Kemiskinan Di Tengah Sandyakalaning Industri Tekstil

Laporan Eksklusif (2) 3rd Round Table Focus Group Discussion Series
Suasana Round Table Focus Group Discussion 3rd Series RMOLJawaTengah, Sabtu (10/08) Di Semarang. Wahyu Sulistiyawan/RMOLJawaTengah
Suasana Round Table Focus Group Discussion 3rd Series RMOLJawaTengah, Sabtu (10/08) Di Semarang. Wahyu Sulistiyawan/RMOLJawaTengah

BAGAIMANA mengukur kinerja DPRD Jateng Periode 2019 – 2024, terutama dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya: Legeslasi, Penganggaran, dan Pengawasan?

Pertanyaan ini mengemuka dan menjadi tema mayor acara Round Table Focus Group Discussion 3rd Series yang digelar RMOLJATENG pada Sabtu, 10 Agustus 2024 di Hotel Grasia Semarang. Agus Widiyanto, Ketua Dewan Redaksi RMOLJATENG yang memandu jalannya diskusi dengan tangkas, segar dan penuh guyonan, menantang para Narasumber dan Peserta untuk menemukan jawaban.  

Adalah Nugroho SBM, Guru Besar Ilmu Ekonomi pada FEB (Fakultas Ekonomi dan Bisnis) Universitas Diponegoro Semarang, menerima tantangan Moderator dengan memberikan jawaban jernih.

Menurut Nugroho, fungsi DPRD Provinsi Jawa Tengah, seperti DPRD yang lain adalah Fungsi Pengawasan, Penganggaran, dan Legislasi. Fungsi Pengawasan  adalah mengawasi, bersama lembaga pengawas yang lain, berjalannya program-program pembangunan Pemerintah Provinsi Jateng. Fungsi Penganggaran diimplementasikan dengan menetapkan APBD yang diusulkan oleh Pemerintah Provinsi. Sedangkan fungsi legislasi diimplementasikan dengan menyetujui Peraturaan Daerah yang diajukan Pemerintah maupun membuat atau merancang dan mengesahkan Peraturan Daerah Tersebut.

“Selama ini ketiga fungsi DPRD Jateng tersebut sudah berjalan dengan baik. Salah satu indikatornya adalah beberapa capaian indikator ekonomi Jawa Tengah” ujarnya.

Pertumbuhan Ekonomi Jateng yang relatif baik selama lima tahun terakhir secara langsung maupun tidak langsung merupakan bukti peran penting DPRD dalam menjalankan tupoksinya: Legeslasi, Penganggaran dan Pengawasan.

Tingginya Angka Kemiskinan

Lebih jauh, Nugroho SBM, peneliti, pengamat dan penulis masalah ekonomi yang tajam itu menjelaskan dengan merujuk angka-angka statistik.

Menurut Nugroho, kondisi ekonomi Jawa Tengah selama periode masa bakti Pemerintah Provinsi dan sekaligus DPRD Jawa Tengah yaitu 2019-2024 dapat dilihat pada beberapa indikator.

Pertama, pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah selama periode 2019 sampai 2024 adalah sebagai berikut: tahun 2019 (5,36%), 2020 (- 2,65%), 2021 (3,3%), 2022 (5,31%), 2023 (4,98%), dan 2024 triwulan 1 (4,97%). Secara umum pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah periode 2019-2024 positif kecuali tahun 2020 negatif karena pandemi Covid-19 yang dialami oleh semua daerah bahkan tingkat nasional. Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah juga sering lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional.

Kedua, tingkat inflasi. Tingkat inflasi tahun ke tahun (yoy) gabungan 6 kota di Jawa Tengah adalah sebagai berikut: tahun 2019 (2,81%), 2020 (1,56%) , 2021 (1,70%), 2022 (3,87%),  2023 (2, 89%), dan 2024 (2,69%), Inflasi di Jawa Tengah dari data tersebut tergolong rendah.

Ketiga, gini ratio. Gini Ratio menunjukkan kesenjangan dalam distribusi Besarnya Gini Ratio antara 0 (tidak ada ketimpangan sama sekali) sampai 1 (sangat timpang). Besarnya Gini ratio Jawa Tengah adalah sebagai berikut tahun 2019 (0,361), 2020 (0, 362), 2021 (0,372), 2022 (0,374), 2023 (0,369), dan 2024 (0,367). Dari angka Gini ratio tersebut maka ketimpangan distribusi pendapataan di Jawa Tengah periode 2019-2024 tergolong moderat dan mendekati rendah.

