- Alhamdulillah, Berakhir Sudah Kekuasaan Ninik Rahayu Sebagai Ketua Dewan Pers!
- Benahi Tata Kelola Kawasan Pelabuhan Tanjung Priok
- Masa Depan Pilot Indonesia: Dari Kokpit Ke Ruang Kendali
Baca Juga
Pemerintahan Prabowo berencana membuka Koperasi Merah Putih di hampir 70.000 desa di Indonesia. Ini merupakan langkah besar untuk mendorong pemberdayaan ekonomi di tingkat akar rumput, mengingat potensi besar yang dimiliki sektor koperasi untuk merangsang pembangunan ekonomi desa.
Namun, langkah ini perlu dilihat lebih jauh, terutama mengingat bahwa beberapa tahun yang lalu, pemerintah melalui Peraturan Menteri Koperasi (Permenkop) Nomor 8 Tahun 2021, menginisiasi konsep Koperasi Multipihak (KMP). KMP berupaya untuk menghubungkan berbagai pihak dalam rantai pasar dari mulai produsen hingga konsumen, dari hulu hingga hilir. Tujuan utamanya mirip dengan startup yang mulai menjamur di Indonesia. Namun, karena ringkihnya ekosistem start-up maka koperasi multipihak dianggap dapat lebih menjadi pilihan.
Meskipun Koperasi Multipihak memiliki potensi besar, konsep ini belum sepenuhnya terealisasi. Kini, muncul kebijakan lainnya tentang koperasi merah putih yang diinisiasi oleh pemerintah, dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan ekonomi berbasis koperasi di desa-desa Indonesia.
Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah apakah koperasi yang diprakarsai oleh pemerintah ini benar-benar dapat menjadi pionir kemajuan pembangunan di desa, atau justru akan terjebak dalam agenda politik semata dan menjadi ajang bancakan yang tidak memberi dampak signifikan bagi masyarakat luas?
Membedah Pengalaman Koperasi Di Korea Selatan Dan Jepang
Melihat pengalaman sukses dari negara-negara yang telah mengembangkan koperasi dengan baik, seperti Korea Selatan dan Jepang, dapat memberikan wawasan penting dalam perencanaan koperasi di Indonesia. Koperasi di kedua negara ini tidak hanya berkembang pesat, tetapi juga mampu memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat.
Korea Selatan telah berkembang menjadi negara demokratis yang berhasil mengembangkan koperasi secara signifikan. Gerakan perkoperasian di negara ini dimulai pada tahun 1907 dengan didirikannya koperasi kredit oleh petani, yang bertujuan memberikan pendanaan berupa pinjaman kepada para petani. Koperasi ini muncul sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan akses petani terhadap pembiayaan. Seiring dengan kemerdekaan Korea Selatan, koperasi yang berawal dari sektor pertanian ini kemudian berintegrasi dengan sektor perbankan dan berkembang menjadi wadah bagi koperasi-koperasi lainnya.
Pada awalnya, peran negara dalam pengembangan koperasi sangat besar, dengan intervensi yang kuat dalam proses pembentukannya. Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintah Korea Selatan mulai memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola koperasi-koperasi tersebut. Negara kemudian menyediakan regulasi yang dapat memperkuat eksistensi koperasi dan mendukung pengembangannya.
Koperasi yang dikenal dengan nama Nong-Hyup atau National Agricultural Cooperative Federation ini mengalami perkembangan pesat, berkat adanya intervensi negara yang tepat dan peran aktif masyarakat dalam mengelola koperasi.
Namun, perkembangan pesat ini juga didorong oleh faktor eksternal, yakni pada tahun 1970, pemerintah Korea Selatan meluncurkan Gerakan Saemaul Undong. Secara harfiah, sae berarti baru, maul berarti desa atau komunitas, dan undong berarti gerakan. Gerakan ini dilatarbelakangi oleh tingginya kesenjangan antara desa dan kota, yang menyebabkan kemiskinan meluas di pedesaan. Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi kesenjangan antara desa dan kota melalui pemerataan hasil ekonomi, dengan mendorong pembangunan yang dimulai dari bawah dan mengedepankan semangat keswadayaan serta kebersamaan.
Koperasi Nong-Hyup memainkan peran penting dalam mendukung gerakan Saemaul Undong ini. Koperasi ini mencakup berbagai aspek dalam rantai pasokan pertanian, mulai dari penyediaan pupuk hingga pemasaran dan penjualan hasil pertanian. Dalam sistem ini, produsen (petani) langsung berhadapan dengan konsumen, mengurangi peran pihak ketiga yang seringkali memperburuk ketidakadilan dalam harga. Hasil pertanian yang diperoleh dari para petani kemudian dijual langsung ke pasar, yang memungkinkan koperasi untuk memberikan harga yang lebih adil baik bagi produsen maupun konsumen.
