Kuasa Hukum Kepala Suku di Papua Bongkar Fakta Konflik Libatkan Bos BLN Salatiga

Petrus Wekan. Erna Yunus B/RMOLJateng
Petrus Wekan. Erna Yunus B/RMOLJateng

Petrus Wekan, Pengacara yang ditunjuk pertama kali oleh pemilik lahan sekaligus Kepala Suku di kampung Sawe Suma Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua Yohan Jasa, membongkar fakta konflik kasus bermula dari proyek tambang emas rakyat itu.


Kepada wartawan di Laras Asri Resort and Spa, Salatiga, Petrus Wekan yang dihadiri tim bos tambang emas sekaligus owner Koperasi Bahana Lintas Nusantara (BLN) di Salatiga, Nicholas Nyoto Prasetyo atau Nico membuka pandora hingga muncul tuntutan Rp 20 miliar. 

Menurut Petrus, lahan yang telah diratakan oleh alat berat di Papua bukanlah tanah adat.

"Lahan tambang emas menjadi obyek  sengketa di Papua yang dituding telah dirusak dengan kegiatan pertambangan bukanlah hutan adat melainkan sebuah dusun (pekarangan desa) saja. Kalau yanah adat tidak bisa dieksplorasi karena memiliki nilai sakral yang tinggi," kata Petrus.

Ia mendengar jika muncul kabar kemudian tiba-tiba ada pengalihan isu hutan adat sehingga ada upaya penggiringan opini kepada masyarakat.

Kalau pun pihak pemilik lahan menyebutkan tanah yang disengketakan itu merupakan lahan adat, harusnya tidak semudah itu 'dilepas' hingga dilaksanakan pembongkaran.

Petrus Wekan mengaku ia datang ke Salatiga untuk menjernihkan duduk persoalannya. Karena menurut dia, persoalan ini sebenarnya hanya masalah miss komunikasi terkait permintaan sejumlah uang yang tidak tertuang dalam kerjasama. 

Melihat kondisi di Salatiga kian kisruh ia pun siap memberikan keterangan kepada pihak Kepolisian jika memang dibutuhkan agar perkara ini menjadi terang benderang.

Patrus bahkan mengklaim, ia masih menjadi kuasa hukum pemilik lahan sampai detik ini. Pasalnya, pemutusan kontrak tidak pernah terjadi bahkan, selembar surat pun tidak ia terima.

Hanya saja ia mengetahui jika anak dari Yohan Jasa yakni Barnabas Jasa alias Abas membawa surat pencabutan kuasa yang notabene pencabutan itu terjadi pada 13 Mei 2024.

"Anak pemilik lahan si Abas membawa surat pencabutan kuasa pada 13 Mei 20240, waktu yang sama saya masih bersama-sama dengan Abas, Martin di Hotel Horison Papua. Jadi saya yakin surat kuasa ini adalah rekayasa," akunya.

Petrus menyatakan bahwa persoalan konflik Niko dengan kelompok Papua hingga menuntut Niko selaku pemodal dianggapnya salah alamat.