Kerajinan Bongpay Pecinan Semarang Sudah Berdiri Sejak 130 Tahun Lalu

Tan Hay Ping saat mengamati salah satu bongpay pesanan konsumen, di tempat usahanya di Gambiran 25, Pecinan Semarang, Kamis (1/2) siang. Soetjipto/Dok.RMOLJateng
Tan Hay Ping saat mengamati salah satu bongpay pesanan konsumen, di tempat usahanya di Gambiran 25, Pecinan Semarang, Kamis (1/2) siang. Soetjipto/Dok.RMOLJateng

Bongkahan batu-batu andesit dan granit bertumpukan menjadi pemandangan khas sehari-hari di Gang Gambiran nomor 25, salah satu sudut kawasan Pecinan, Semarang. 

Seperti terlihat Kamis (1/2) siang, dua orang pekerja sedang sibuk mengukir dua di antara lembaran batu yang sudah dibentuk menjadi pola prasasti di tempat tersebut.

Ini adalah kegiatan usaha kerajinan bongpay (batu nisan Tionghoa) milik Tan Hay Ping alias Pianto Sutanto. 

Di Pecinan, kerajinan bongpay milik Tan Hay Ping sudah tidak asing lagi, juga sudah populer di kalangan warga setempat maupun warga Tionghoa di Semarang. 

Ditemui di sela-sela kesibukan menemani dua karyawannya bekerja, Tan Hay Ping mengisahkan usaha membuat bongpay dan aneka macam prasasti miliknya sudah berjalan sejak 130 tahun lalu, dan Tan Hay Ping merupakan generasi keempat yang meneruskan usaha ini.  

"Turun temurun dari ngkong-nya papah. Kakek nya papah. Atau buyut saya, namanya Tan Thian Gie," tutur dia. 

"Nisan dan batu-batu prasasti saya buat dari batu andesit dan granit lokal ada, dari Cina ada. Yang batu andesit asli dari Cina menang di warna daripada andesit lokal," imbuh dia. 

Konsumen pemesan datang tidak hanya dari Jawa, tetapi juga dari Sumarera, Bali, Lampung, Kalimantan, Bali, dan Papua.

Uniknya, meski merambah ke luar pulau di tanah air, pemasaran bongpay dan batu prasasti Tan Hay Ping dilakukan hanya dari mulut ke mulut, jauh dari penggunaan teknologi online seperti umumnya zaman sekarang ini.

Pengirimannya, jika keluar pulau menggunakan jasa dari perusahaan ekspedisi. 

Motif dan ornamen bongpay dan prasasti umumnya bernuansa khas Tiongkok. Ada burung hong, naga, ukiran teratai, bambu, bunga, pohon, singa, dan lainnya, dengan tulisan tergantung permintaan konsumen. Pekerjaan dilakukan dengan mesin gerenda.

Musim paling ramai biasanya adalah bulan 4 Imlek saat hari raya Cheng beng atau Sadranan. Di mana pada bulan 4 itu menjadi tradisi warga Tionghoa mengunjungi dan merawat makam leluhur. 

Ditanya mengenai harga, pria berusia 62 tahun enggan menyebut pasti, karena harga yang dipatok menyesuaikan dengan ukuran, tingkat kesulitan, dan juga kemampuan ekonomi konsumen. 

Bahkan tak segan dia memberikan gratis apabila ada orang tidak mampu yang ingin memasang bongpay untuk makam leluhur.

"Kalau orang tidak mampu ya menyesuaikan. Karena kan untuk bongpay makam leluhur. Kalau memang tidak mampu dan dia minta, ya kita kasih," kata bapak dari tiga anak dan memiliki empat cucu.