Jangan Halangi Dan Kritik Jokowi!

Agus Widyanto, Wartawan, Peminat Budaya Dan Falsafah Jawa. Istimewa
Agus Widyanto, Wartawan, Peminat Budaya Dan Falsafah Jawa. Istimewa

ADALAH sebuah kesia-siaan jika kita ngotot mengkritik pemimpin yang sedang di atas angin. Mencegah gagasan dan kebijakannya bisa jadi seperti menggantang asap saja. Ibarat usaha menggiring angin.

Tapi membiarkannya begitu saja bukan sikap yang elok. Lho, kok begitu?

Ya, iyalah. Membiarkan sesuatu yang kita tahu akan berdampak kurang baik adalah sikap masa bodoh, apatis, yang bukan saja berdampak buruk terhadap diri kita, juga memberi efek buruk kepada lingkungan serta pemimpin yang kita anggap perlu dikritik.

Karena itu, jika pemimpin kita terlihat melakukan sesuatu yang menurut kita layak diingatkan, jika mereka sedang di atas angin, kita cukup mencatat, memcermati dan merenungkannya. Kalau kita masih memiliki energi lebih, buatlah prediksi akan dampak-dampak yang diperkirakan akan terjadi akibat sebuah kebijakan atau tindakannya.

Misalkan pilihan itu belum membuat hati dan pikiran kita enak, ungkapkanlah dengan cara yang patut di media sosial supaya “beban moralnya” tersalurkan. Dengan begitu, setidaknya akan menjadi catatan sejarah (digital) yang bermanfaat untuk pembelajaran bersama. Menjadi sesuatu yang tercatat, bisa dikenang, dan menjadi bukti apakah kita salah melihat atau kita setengah salah, atau pendapat kita ternyata benar.

Orang Jawa punya piwulang (ajaran tentang yang pantas dan tidak pantas), piweling (peringatan) dan pitutur (nasihat) tentang melakukan sesuatu. Di antaranya kudu bener lan pener (lakukan segala sesuatu secara benar dan pas), manjing ajur-ajer empan papan (bisa menempatkan diri dalam kondisi apapun), ngono yo ngono ning aja ngono (begitu ya begitu tapi jangan begitu, lakukan segala sesuatu sewajarnya, jangan berlebihan). Juga ada peringatan aja keminter mundhak kebilenger (jangan merasa pintar supaya tidak tersesat).

Karena itu, kalau ingin mengeskpresikan sikap, memberi saran, masukan, lakukan saja dengan cara yang patut.

Tidak perlu membuat kritik, apalagi sampai disertai hujatan dan caci-maki. Cara seperti itu selain membuat gaduh, tanpa kita sadari bisa merugikan diri sendiri. Salah-salah bisa membuat kita kena perkara.

Saat ini banyak yang melontarkan kritik, cacian, dan hujatan terhadap Presiden Jokowi dan keluarga serta para pendukungnya. Setelah kritik nepotisme karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memungkinkan putra sulun Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai Cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto dan memeangkan Pilpres 2024; sekarang ada polemik tentang putusan Mahkamah Agung yang ditengarai memungkinkan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, maju dalam kontestasi pemilihan gubernur (Pilgub). Diduga, di Pilgub Daerah Khusus Jakarta yang dianggap bergengsi.

Mahkamah Agung belum lama ini mengabulkan gugatan yang diajukan Ketum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, beserta kawan-kawannya terhadap Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Gugatan atas Batasan usia paling rendah untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur 30 tahun, dan batas usia 25 tahun untuk calon Bupati dan Wakil Bupati atau calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan pasangan calon, dikabulkan sebagian. Atas putusan tersebut, frasa aturan yang semula usia minimal “terhitung sejak penetapan pasangan calon” kemudian berubah menjadi “saat pelantikan”.

Implikasi dari keputusan tersebut adalah asumsi bahwa Kaesang yang lahir 25 Desember 1994, jika pelantikan hasil Pilkada Serentak 2024 dilakukan setelah tanggal 25 Desember 2024, misalnya 26 Desember 2024, memenuhi syarat untuk ikut kontestasi Pilgub. Sedangkan untuk istri Kaesang, Erina Gundono, tidak menghadapi masalah persyaratan jika dia diusung sebagai Calon Bupati Sleman DIY. Erina yang lahir 11 Desember 1996 memenuhi syarat untuk ikut Pilkada Kabupaten Sleman karena sudah berusia di atas 25 tahun.

Mengenai menantu Jokowi yang hendak maju sebagai Calon Gubernur Sumatera Utara, juga menjadi isu yang terkait dengan stigma nepotisme.

Juga tentang orang di sekeliling Jokowi dan keluarganya, yakni Devid Agus Yunanto (mantan Ajudan Jokowi saat menjabat Wali Kota Solo) yang diisukan akan maju di Pilkada Kabupaten Boyolali Jawa Tengah, serta Sendy Fardiansyah (sekretaris pribadi Ibu Negara Iriana Joko Widodo) yang diisukan akan mendaftarkan diri sebagai calon Wali Kota Bogor pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024, tidak usah diributkan.

Dalam konteks ini, kita tidak perlu mengkritik Jokowi karena memang itu bukan urusan Jokowi. Hukum adalah ranah di luar kekuasan eksekutif, karena itu wilayah kekuasaan yudikatif. Adapun kekuasan legislatif ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Idonesia.

Kita tak perlu merasa mengkritik hal itu karena alasan sayang, atau mencintai Jokowi. Jangan pula halangi sikap, keputusan dan langkah yang diambilnya. Tak perlu juga merasa lebih paham dari beliau.

Percayalah bahwa Jokowi sangat tahu dan memahami apa yang dilakukannya, atas sikap yang diambilnya terhadap proses yang berlangsung, termasuk apa akibat-akibat yang akan diterimanya atas sikap dan keputusan politiknya.

Jokowi juga tahu piweling bahwa “Setiap pemimpin ada masanya, dan setiap masa ada pemimpinnya”.

Tulisan merupakan opini pribadi, tidak merepresentasikan atau mewakili organisasi/institusi/lembaga di atas.