Hari Ibu: Ruang Renegosiasi Identitas Perempuan Di Indonesia

Martin Dennise Silaban, Peneliti di SHEEP Indonesia Institute dan Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Istimewa
Martin Dennise Silaban, Peneliti di SHEEP Indonesia Institute dan Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Istimewa

Hari Ibu di Indonesia, yang dirayakan setiap 22 Desember, sering kali terperangkap dalam narasi domestik, sebuah perayaan yang memuliakan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh keluarga. Namun, di balik narasi ini terdapat sejarah dan kompleksitas identitas perempuan Indonesia yang sering kali terlupakan atau terfragmentasi. Melalui konsep mestiza consciousness dari Gloria Anzaldúa, kita dapat membedah bagaimana perempuan Indonesia berada di persimpangan tradisi lokal, agama, modernitas, dan bagaimana Hari Ibu dapat menjadi ruang renegosiasi identitas mereka.

Mestiza Consciousness: Memahami Identitas Yang Kompleks

Gloria Anzaldúa, seorang feminis Chicana, memperkenalkan konsep mestiza consciousness, yaitu kesadaran akan identitas ganda dan interseksionalitas yang lahir dari pengalaman hidup di antara berbagai budaya, bahasa, dan sistem nilai. Dalam konteks perempuan Indonesia, konsep ini sangat relevan. Mereka hidup di tengah tarik-menarik tradisi adat yang kaya, doktrin agama yang kuat, dan modernitas global yang terus mendesak.

Identitas perempuan Indonesia tidak pernah homogen. Sebaliknya, ia terus-menerus dinegosiasikan. Misalnya, seorang perempuan Minangkabau menghadapi dualitas antara sistem matrilineal adatnya, yang memberikan kuasa pada perempuan dalam pengelolaan warisan, dan norma-norma agama yang sering kali lebih patriarkal.

Di sisi lain, modernitas memperkenalkan tuntutan baru berupa pendidikan tinggi dan partisipasi dalam ekonomi formal. Ketegangan inilah yang menciptakan ruang di mana perempuan Indonesia harus mendefinisikan ulang siapa diri mereka, sebuah proses yang sejalan dengan mestiza consciousness Anzaldúa.

Kolonialisme Dan Fragmentasi Identitas Perempuan

Untuk memahami bagaimana identitas perempuan Indonesia menjadi terfragmentasi, kita perlu melihat kembali dampak kolonialisme. Sebelum kedatangan kolonial, perempuan di Nusantara memiliki peran penting di berbagai ranah kehidupan. Dalam masyarakat Bugis, perempuan bisa menjadi pemimpin spiritual melalui peran bissu. Di Bali, perempuan terlibat aktif dalam ritual keagamaan. Namun, kolonialisme membawa perspektif patriarki yang menekankan subordinasi perempuan.

Kolonialisme tidak hanya memperkenalkan sistem patriarki baru, tetapi juga menghapus narasi lokal yang memberdayakan perempuan. Pendidikan kolonial, misalnya, mempersiapkan perempuan hanya untuk menjadi istri yang baik, bukan pemimpin atau intelektual.

Narasi ini kemudian dilanjutkan oleh negara pascakolonial, terutama pada era Orde Baru, melalui doktrin seperti Panca Dharma Wanita yang menyempitkan peran perempuan menjadi sebatas ibu dan istri. Dalam doktrin tersebut, perempuan didefinisikan sebagai pendukung suami, pemberi keturunan, perawat dan pendidik anak-anak, pengelola rumah tangga, serta penjaga harmoni masyarakat.  

Ideologi ini diperkuat dan disebarluaskan melalui organisasi-organisasi perempuan yang dikendalikan oleh negara (Afina, 2024). Lebih jauh lagi, ideologi ini mengonstruksi konsep kodrat perempuan yang mengharuskan perempuan bersikap lemah lembut, tunduk pada otoritas, dan pasif secara politik. Gagasan ini tidak hanya mengekang kebebasan perempuan dalam kehidupan publik, tetapi juga mengakar kuat untuk menjaga dominasi patriarki, menempatkan perempuan sebagai subjek subordinasi dalam struktur sosial dan politik bangsa.

Hari Ibu Sebagai Ruang Dekolonialisasi

Hari Ibu, jika dilihat dari sejarahnya, sebenarnya lahir dari semangat perjuangan. Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 menegaskan peran perempuan sebagai agen perubahan dalam pendidikan, politik, dan kemerdekaan bangsa. Namun, makna tersebut kemudian bergeser menjadi perayaan domestifikasi perempuan. Dekolonialisasi Hari Ibu berarti mengembalikan maknanya sebagai ruang untuk merayakan keberagaman identitas dan kontribusi perempuan, baik di ranah domestik maupun publik.