Hingga saat ini, Koperasi Nong-Hyup telah berkembang menjadi wadah bagi lebih dari 1.000 koperasi lainnya dan memberikan dampak positif kepada sekitar 2 hingga 3 juta petani di Korea Selatan. Koperasi ini tidak hanya membantu memperbaiki kehidupan ekonomi petani, tetapi juga memainkan peran penting dalam membangun ketahanan ekonomi di pedesaan serta mendukung pemerataan ekonomi di seluruh negara.
Di sisi lain, praktik koperasi pertanian di Jepang, khususnya koperasi Zen-Noh, menunjukkan kesamaan prinsip dengan koperasi di Korea Selatan dalam hal peranannya dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat. Dalam karya Akio Morita yang berjudul Made in Japan (1987), Jepang digambarkan sebagai negara dengan sistem ekonomi yang berorientasi pada prinsip sosialisme dan egalitarian, di mana kesejahteraan rakyat menjadi tujuan utama. Pendirian koperasi Zen-Noh pun tidak terlepas dari nilai-nilai ini, yang mengedepankan pemerataan hasil ekonomi melalui solidaritas sosial.
Koperasi Zen-Noh didirikan pada tahun 1971, pada waktu yang hampir bersamaan dengan perkembangan koperasi di Korea Selatan. Sejak awal, koperasi ini berfokus pada sektor pertanian dan telah berkembang menjadi pusat dari koperasi pertanian di Jepang. Sebagai koperasi yang berbasis pada sektor pertanian, Zen-Noh tidak hanya berperan dalam memasarkan hasil pertanian, tetapi juga turut mengelola seluruh aspek dari produksi hingga distribusi. Dalam model ini, para petani yang menjadi anggota koperasi memiliki peran sentral dalam proses pengambilan keputusan serta dalam pengelolaan sumber daya yang ada.
Keberhasilan koperasi Zen-Noh dapat dilihat dari tingginya tingkat swadaya yang berkembang di kalangan petani Jepang. Swadaya ini merupakan salah satu kunci penting dalam kelangsungan dan kesuksesan koperasi. Para petani tidak hanya bergantung pada dukungan dari luar, tetapi juga berkontribusi langsung dalam proses-proses yang ada dalam koperasi. Hal ini mendorong terbentuknya solidaritas yang tinggi antar petani dan menciptakan rasa tanggung jawab bersama dalam mengelola koperasi.
Seiring berjalannya waktu, koperasi Zen-Noh terus berkembang, mengelola lebih dari 900 koperasi di bawah naungannya. Saat ini, Zen-Noh juga memiliki tujuh unit bisnis yang menyebar di sepuluh negara. Sama halnya dengan koperasi di Korea Selatan, Zen-Noh berhasil menghubungkan antara produsen (petani) dan konsumen, mengurangi peran perantara yang seringkali merugikan kedua belah pihak. Dengan demikian, harga jual produk menjadi lebih adil, dan kesejahteraan petani meningkat secara signifikan. Kehadiran koperasi ini juga meningkatkan daya tawar petani terhadap kebijakan yang terkait dengan sektor pertanian, sehingga mereka dapat lebih aktif dalam menentukan arah pembangunan ekonomi di sektor mereka.
Faktor Eksternal Keberhasilan Koperasi
Dalam praktik perkooperasian yang diterapkan di Jepang dan Korea Selatan, keberhasilannya tidak dapat dipandang hanya dari faktor internal koperasi itu sendiri. Faktor eksternal, terutama dalam hal kondisi demokrasi politik dan sistem hukum, juga memainkan peran yang sangat penting dalam mendukung perkembangan koperasi. Seperti yang telah terlihat di kedua negara ini, ekonomi kerakyatan yang terwujud melalui koperasi tidak dapat dipisahkan dari kondisi politik yang sehat dan demokratis. Demokrasi ekonomi hanya akan berkembang dengan baik jika didukung oleh kondisi demokrasi politik yang berfungsi dengan efektif.
Di Korea Selatan dan Jepang, sistem demokrasi politik yang sehat dan berjalan dengan baik menjadi pendorong utama bagi terciptanya ekonomi kerakyatan yang tangguh. Pemerintah di kedua negara tersebut memberikan dukungan regulasi yang jelas dan menciptakan iklim yang mendukung partisipasi aktif masyarakat dalam perekonomian melalui koperasi. Keberadaan koperasi tidak hanya sebagai alat untuk memperbaiki perekonomian, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dengan memberi kesempatan bagi masyarakat untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan ekonomi.
