Kasus Sekeluarga Terdakwa di Pekalongan, Pengacara Pelapor: Sebaiknya Diserahkan Sukarela

Konferensi Pers pihak Felly Anggraini Tandapranata, pelapor sekeluarga terdakwa kasus pidana dugaan penyerobotan tanah di Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan, Senin (24/6). Bakti Buwono/RMOL Jateng
Konferensi Pers pihak Felly Anggraini Tandapranata, pelapor sekeluarga terdakwa kasus pidana dugaan penyerobotan tanah di Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan, Senin (24/6). Bakti Buwono/RMOL Jateng

Pihak Felly Anggraini Tandapranata, pelapor sekeluarga terdakwa kasus pidana dugaan penyerobotan tanah di Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan akhirnya angkat bicara. Kuasa hukum pelapor, Risma Situmorang, membeberkan fakta bahwa pernah ada upaya damai dari pihak kliennya.


Objek sengketa dari kasus pidana tersebut adalah lahan seluas 1.433 m2 di Jl Kartini, Kota Pekalongan. Lahan itu ada dua sertifikat dengan luas 1.013 m2, dan 420 m2. Di lokasi itulah keluarga para terdakwa tinggal serta usaha keluarga berdiri.

Ia menegaskan bahwa kepemilikan lahan itu sah secara administratif milik kliennye berdasarkan akad jual beli antara Hidayat Tandapranata (suami kliennya) dan Lukito Lutiarso selaku suami terdakwa Lanny. Hal itu dibuktikan dalam putusan perdata yang sudah inkracht hingga tingkat kasasi.

Risma menyebut bahwa kliennya tidak ada dendam apapun terhadap keluarga Lanny. Namun murni karena ingin mendapatkan haknya.

"Bahkan bu Felly yang umurnya sudah 72 tahun ini bilang jika Lenny Setiawati dan tiga anaknya menyerahkan tanah dan bangunan secara sukarela, maka akan diberi semacam tali asih untuk mereka," katanya di rumah makan Masduki, Kota Pekalongan, Senin (24/6).

Pihaknya juga berupaya memfasiitasi kebutuhan Lanny dan keluarganya untuk pindah ke tempat yang baru. Kliennya siap memberi tali asih pada keluarga Lanny. Tawaran itu masih berlaku hingga sebelum eksekusi objek sengketa.

Satu keluarga di Kota Pekalongan yang jadi terdakwa adalah Lanny Setyawati (ibu), dan ketiga anaknya Titin Lutiarso, Haryono serta Lilyana. Keempatnya sedang menjalani proses hukum perdata dan pidana sekaligus atas kasus tersebut. 

Keempatnya ditetapkan jadi tersangka pada 22 Februari 2024 lalu.

Risma pun menyebut bahwa kepemilikan SHGB saat ini atas nama Felly Anggraini Tandapranata sejak suami kliennya meninggal. Pihaknya menyatakan bahwa SHGB sudah dibaliknama sejak AJB dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara Hidayat dan Lukito.

"Pernah ada upaya memperpanjang SHGB, namun saat Badan Pertanahan Nasional hendak melakukan pengukuran, pihak Lanny menutup pintu. Hingga akhirnya gagal," ucapnya didampingi pengacara Arief NS.

Pihaknya menjelaskan, meskipun izin SHGB sudah kadaluarsa, namun status kepemilikan tetap terikat di pemilik terakhir. Menurut versinya, SHGB objek sengketa sudah atas nama Felly Anggraini Tandapranata, selaku ahli waris, selepas kematian Hidayat.

Hingga akhirnya kliennya justru dilaporkan dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri Cirebon, hingga terus menang hingga kasasi. Perseteruannya yaitu kliennya digugat karena keluarga Lanny bersikukuh subjek permasalahan adalah utang piutang.

Hasil sidang perdata adalah kliennya menang di pengadilan hingga kasasi karena objek sengketa dinyatakan sebagai jual beli. 

"Untuk kasus perdata, klien kami justru jadi tergugat bukan penggugat. Dan itu sudah incraht hingga Kasasi, dan upaya PK tidak menghalangi eksekusi (nantinya)," jelasnya.

Risma berharap hakim yang menangani perkara kliennya bisa memutuskan dengan adil dan bijaksana. Pihaknya pun berpendapat bahwa putusan pidana apapun tidak akan berpengaruh pada kuasa eksekusi objek sengketa itu.

Kasus itu bermula dari usaha bisnis Lanny yaitu Lukito Lutiarso dengan Pabrik Teh milik Tan Pek Siong.cPada 1994, suaminya, Lukito Lutiarso kesulitan keuangan dan meminta bantuan Tan Pek Siong untuk menebus sertifikat tanahnya di bank. 

Saat itu, rekanan suaminya mengutus anaknya, Hidayat Tandapranata, untuk membantu menebus tiga sertifikat. Rinciannya dua sertifikat di Jalan Kartini (yang sekarang jadi sengketa) dan sertifikat tanah seluas 420 m2 di Jalan Bandung.

Hidayat membantu menebus 3 sertifikat ke bank dengan nominal Rp400 juta. Lalu sertifikat diubah atas nama pak Hidayat, ada akta jual beli (AJB).  

Keluarga Lukito Lutiarso tetap menempati serta membuka usaha di dua lokasi itu dengan sistem pinjam pakai dengan perjanjian di hadapan Notaris Ida Yulia. Perjanjian pinjam pakai itu ditandangani keduanya pada 1997. Isinya perjanjian berakhir jika Lukito meninggal dunia.

Lalu pada 2007, Lukito Lutiarso, membayar sebesar Rp200 juta pada Hidayat. Ia mendapatkan kembali sertifikat tanah di Jalan Bandung seluas 420 M2. Dalam waktu seminggu, sertifikat itu sudah balik nama lagi jadi Lukito Lutiarso.

Pada 2019, Hidayat Pranata meninggal dunia dan Lukito Lutiarso meninggal dunia pada 2021. Hingga akhirnya Felly Anggraini Tandapranat, istri Hidayat, menyurati keluarga Lanny terkait perjanjian itu.