menderaskan aliran kredit bank baru. "Pelonggaran likuiditas dengan mengocok ulang aturan giro wajib minimum (GWM), bisa menjadi alternatif baru bagi perbankan," tuturnya.
Pejabat Eksekutif bidang Retail Banking PT Bank Mandiri (PerÂsero) Tbk Donsuwan Simatupang berpendapat, secara langsung dampak pengetatan likuiditas global ke Mandiri tidaklah begitu besar. Saat ini, perseroan punya banyak ruang likuiditas untuk melakukan ekspansi kredit.
"Tetap kami fokus salurkan kredit. Tahun ini, Mandiri memÂproyeksikan kredit tumbuh 11- 13 persen," ucap Donsuwan saat ditemui Rakyat Merdeka.
Untuk menambah likuidiÂtas, kata Donsuwan, pihaknya menyambut baik implemenÂtasi GWM rata-rata (averaging) yang sudah diterapkan sejak Juli 2017, yang kemudian BI merombak aturan GMW menÂjadi 2 persen. "Tentunya, bank mendapatkan angin segar dari aturan ini," katanya.
Sementara, Presiden Direktur PT Bank Mayapada Haryono Tjahjarijadi mengatakan, risiko likuiditas akan terjadi jika bank tidak pandai mengelola dana pihak ketiga (DPK). Risiko liÂkuiditas tergantung pada perÂtumbuhan dana, dan disesuaikan dengan kebutuhan profitabilitas.
"Hingga Juni 2018, posisi LDR (loan to deposit ratio) perÂseroan berada di level 90 persen. Posisi ini praktis tak bergerak dari capaian pada semester I-2017 silam. Hal ini utamanya dikarenakan pertumbuhan DPK yang lebih lambat dari pertumÂbuhan kredit," ucap Haryono kepada Rakyat Merdeka.
Haryono bilang, DPK Bank Mayapada tumbuh hampir 9 persÂen, namun menurutnya, angka tersebut gambaran likuiditas saat ini masih normal saja. "Sampai akhir tahun LDR akan dijaga di atas 90 persen," tuturnya.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah menÂgatakan, risiko perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China efeknya tak hanya ke sektor makro ekonomi seperti nilai tukar dan neraca perdaÂgangan, namun mempengaruhi perbankan Indonesia.
"Salah satu efek perang daÂgang adalah terkait likuiditas perbankan. Jangan melihat efek perang dagang ini ke satu sisi, namun melihatnya harus secara keseluruhannya," kata Halim.
Risiko likuiditas ini karena larÂinya beberapa investor asing yang selama ini memegang surat utang Indonesia kemudian berbalik ke AS. Hal ini karena investor meÂmandang ekonomi Amerika sudah mulai tumbuh, meski dengan cara seperti perang dagang.
LPS mencatat dana asing keÂluar AS sepanjang Januari-Juni 2018 sebesar Rp 150 triliunn.
Di perbankan, sambung Halim, risiko likuiditas terjadi di bank menengah. Keterbatasan likuidiÂtas yang tidak dapat menampung permintaan kredit menjadi peÂnyebab terjadinya pengetatan likuiditas di bank BUKU III.
Hal itu tercermin dari rasio pinjaman terhadap simpanan atau (LDR) bank BUKU III mencapai 102,13 persen per Mei 2018. Lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata rasio LDR 91,43 persen di bulan yang sama.
"Terjadi risiko likuiditas di perbankan dalam beberapa bulan terakhir. Risiko likuiditas bank meningkat tipis," ujarnya.
Selain LDR, ada indikator lain yang mencerminkan pengetatan likuiditas di perbankan. Salah satunya, suku bunga antar bank atau JIBOR. Tercatat, JIBOR 6 bulan mengalami kenaikan 45 bps-98 bps. Sedangkan, JIBOR 12 bulan naik 81 bps-99 bps.
LPS memproyeksikan, perÂbankan masih akan menghadapi risiko likuiditas pada paruh kedua. Apalagi, perang dagang antara AS dan China masih berÂlanjut.