Khawatir Persidangan Tidak Netral, Keluarga Korban Perkara Koperasi Artha Megah Minta Pergantian Hakim

Keluarga korban perkara Koperasi Artha Megah Purwokerto, saat menunjukkan tembusan surat permohonan pergantian majelis hakim, di kantor Kejaksaan Tinggi Jateng di Semarang, Rabu (22/5). Soetjipto/RMOLJateng
Keluarga korban perkara Koperasi Artha Megah Purwokerto, saat menunjukkan tembusan surat permohonan pergantian majelis hakim, di kantor Kejaksaan Tinggi Jateng di Semarang, Rabu (22/5). Soetjipto/RMOLJateng

Khawatir persidangan tidak akan berjalan netral, keluarga korban perkara Koperasi Artha Megah yang sedang disidangkan di PN Purwokerto, meminta agar majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut, diganti.


Tembusan berkas surat permohonan pergantian majelis hakim disampaikan oleh keluarga korban ke Kejaksaan Tinggi Jateng, Jalan Pahlawan Semarang, Rabu (22/5), disampaikan oleh Dwiono Nugroho mewakili keluarga korban. Adapun dua korban dalam perkara tersebut adalah Lisajanti Utomo dan Jana Listyana Utomo. 

Surat permohonan pergantian hakim majelis, ditandatangani oleh pengacara keluarga korban, DR Matthew Marcellinno Gunawan SH MKn MH, yang dibawa Dwiono Nugroho ke kantor Kejati Jateng, berisi permohonan pergantian majelis hakim yang menangani perkara dengan terdakwa Pramudya, dalam kasus Koperasi Artha Megah yang disidangkan di Pengadilan Negeri Purwokerto, Rabu (22/5).

Kepada wartawan di kantor Kejati Jateng Jl Pahlawan Semarang, Dwiono mengatakan bahwa kedatangannya adalah untuk menyampaikan surat tembusan yang ditandatangani oleh pengacara keluarga korban kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. 

"Saya menyerahkan surat dari kuasa hukum korban, Lisajanti Utomo dan Jana Listyana Utomo, yang merasa bahwa majelis hakim saat ini kurang netral dalam persidangan,” ujar Dwiono Nugroho.

Dalam keterangannya, Dwiono menyoroti bahwa majelis hakim yang saat ini menangani perkara dengan terdakwa Pramudya adalah majelis yang sama dengan yang membebaskan Cherry Dewayanto di Pengadilan Negeri Purwokerto, untuk split (pemecahan-red) perkara Artha Megah tersebut.

“Majelis hakim yang sekarang adalah majelis yang sama yang membebaskan Cherry Dewayanto, yang mana kasus tersebut akhirnya dibatalkan pada putusan kasasi Mahkamah Agung. Terdakwa Cherry harus kembali menjalani hukuman selama 2 tahun, dan Peninjauan Kembali (PK) ditolak. Nah, saat splitsing perkara ini bergulir, justru yang memimpin sidang adalah ketua majelis yang sama saat Cherry dibebaskan. Maka kami berpikir ada unsur tidak netral dalam persidangan,” ungkap Dwiono.

Surat dari kuasa hukum keluarga korban ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto, dengan tembusan kepada Kepala Kejaksaan Agung RI di Jakarta, Ketua Komisi Yudisial di Jakarta, Ketua Pengadilan  Tinggi Semarang di Semarang, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah di Semarang, dan Kepala Kejaksaan Negeri Purwokerto. 

Keluarga korban berharap dengan adanya surat tembusan ini, Pengadilan Tinggi Jawa Tengah dapat mempertimbangkan permohonan pergantian majelis hakim demi keadilan yang lebih baik dan netral dalam proses persidangan. 

Permohonan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi jalannya kasus Koperasi Artha Megah yang sedang berlangsung, yang berawal dari utang pihak korban kepada Koperasi Artha Megah, yang berujung kepada membengkaknya jumlah nilai utang karena bunga berbunga. 

Kasi Teroris Aspidum Kejati Jateng, Sulisyadi SH MH dalam penjelasannya kepada wartawn terkait kasus Koperasi Artha Megah, yang melibatkan terdakwa Pramudya, Rabu (22/5) mengungkapkan, peran terdakwa Pramudya bersama Cherry Dewayanto terkait dengan pelelangan aset milik Hasan Budiman yang dijaminkan di koperasi Artha Megah.

“Pada 10 April 2017, bertepatan di KPKNL Purwokerto, terdakwa (Pramudya) bersama Cherry Dewayanto yang sudah terpidana melakukan pelelangan terhadap barang milik korban yaitu Hasan Budiman. Saat itu posisi koperasi sudah tidak memiliki izin operasional,” ungkap Sulisyadi.

Koperasi Artha Megah diketahui beroperasi dengan izin yang berlaku dari 20 Januari 2005 hingga 20 Januari 2015. Namun, kegiatan lelang tersebut dilakukan pada tahun 2017 ketika Koperasi Artha Megah sudah tidak memiliki izin operasional.

“Kegiatan lelang tersebut tahun 2017 dengan KSU Artha Megah sudah tidak memiliki izin koperasi,” jelasnya lebih lanjut.

Sulisyadi menegaskan bahwa berdasarkan undang-undang koperasi, lelang langsung tidak diperbolehkan jika izin operasional sudah habis.

“Jadi KSU berdasarkan undang-undang koperasi, bahwa seseorang masih ada barang yang belum dilelang dan operasional sudah habis, tidak boleh melakukan lelang langsung seperti itu, jadi ada panitia khusus, jadi ini tidak ada,” tambahnya.

Dalam pernyataannya, Sulisyadi juga menepis anggapan kriminalisasi terhadap Pramudya dalam kasus ini.

“Perkara pertama sudah terbukti, masa perkara kedua kita melakukan kriminalisasi, jadi pada saat pelelangan Pramudya bukan dalam kapasitas sebagai pengacara, atas nama individu,” tegas Sulisyadi.