Pentingnya sistem demokrasi yang sehat tercermin dalam cara lembaga-lembaga sosial dan ekonomi di Korea Selatan dan Jepang beroperasi secara transparan dan akuntabel. Pemerintah di kedua negara memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan koperasi dan ekonomi secara umum. Praktik demokrasi yang berlangsung di semua tingkat masyarakat ini memastikan bahwa kepentingan rakyat dapat diakomodasi dengan baik, dan koperasi dapat tumbuh dengan prinsip yang adil serta berkelanjutan.
Sebaliknya, di Indonesia, perkembangan koperasi sering kali terhambat oleh kondisi sosial-politik yang tidak mendukung. Demokrasi yang masih belum sepenuhnya merata di setiap lapisan masyarakat, ditambah dengan dominasi hubungan patron-klien dan praktik klientalisme, menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi tumbuhnya koperasi yang benar-benar mandiri dan berdaya.
Praktik-praktik ini justru memperkuat ketergantungan masyarakat pada orang maupun kelompok tertentu yang mampu mengontrol atau memanfaatkan koperasi demi kepentingan pribadi atau kelompok, bukan untuk pemberdayaan ekonomi yang lebih luas. Dalam banyak kasus, koperasi di desa-desa di Indonesia malah dikooptasi oleh elit lokal yang menjadikannya alat untuk memperkuat kekuasaan dan memaksimalkan keuntungan mereka sendiri. Fenomena ini saya sebut sebagai sebutan cooperative cooptation atau koperasi yang terkooptasi. Tanpa adanya fondasi demokrasi yang kokoh di seluruh lapisan masyarakat, koperasi yang digagas oleh pemerintah atau pihak lainnya akan sulit berkembang secara optimal, dan akhirnya, peranannya dalam perekonomian negara pun terhambat. Koperasi pun terjebak dalam cengkraman kepentingan pribadi, seperti lintah darat yang menghisap habis potensi yang ada.
Lebih lanjut, Korea Selatan dan Jepang juga memiliki sistem hukum yang jelas dan kuat, yang berfungsi untuk memastikan bahwa koperasi dapat beroperasi secara transparan dan adil. Dalam kedua negara ini, penegakan hukum yang tegas memastikan bahwa koperasi tidak disalahgunakan untuk kepentingan kelompok atau individu tertentu. Tanpa adanya sistem hukum yang kuat dan penegakan yang konsisten, koperasi berisiko jatuh ke dalam praktik korupsi atau manipulasi yang merugikan anggotanya. Oleh karena itu, faktor sosial dan politik, khususnya keberadaan sistem hukum yang kuat, memainkan peran penting dalam kesuksesan koperasi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ekonomi kerakyatan, seperti yang diterapkan dalam bentuk koperasi, tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan dari berbagai aspek, termasuk demokrasi politik, sistem hukum yang kuat, dan partisipasi aktif masyarakat. Keberhasilan koperasi di Korea Selatan dan Jepang menunjukkan bahwa koperasi dapat berkembang pesat apabila didukung oleh ekosistem yang mendukung baik dari sisi politik, sosial, maupun hukum. Melihat contoh dari kedua negara tersebut, Indonesia harus memperhatikan beberapa hal penting jika ingin mengembangkan koperasi yang efektif dan berkelanjutan
Menakar Keberhasilan Koperasi Merah Putih Di Indonesia: Tantangan Dan Peluang
Koperasi Merah Putih yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia untuk dibuka di hampir 70.000 desa memang memiliki potensi besar. Namun, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum menjalankan kebijakan ini secara efektif. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa koperasi ini tidak hanya menjadi proyek ambisius nan top-down yang tidak melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses pengelolaannya. Koperasi yang sukses di Korea Selatan dan Jepang adalah koperasi yang dikelola dengan prinsip keswadayaan tinggi dan kolaborasi antar anggota. Jika koperasi Merah Putih hanya dikelola secara sentralistik tanpa melibatkan partisipasi aktif masyarakat, maka keberhasilannya akan terancam.
Selain itu, partisipasi masyarakat hanya akan terwujud jika kerja-kerja kolektif (collective action) dapat digerakkan kembali. Kerja kolektif dipahami sebagai tindakan terkoordinasi yang melibatkan sekelompok orang dengan kepentingan dan tujuan bersama, yang umumnya dilakukan secara sukarela (Sirimorok, 2018). Sayangnya, di banyak desa di Indonesia, semangat kerja kolektif ini semakin memudar. Di banyak wilayah, kerja kolektif nyaris tak tampak, terutama dalam jangka panjang, baik di bidang politik maupun ekonomi. Dalam konteks ekonomi, kelompok-kelompok masyarakat di desa lebih cenderung aktif ketika menerima bantuan barang atau dana, baik dari dana desa maupun dari luar. Keberhasilan koperasi, misalnya, hanya akan terwujud jika collective action ini dapat dipulihkan. Untuk itu, dibutuhkan kerja-kerja pengorganisasian yang lebih mendalam, bukan sekadar pendampingan teknis atau bimbingan yang bersifat instruksional seperti yang biasa dilakukan. Pemulihan semangat kolektif ini hanya bisa tercapai jika ada upaya yang sistematis dan berkelanjutan dalam menggerakkan kesadaran bersama, menggugah partisipasi aktif, dan membangun solidaritas yang kuat di tingkat komunitas.