Konsep mestiza consciousness membantu kita melihat Hari Ibu sebagai ruang renegosiasi identitas. Perempuan Indonesia tidak hanya harus memilih antara tradisi atau modernitas, tetapi mereka juga dapat menciptakan identitas baru yang merangkul keduanya. Misalnya, perempuan yang mendukung keluarganya sambil menjadi pemimpin di komunitas atau bekerja di sektor formal adalah contoh bagaimana identitas yang kompleks dapat hidup berdampingan.

Dalam proses dekolonialisasi, penting untuk mengakui dan mengangkat kembali tradisi lokal yang memberdayakan perempuan. Dalam budaya matrilineal Minangkabau, perempuan memiliki kuasa atas tanah dan harta keluarga. Tradisi ini menunjukkan bahwa patriarki bukanlah satu-satunya narasi yang ada di Indonesia. Dalam masyarakat adat lainnya, seperti Dayak dan Batak, perempuan juga memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan kolektif.

Namun, tradisi ini tidak bisa dipandang secara romantis. Sebagian tradisi lokal juga mengandung bias gender yang perlu ditantang. Dengan pendekatan mestiza consciousness, kita tidak hanya menerima tradisi begitu saja, tetapi juga mengkritisinya, membangun narasi baru yang menghormati perempuan sebagai individu otonom.

Hari Ibu juga menjadi relevan dalam konteks modern, di mana perempuan menghadapi tantangan baru seperti eksploitasi ekonomi, stereotip gender, dan keterbatasan akses ke pendidikan. Dengan mengadopsi perspektif Anzaldúa, kita dapat melihat perempuan Indonesia sebagai subjek aktif yang mampu membentuk identitas baru, melampaui batas-batas yang diciptakan oleh tradisi, agama, atau kapitalisme.

Sebagai contoh, perempuan Indonesia saat ini semakin terlibat dalam gerakan lingkungan, advokasi sosial, dan pemberdayaan komunitas. Mereka membawa perspektif lokal ke dalam isu global, seperti perubahan iklim, sekaligus mempertahankan identitas mereka sebagai perempuan Indonesia. Ini adalah bentuk nyata dari mestiza consciousness, dimana perempuan hidup di persimpangan berbagai identitas, tetapi tetap utuh sebagai individu.

Hari Ibu seharusnya menjadi momentum refleksi, tidak hanya merayakan peran domestik perempuan, tetapi juga menyoroti perjuangan mereka dalam membangun masyarakat yang lebih adil. Dengan perspektif mestiza consciousness, Hari Ibu dapat menjadi ruang untuk mengadvokasi isu-isu kesetaraan gender, pemberdayaan ekonomi, dan keadilan sosial.

Sebagai masyarakat, kita perlu merekonstruksi makna Hari Ibu. Tidak cukup dengan memberikan bunga atau ucapan terima kasih, tetapi juga dengan menciptakan ruang dialog tentang bagaimana kita dapat mendukung perempuan dalam menjalani identitas mereka yang kompleks. Misalnya, melalui diskusi publik yang melibatkan perempuan dari berbagai latar belakang, kita dapat menggali bagaimana mereka memaknai identitas mereka sendiri di tengah tradisi, agama, dan modernitas.

Pada akhirnya, Hari Ibu bukan hanya tentang peran domestik, tetapi juga tentang merayakan kekuatan, keberanian, dan kompleksitas identitas perempuan Indonesia. Dengan menggunakan pisau analisis mestiza consciousness, kita dapat melihat Hari Ibu sebagai ruang renegosiasi, di mana perempuan Indonesia dapat mendefinisikan ulang identitas mereka di persimpangan tradisi, agama, dan modernitas.

Mari jadikan Hari Ibu sebagai momentum untuk menghormati tidak hanya apa yang telah dicapai perempuan, tetapi juga keberadaan mereka sebagai individu yang sarat makna, beragam, dan penuh kekuatan.

Martin Dennise Silaban (Penulis dan Peneliti di SHEEP Indonesia Institute &Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Berbagai tulisannya sudah dimuat di media nasional maupun lokal seperti The Jakarta Post, Tempo, Mongabay, Solopos, SuaraMerdeka, GreenNetwork Asia, Kedaulatan Rakyat, dan Floresa.co