Kartu Indonesia Pintar Wujudkan Mimpi Anak Indonesia Gapai Cita-cita

Webinar Silaturahmi Merdeka Belajar terkait layanan KIP semakin mudah diakses oleh masyarakat yang membutuhkan.
Webinar Silaturahmi Merdeka Belajar terkait layanan KIP semakin mudah diakses oleh masyarakat yang membutuhkan.

Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah) yang diluncurkan sejak tahun 2021, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperluas akses pendidikan tinggi, terutama bagi masyarakat kurang mampu.


Sebagai bentuk konsistensi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) terus menyempurnakan agar layanan ini semakin mudah diakses oleh masyarakat yang membutuhkan.

Kepala Puslapdik Adhika Ganendra mengatakan, KIP Kuliah telah menjangkau 101.000 mahasiswa atau sebesar 50 persen dari total kuota, yaitu 200.000 mahasiswa pada tahun 2024.

“Penerima beasiswa sebelumnya adalah siswa kurang mampu yang diterima di perguruan tinggi negeri melalui jalur tes dan prestasi,” ujar Adhika, Senin (26/8).

Menurut Adhika, berdasarkan data integrasi antara siswa penerima bantuan jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan siswa yang lolos ke jenjang pendidikan tinggi melalui jalur tes dan prestasi, menunjukkan semakin banyak siswa miskin yang dibantu mencapai prestasi dan masuk perguruan tinggi, baik melalui jalur tes maupun prestasi.

Paparan tersebut dikatakan Adhika dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar pada Kamis, (23/8/2024). Pihaknya menambahkan bahwa jumlah penerima beasiswa KIP tersebut 10 persen lebih tinggi dibanding tahun lalu.

Dalam webinar yang sama, Direktur Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Muhammad Sholeh, menyampaikan bahwa sebagai implementasi Peraturan Sekretaris Jenderal (Persesjen) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Kartu Indonesia Pintar Pendidikan Tinggi, pihak kampus menyeleksi mahasiswa yang ingin mendaftar KIP Kuliah dengan rata-rata kuota 4.000 sampai 5.000 orang di tiap tahunnya.

Menurut Sholeh, mahasiswa yang memiliki KIP Kuliah ini diprioritaskan terutama jika keluarganya terdaftar di Program Keluarga Harapan (PKH). Selain itu, terdaftar dalam Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), atau anak tersebut berasal dari panti asuhan atau berstatus yatim, piatu.

“Nanti kita juga akan melakukan survei kondisi di rumahnya, lalu kita peringkatkan. Jika asal mahasiswa pendaftar masih di dalam provinsi Jawa Timur, tim survei dari kampus akan datang langsung ke lokasi. Jika di luar itu, survei dilakukan melalui panggilan video (video call),” terangnya.

Salah satu mahasiswa penerima KIP Kuliah dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Syarifah Luthfiah Quraisy, mengungkapkan alasannya ingin mendapatkan KIP Kuliah untuk mengejar cita-citanya untuk kuliah di fakultas kedokteran.

 "Saya ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, khususnya fakultas kedokteran dan ingin meringankan beban ibu saya yang merupakan orang tua tunggal,” ujar Syarifah.

Syarifah mengaku mendapatkan informasi KIP Kuliah dari Lembaga Pengembangan Kemahasiswaan di Universitas Muhammadiyah Makassar, termasuk persyaratan dan pendaftarannya.

Sedangkan Nizam Zulfi Zakaria, penerima KIP Kuliah dari Universitas Brawijaya juga merasa terbantu dengan adanya program ini. 

KIP Kuliah tak hanya membawa Nizam bisa melanjutkan kuliah. Namun juga menjadi jembatan untuk meraih gelar sebagai Mahasiswa Berprestasi Tingkat Nasional.

 "Saya berharap siapapun menterinya, siapapun presidennya, program KIP ini bisa terus dijalankan, bahkan ditambah kuotanya. Karena ini adalah langkah kongkret pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan," tutur Nizam.

Untuk diketahui, KIP Kuliah menyasar empat kategori mahasiswa. Pertama, alumni SMA/SMK/sederajat yang telah memiliki KIP di tahun berjalan atau dua tahun sebelumnya.

Kedua, mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin dan rentan miskin yang terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan merupakan bagian dari PKH dan memiliki KKS.

Selain itu juga termasuk mahasiswa yang tinggal di panti sosial maupun panti asuhan. Ketiga, mahasiswa yang berasal dari daerah bencana alam, daerah konflik, atau daerah yang memiliki kekhususan.

Terakhir mahasiswa dengan keterbatasan akses seperti penyandang disabilitas atau mahasiswa yang berasal dari daerah 3T.