KPK: Kabotan Jeneng atau Kabotan Sungu?

Agus Widyanto
Agus Widyanto

KORUPSI tetap merajalela, meski sudah sudah ada Lembaga yang kita andalkan bersama untuk menanganinya. Namanya KPK, kependekan dari Komisi Pemberantasan Korupsi; lembaga “super body” yang di dalamnya minimal telah terdapat tiga kekuatan organik penegakan dan pengendalian: fungsi kepolisian, fungsi kejaksaan dan fungsi kehakiman.


Dalam diri KPK pun ada Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring, struktur yang setara dengan dengan tugas penindakan dan eksekusi yang juga berbentuk stau deputi, serta Deputi Bidang Informasi dan Data yang seharusnya membuat lembaga ini bisa digdaya, sakti, tidak terkalahkan dalam menghadapi tindak korupsi dan mencegah terjadinya korupsi di Indonesia.

Namun kenyataannya, korupsi masih merajalela, kalangan pegiat anti-korupsi menyebut Indonesia terus mengalami tantangan serius dalam melawan korupsi.

Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI)-nya masih berada di angka rendah. Mislaanya, di tahun 2023 berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei.

Perdebatan dan sikap saling mempersalahkan tentang penanganan korupsi sebenarnya sudah menjadi isu dan tontonan yang membosankan. Masyarakat bahkan sering masygul, kesal, sebal, jika ada penindakan korupsi dilakukan pada momentum yang tidak pas, atau pada sosok-sosok yang sedang bersuara lantang.

Publik seperti tergiring opini yang menduga terjadi kriminilalisasi dalam penanganan korupsi oleh lembaga anti rasuah yang kita andalkan bersama.

Munculnya pola penindakan yang terjadi menjelang kontestasi politik seperti Pilpres dan Pileg serta Pilkada, menjadi salah satu yang membuat kita semua merasa masygul.

Rasanya, kita semua perlu merenungkan ulang, mencari upaya agar KPK bisa menjalankan amanat sesuai yang diharapkan kita semua.

Hal yang paling mendasar adalah merenungkan lagi: Benarkah korupsi bisa diberantas?.

Korupsi adalah bentuk kejahatan yang esensinya sama dengan kejahatan lain seperti mencuri, menipu, menganiaya; bahkan bisa jadi sama dengan perbuatan lain yang masuk dalam kategori tindak pidana dalam hukum kita seperti berjudi, berzinah, dan pengunaan narkotika serta obat-obatan terlarang.

Rasanya sampai hari ini kita tidak pernah melihat ada cerita sukses yang bisa memberantas sampai ke akar-akarnya aneka tindak kejahatan.

Jagat pertanian yang di tahun 60-an getol mengelorakan pemberantasan hama terpadu, setelah muncul kesadaran bahwa hama tidak bisa diberantas, memilih pendekatan yang lebih masuk akal dengan memakai konsepsi “Pengendalian Hama Terpadu”.

Untuk menjaga produktivitas pertanian pilihannya dilakukan dengan pendekatan yang mengintegrasikan berbagai jenis metode untuk menekan populasi hama hingga akibat kerusakannya di bawah tingkat kerusakan ekonomis.

Secara bergurau perubahan penamaan metode dalam perspektif Jawa terjadi karena nama yang dipakai tidak sesuai dengan konteksnya.

Istilahnya “Kabotan Jeneng”, menyandang nama atau predikat yang terlalu berat sehingga orang atau organisasi ataupun program menjadi sakit-sakitan, bahkan bikin repot pemilik nama dan lingkungannya.

Rasanya KPK juga “kabotan jeneng” karena memakai “Pemberantasan”. Akan lebih masuk akal kalau “Pemberantasan” dalam nama KPK diubah menjadi “Pengendalian”. Sehingga nama barunya “Komisi Pengendalian Korupsi”.

Mungkin saja usulan ini diangap aneh dan lucu, tapi setidaknya bisa menjadi setitik oase di tengah kegelisahan kita semua tentang korupsi yang maish mendera bangsa yang sudah Merdeka selama 79 tahun.

Dengan memakai terminologi “Pengendalian”, ekspektasi atau harapan kepada KPK menjadi lebih rasional. Apalagi sekarang ini staf KPK sudah menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara).

Soal apa yang harus dilakukan dalam pengendalian, dan apa ukuran keberhasilan (goalnya), biarlah para pemimpin negeri dan para wakil rakyat serta para cerdik-pandai yang menggodoknya.

Sebagai rakyat, kita hanya bisa menyuarakan, dan berteriak saja Ketika apa yang disajikan ke publik mengingkari hati nurani kita.

Di samping “Kabotan Jeneng” KPK sepertinya juga “Kabotan Sungu”. Seperti kerbau keberatan tanduk karena organisasinya sudah terlalu gemuk, dan urusannya terlalu banyak.

Sebagai supervisor penanganan korupsi, KPK justru sering bersaing dengan Kejaksaan dan Kepolisian dalam penanganan kasus korupsi.

Sepertinya tidak ada batasan tegas, tindak korupsi seperti apa yang ditangani KPK, mana yang perlu ditangani Kejaksaan dan mana yang menjadi domain Polri.

“Kabotan Sungu” adalah saloka (kiasan, pengandaian) yang arti harfiahnya secara dangkal bermakna orang tua yang mengalami kesulitan karena terlalu banyak anak.

Namun dalam artian yang lebih dalam, peribahasa ini bisa dimaknai sebagai institusi yang tidak mampu mencukupi kebutuhan para personelnya karena jumlahnya terlalu banyak. Kebutuhan di sini tidak selalu berupa materi, “need of achievement” juga termasuk di dalamnya.

Untuk itulah, di disela-sela merayakan HUT Kemerdekaan Ke-79 Republik Indonesia, perlu direnungkan ide yang lebih relevan untuk KPK.

Mungkin ada hasil pemikiran atau renungan yang bernas yang timbul saat malam tirakatan HUT Kemerdekaan ke-79 yang bisa disumbangkan bagi perbaikan Lembaga anti-korupsi yang berkantor pusat di Gedung Merah Putih Jakarta. Merdeka!.