Keempat, tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan bisa dilihat dari jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk. Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah tahun 2019-2024 sebagai berikut (dalam ribu jiwa): 2019 (3.743,23), 2020  (3.980,90), 2021 (4.109,75), 2022 (3. 831,44), 2023 (3 .791,50),dan 2024 (3. 704,33).

Sementara persentase jumlah penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk sebagai berikut: 2019 (10,80%), 2020 (11,41%), 2021 (11,79%), 2022 (10,93%), 2023 (10,77%), dan 2024 (10,47%). Dari data kemiskinan memang masih tinggi dan merupakan tantangan bagi pemerintah dan DPRD periode berikutnya untuk menurunkannya. Namun dari data tahun 2019-2024 baik jumlah penduduk miskin maupun persentasenya cenderung sudah makin menurun, hanya naik di tahun 2020 dan 2021 karena dampak pandemi Covid-19 yang dialami oleh hampir semua daerah bahkan nasional.

Kelima, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM menunjukkan mutu dari sumberdaya manusia di suatu daerah atau negara. Besarnya Indeks dari 0 sampai 100. Makin besar indeks menunjukkan makin tinggi mutu sumberdaya manusia di suatu daerah atau negara. Besrnya IPM Jawa Tengah periode 2019-2023 (karena data tahun 2024 belum tersedia) adalah sebagai berikut: 2019 (71,73), 2020 (71,87), 2021( 72,16), 2022 (72,79),dan  2023 (73,39). Dari data tersebut IPM di Provinsi Jawa Tengah masuk kategori tinggi (kategori tinggi adalah antara 70 sampai 80,3). Data juga menunjukkan IPM Jawa Tengah cenderung naik.

Apa yang Nugroho uraikan, merupakan satu sisi pandang untuk mengukur Kinerja DPRD Jateng Periode 2019 – 2024.  

Tekstil Itu Ideologis

Gayung bersambut, maka diskusipun mengalir deras.

Apa yang disampaikan Profesor Nugroho tentang masih tingginya ketimpangan dan tingkat kemiskinan di Jateng, serta seretnya usaha untuk menurunkannya, langsung disambar oleh Dr. H. Sariat Arifia. Menurutnya, untuk menciptakan kesejahteraan – ini eufimisme untuk kata ganti menekan tingkat kemiskinan – adalah dengan mengurangi pengangguran.

Itu berarti penekanan kepada penetapan regulasi dan juga pengawasan berbagai kegiatan pemerintahan dan juga  kucuran dana anggaran yang tepat – yang merupaan tupoksi DPRD, agar terjadi penciptaan dan pemeliharaan lapangan kerja – yang antara lain dapat ditempuh melalui pertumbuhan industri sandang, yaitu industrik tekstil dan garment.

Industri tekstil dan garment adalah industri padat modal, kehati-hatian dalam berinvestasi sangat penting. Namun terlebih dari itu, industri garment memiliki kelebihan lagi dengan penyerapan tenaga kerja yang banyak sehingga termasuk industri padat karya.

Kedua industri ini memiliki nilai strategik karena merupakan  kebutuhan primer, setelah pangan. Apabila dikembangkan dengan baik maka selain bisa memasok ke pasar dalam negeri, ia juga bisa memberi devisa kepada negara secara signifikan.

“Melampaui nilai strategiknya, industri tekstil itu ideologis. Belanda di Nusantara itu bukan hanya menjarah rempah-rempah di Maluku dan beras di Demak, Jawa, melainkan juga membendung industri tekstil India – yang saat itu di bawah Inggris – masuk ke Asia,” kata Dosen Universitas Al Azhar Jakarta itu.

Sariat Arifia menunjukkan, Tiongkok dan Vietnam dengan sukses menggunakan industri tekstil padat karya menjadi industri andalan kelas dunia dan berkontribusi penuh terhadap kemandirian sandang, menekan kemiskinan dan dan pengangguran.

Berbeda dengan Indonesia yang terlena dan semakin hilang “daya saing global/ global competitivess”-nya, sebaliknya Cina dan Vietnam mengembangkan secara massif sehingga menjadi raksasa dunia. Vietnam dalam catatan perdagangan ekspor ke Amerika, berbeda dengan Indonesia yang semakin kehilangan order dan banjir impor, justru mengalami kenaikan ekspor yang semakin luar biasa.

“Vietnam juga beruntung, karena perang dagangnya dengan Cina, sekarang pasar Amerika akan memakan dan menelan apa saja – asal bukan dari Cina – termasuk produk tekstil Vietnam,” katanya.

Sementara, tambahnya, karena AS menutup pasarnya, maka Cina mengalihkan produk tekstilnya ke seluruh dunia, tak terkecuali ke Indonesia. Tak heran Indonesia kebanjiran produk-produk Cina, termasuk tekstil.