Ketiga, pemerintah harus menyiapkan regulasi yang kuat dan membangun gerakan budaya berkoperasi yang dapat mendukung keberlanjutan koperasi di Indonesia. Salah satu faktor utama keberhasilan koperasi di negara-negara lain adalah adanya dukungan regulasi yang jelas dan memadai, yang memungkinkan koperasi berkembang tanpa hambatan administratif. Di Indonesia, meskipun telah ada Peraturan Menteri Koperasi (Permenkop) Nomor 8 Tahun 2021 yang bertujuan untuk modernisasi koperasi, implementasinya masih menghadapi banyak tantangan. Jika pemerintah serius ingin koperasi Merah Putih berkembang secara berkelanjutan, maka harus ada upaya untuk memperkuat regulasi dan sistem hukum yang mengatur koperasi secara komprehensif. Namun, tak hanya cukup dengan aturan formal, yang lebih penting adalah membangun gerakan yang menjadikan budaya berkoperasi sebagai bagian dari keseharian masyarakat. Kita harus mengakui bahwa meskipun aturan sudah ada, seringkali budaya koperasi itu sendiri belum terinternalisasi dengan baik di masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan lebih dari sekadar regulasi yang bersifat teknis, tetapi juga gerakan sosial yang mengakar, yang dapat mengubah paradigma masyarakat tentang pentingnya koperasi dalam perekonomian.
Keempat, koperasi yang direncanakan harus mampu menjawab masalah mendasar yang ada di masyarakat, seperti akses terhadap modal, distribusi hasil produksi, dan penciptaan pasar yang adil bagi para petani dan pelaku usaha kecil. Koperasi yang sukses tidak hanya berfungsi sebagai lembaga ekonomi, tetapi juga sebagai solusi konkret terhadap ketimpangan yang ada. Seperti yang telah dibuktikan oleh koperasi Nong-Hyup di Korea Selatan dan Zen-Noh di Jepang, koperasi dapat menjadi penghubung langsung antara produsen dan konsumen, sehingga mengurangi perantara yang merugikan dan meningkatkan efisiensi distribusi. Dalam konteks ini, koperasi harus mampu memperkuat daya tawar petani dan pelaku usaha kecil, agar mereka tidak terjebak dalam sistem yang eksploitatif dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dengan memberikan akses yang lebih baik terhadap modal, teknologi, dan pasar, koperasi dapat menjadi kekuatan pemberdayaan yang memberikan manfaat langsung kepada anggotanya dan memperbaiki ketidakadilan dalam rantai pasok.
Kelima, demokrasi ekonomi yang diharapkan dari koperasi Merah Putih harus didorong oleh adanya demokrasi politik yang sehat. Tanpa adanya iklim demokrasi yang baik, koperasi tidak akan dapat berkembang dengan adil dan merata. Negara harus memberikan kepercayaan pada masyarakat untuk mengelola koperasi dan memberdayakan mereka untuk mengembangkan potensi ekonomi mereka sendiri. Demokrasi ekonomi yang sejati hanya akan terwujud jika ada sistem yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan ekonomi yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Pada akhirnya koperasi Merah Putih yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia memiliki potensi besar untuk mendorong pemberdayaan ekonomi di desa-desa. Namun, agar koperasi ini dapat berhasil dan memberikan dampak positif yang berkelanjutan, pemerintah perlu belajar dari pengalaman negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang. Hal ini mencakup pemberian kepercayaan pada masyarakat dan mendorong kerja-kerja kolektif melalui pengorganisasian, dukungan regulasi yang jelas serta gerakan koperasi agar membudaya, sistem hukum yang kuat, budaya demokrasi politik di berbagai tingkatan serta kolaborasi antara berbagai pihak dalam membangun koperasi yang berbasis pada keswadayaan dan partisipasi masyarakat. Tanpa langkah-langkah strategis ini, koperasi Merah Putih hanya akan menjadi mimpi besar yang mudah padam, terjebak dalam siklus proyek top-down yang tidak mampu memberikan dampak signifikan bagi masyarakat.
Martin Dennise Silaban, Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM.
- Kreak-Kreak Kembali Berulah! Malam Minggu Tawuran Kejar-Kejaran Sampai Masuk Gang
- Tasyakuran Peresmian Kantor Baru IWO Kota Tegal, Ketua IWO: Jaga Marwah Organisasi
- Bupati Witiarso Utomo Resmikan MOT RSUD RA Kartini Jepara Di Hari Ulang Tahun Ke-47