Laron, Teater Lingkar Sentil Kehidupan Beragama yang Lebih Mementingkan Pencitraan

Pertunjukkan teater lingkar berjudul Laron yang menyentil pencitraan dalam kehidupan beragama
Pertunjukkan teater lingkar berjudul Laron yang menyentil pencitraan dalam kehidupan beragama

Ponpes Az-Zuhri Semarang menjadi saksi pagelaran yang penuh makna dan sentilan tajam terhadap kehidupan beragama di kalangan masyarakat yang terkadang hanya mementingkan pencitraan.


“Sekarang ini banyak yang mengaku ustadz atau kyai, pemuka agama hanya bermodalkan kostum saja,” ungkap Ario Bimo Gesit, Humas Teater Lingkar, Jumat (5/7). 

Belum lama ini, Teater Lingkar menghadirkan pagelaran berjudul "Laron" di Ponpes Az-Zuhri Semarang. Pagelaran yang disutradarai oleh Maston ini ingin ‘menghidupkan’ kenangan terhadap naskah Prie GS. Cerita dalam "Laron" dikisahkan melalui lakon seorang santri yang dijuluki "Laron Sepuh." 

Laron Sepuh digambarkan sebagai sosok yang gila harta dan takut mati. Selama hidupnya, ia hanya memupuk harta duniawi, melupakan esensi sebenarnya dari kehidupan beragama.

Di sisi lain, santri-santri lain seperti Laron Isron merasa bingung melihat perilaku Laron Sepuh. Mereka bertanya-tanya kepada sesepuh bagaimana menyikapi fenomena ini dengan bijaksana. 

Sesepuh pun menjelaskan bahwa sebagai laron, tidak perlu bingung menentukan arah ‘terbang’ karena penerbangan paling indah adalah menuju cahaya. Di tempat baru tersebut, seluruh sayap akan rontok dan fana.

Cerita dalam "Laron" memberikan sentilan tajam terhadap kehidupan religi manusia yang hanya mengandalkan kemasan baik saja. Para laron dalam cerita tersentak kaget karena selama ini salah terbang menuju banyak cahaya. 

Padahal hanya ada satu cahaya yang benar. Kisah ini mengingatkan kita bahwa kehidupan religi tidak boleh hanya sekadar pencitraan.

Pagelaran ini diharapkan dapat menjadi pengingat bagi pemeluk agama agar tidak terkecoh dengan tampilan luar, tapi justru lebih fokus pada isi dan makna dari ajaran agama itu sendiri. 

“Banyak kyai-kyai ‘ndesa’ lebih hebat tapi beliau tidak muncul di sosmed,” lanjut Ario Bimo Sigit. 

Pernyataan ini menegaskan bahwa masih banyak tokoh agama yang sebenarnya memiliki pengetahuan dan pengaruh besar, namun tidak terlihat karena mereka tidak menonjolkan diri di media sosial.

Teater Lingkar melalui pagelaran "Laron" berhasil mengemas kritik sosial dalam bentuk seni teater yang sarat makna. Kritik terhadap fenomena pencitraan dalam kehidupan beragama disampaikan dengan apik dan penuh nuansa. Masyarakat diharapkan dapat merenungkan kembali esensi dari kehidupan beragama yang sebenarnya.