Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang sengketa Pilkada Papua 2018, Selasa (31/7). Sidang beragendakan mendengar jawaban KPU Papua, Bawaslu Papua dan pihak terkait yaitu paslon nomor urut 1, Lukas Enembe-Klemen Tinal.
- PKL di Blora Tuntut Bisa Berjualan di Malam Pergantian Tahun
- Klarifikasi, Direksi RSU Permata Blora Beberkan Penyebab Tarif PCR Ditempatnya Sentuh Rp 645 Ribu
- Penyuntikan Vaksin Dosis 2 oleh DPC Petanesia Blora di Ledok, Warga: Ini Sangat Membantu
Baca Juga
Pada sidang perdana pada 26 Juli 2018, majelis hakim MK sudah mengingatkan agar KPU Papua, Bawaslu Papua dan Lukas Enembe-Klemen Tinal menjawab poin-poin sesuai dengan dalil permohonan pemohon. Pemohon dalam kasus ini adalah paslon nomor urut 2, Wempi Wetipo-Habel M. Suwae.
"Ternyata termohon, Bawaslu dan pihak terkait sebagaimana jawaban yang dibacakan di persidangan, mereka hanya membuat jawaban secara normatif dengan tidak menanggapi secara langsung 13 kabupaten yang dipersoalkan sebagaimana permohonan pemohon," kata pengacara pemohon, Saleh usai sidang di MK, seperti dalam keterangannya.
Keanehan itu berlanjut, pihak Lukas Enembe-Klemen Tinal hanya membuktikan secara sampling di 10 TPS di salah satu kabupaten (padahal pihak terkait bukan lembaga survei) dengan mengklaim mengaku semua C-1 KWK ada namun tidak mau membuktikan di MK.
"Ini membuktikan bahwa memang benar di 13 kabupaten yang didalilkan oleh pemohon tidak ada pencoblosan di 13 kabupaten dan pihak terkait tidak mempunyai C-1 KWK di 13 kabupaten," tegas Saleh.
Lebih jauh Saleh menjelaskan, dari KPU sendiri, dari cara menjawab juga sangat normatif dan cara menyusun bukti saja sangat belepotan membuat pemohon kaget. Dalam waktu enam hari tidak mampu menghadirkan bukti-bukti secara maksimal, hingga akhirnya diingatkan oleh majelis hakim.
"Ini membuktikan bahwa KPU Papua tidak siap menghadapi permohonan pemohon yang mampu membuktikan 136 bukti yang telah diserahkan ke MK," katanya.
Selain itu, jelas Saleh, ada ketidaksingkronan antara KPU yang menyatakan sistem noken terjadi di 14 kabupaten namun menurut Bawaslu ada 16 kabupaten padahal sama-sama penyelenggara pemilihan. Atas ketidakmampuan menjawab permohonan pemohon, maka termohon dan pihak terkait hanya mengalihkan ke ambang batas, padahal ini terkait dengan kejahatan demokrasi di Papua yang tidak terjadi pelaksanaan pilkada di 13 kabupaten.
Yang lebih disayangkan lagi adalah jawaban Bawaslu selain normatif juga mengatakan tidak adanya laporan pelanggaran.
"Padahal pemohon telah membuktikan banyaknya laporan yang dibuat oleh tim pemohon yang sidah dijadikan bukti di MK namun tidak ditindaklajuti oleh Bawawaslu. Sebagai lembaga yang mendapatkan anggaran kurang lebih Rp 270 miliar, apa saja kerja Bawaslu sampai tidak tau adanya 13 kabupaten yang tidak melaksanakan pemilihan," tutup Saleh.
- Temui Jokowi di Solo, Kang Emil Cari Restu?
- PKL di Blora Tuntut Bisa Berjualan di Malam Pergantian Tahun
- Klarifikasi, Direksi RSU Permata Blora Beberkan Penyebab Tarif PCR Ditempatnya Sentuh Rp 645 Ribu