Kawan Atau Lawan, Perspektif Media Pada Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan 

Suasana Diskusi Konstruksi Media Tentang Kasus Kekerasan Seksual Pada Perempuan Di Gedung DPRD Kabupaten Magelang. Tri Budi Hartoyo/RMOLJawaTengah
Suasana Diskusi Konstruksi Media Tentang Kasus Kekerasan Seksual Pada Perempuan Di Gedung DPRD Kabupaten Magelang. Tri Budi Hartoyo/RMOLJawaTengah

Pekerja media perlu memiliki perspektif perlindungan terhadap korban kasus kekerasan terhadap perempuan. Dan menghindari pemberitaan diskriminatif terhadap korban. 


Dosen Ilmu Hukum Universitas Tidar Magelang, Triantono SH, mengatakan, media memiliki peran strategis dalam pengungkapan kasus sehingga mendorong aparat hukum untuk melakukan penyelidikan. 

Pada beberapa kasus kekerasan seksual, menurut dia, aparat hukum biasanya segera merespon kasus jika sudah diungkap oleh media massa dan mendapat perhatian publik.

Tetapi Triantono mengingatkan, dalam meliput kasus kekerasan terhadap perempuan, hendaknya media perlu membekali diri dengan perspektif perindungan korban.  

“Media massa harus memperhatikan penggunaan istilah dan narasi berita agar tidak melakukan pelabelan, diskriminatif, dan victim blaming atau menyalahkan korban,” kata Triantono.

Pegiat hak perempuan dan anak ini menjelaskan, kebanyakan pemberitaan kekerasan seksual terhadap perempuan belum mencerminkan keberpihakan pada korban. 

Pelanggaran yang sering terjadi antara lain, mencantumkan identitas korban secara jelas, serta penggunaan kalimat yang memberikan label negatif.

Penggunaan sebutan cantik, janda muda, dan seksi dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual memberikan kesan negatif pada korban perempuan.  

Penggunaan istilah rudapaksa, digagahi, atau digilir untuk melabel kasus pemerkosaan, menunjukkan tidak pekanya pekerja media pada hak perlindungan korban.   

Triantono menyadari, kapasitas jurnalis tidak sama. "Kekuatan menarasikan kasus sesuai perspektif perlindungan korban juga minim, sehingga (malah) menyudutkan korban.” 

Narasi berita yang menggambarkan korban pemerkosaan mengenakan rok mini, pakaian ketat, atau berkeliaran pada malam hari, menimbulkan persepsi bahwa wajar perempuan menjadi korban kekerasan seksual (victim blaming). 

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Magelang menggelar diskusi Konstruksi Media tentang Kasus Kekerasan Seksual pada Perempuan pada Rabu (26/06).

Diskusi yang diikuti anggota PWI Kabupaten Magelang dan Kota Magelang bertujuan meningkatkan kapasitas pekerja media. Sehingga mampu menghasilkan produk media yang informatif dan berpihak pada kepentingan korban.

Ketua LSM Sahabat Perempuan, Putri Andani Prabasasi, mendorong pengungkapan kasus kekerasan terhadap perempuan melalui pemberitaan, harus dibarengi dengan upaya serius melindungi korban.

Ini untuk mencegah perempuan menjadi korban dua kali akibat kekerasan yang dialami dan pemberitaan yang menyudutkan.

Dalam beberapa kasus penanganan kekerasan seksual yang disorot media, justru menyebabkan perkara gagal ditangani secara hukum. Terbukanya identitas, membuat korban mendapat tekanan dari banyak pihak.    

“Identitas bisa diungkap, ketika pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka. Pastikan korban (sudah) mendapatkan perlindungan. Jika identitas diungkap saat baru pengaduan, dampaknya pada korban,” ujar Putri Andani Prabasasi.