Belajar dari kasus-kasus itu, menurut H. Sariat Arifia, tidak tumbuhnya industri tekstil dan garment, maka Jawa Tengah memiliki kewajiban memelihara dan mulai menghitung  industrial growth tekstil dan garment-nya tiap tahun, agar kemampuan memenuhi kebutuhan lokal dan peningkatan ekspor tetap terjaga sekaligus peningkatan penciptaaan tenaga kerja dan juga produktivitas dari waktu ke waktu bisa dipelihara dengan baik.

Ambruknya Industri Testil

Pasca Covid-19, tahun 2024  telah menjadi tahun yang berat bagi industri tekstil dan garment  Jawa Tengah. Beberapa faktor utama yang memberi tekanan kepada kondisi industri di antaranya: Melemahnya permintaan global akibat perlambatan ekonomi global, tertutama pasar Eropa dan AS; Kekalahan dalam persaingan global karena rendahnya global competitiveness; serta kenaikan harga bahan baku serti kapas dan benang sintetis.

“Akibatnya, terjadilah gelombang penutupan pabrik dan PHK”.

Sejak awal tahun 2024, setidaknya beberapa  pabrik tekstil di jawa Tengah  telah menutup operasinya, di antaranya: PT. S. Dupantex di Pekalongan, menyebabkan PHK terhadap 700-an pekerja; 2. PT. Kusumahadi Santosa (500);  Kusumaputra Santosa (400) PT. Pamor Spinning Mills, (700) dan  PT. Sai Apparel (8.000).

Sariat Arifia mengusulkan, dalam satu tahun ke depan, Pemerintah Daerah harus memiliki grand design dalam penciptaan infrastruktur yang mendukung daya saing antara lain:

  1. Mendukung aktif penciptaan kawasan industri dan klaster khusus di daerah sehingga perusahaan dapat berkonsentrasi dan menciptakan sinergi. Penciptaan Kawasan industri jangan sekali kali di lihat dari pembukaan pabrik saja, namun diperhatikan juga kesinergisan antara manusia, alam, lingkungan yang mau dikembangkan dan mobilitas yang di butuhkan.
  2. Memperluas fasilitas pendidikan dan perumahan untuk menarik sumber daya manusia tingkat tinggi dari luar daerah, seperti Jawa Barat. Untuk meningkatkan daya saing di Jawa Tengah dan kenaikan produktivitas, Jawa Tengah bisa membuat semacam desain menarik orang yang telah berpengalaman di jawa barat untuk bisa bekerja dengan optimal di jawa Tengah.
  3. Memperluas jalan industri untuk kelancaran pergerakan logistik kendaraan besar seperti kendaraan container. Dampak dari keberadaan industri ekspor adalah banyaknya lalu Lalang truk container yang akan memakan pergerakan lalu lintas Masyarakat umum. Biasanya yang sudah sudah terjadi “kejemplongan” antara penciptaan Kawasan industri dan penciptaan lalu lintas transportasi logistiknya. Hal ini dari awal harus dihindari karena ini akan berdampak kepada tingginya biaya transportasi dan lambat laun mengakibatkan kehilangan daya saing.
  4. Meningkatkan lingkungan tenaga kerja Pendirian pusat pelatihan kejuruan tambahan/sekolah teknik khusus sektor di daerah oleh pemerintah daerah untuk melatih tenaga kerja untuk pabrik manufaktur
  5. Mempromosikan program trainee industri antara perusahaan investor asal asing (dalam hal ini misalnya banyaknya Perusahaan dari Korea) dan pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan talenta lokal guna memperkuat daya saing global). Pemerintah daerah harus datang ke principal industri yang menanamkan modal dan melihat apa kebutuhan mereka dan melihat apa yang harus dikembangkan secara Bersama sama. Dalam prakteknya, tumbangnya Perusahaan perusahaan asal investor juga akan berimplikasi kepada tumbangnya industri yang di bangun di dalam negeri.
  6. Program pengawasan terpadu oleh Forkopimda yang bisa mengawasi bahwa impor illegal bisa ditekan serendah rendahnya, bahkan kalau mampu silahkan di buat menjadi angka nol.

Di tengah masih tingginya tingkat kemiskinan dan sandyakalaning industri tesktil di Jawa Tengah, DPRD bersama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah agaknya harus tetap bergandengan tangan, bersinergi untuk mengatasi sepersoalan itu – dengan tetap menjaga integritas lembaga masing-masing. Juga, DPRD mesti konsisten dengan tupoksinya: Legislasi, Penganggaran dan Pengawasan.