Beberapa kali terjadi di ruang redaksi bahwa ada permintaan dari pihak yang diberitakan atau pejabat publik dan/atau perwakilannya yang menyatakan pihaknya berkeberatan atas penulisan hasil karya jurnalistik didasarkan atas ucapan dan narasinya pejabat publik.
- Mencegah Kecelakaan Bus dan Truk Agar Tidak Terulang
- Pers Sebagai Aktor Utama Dari Ekonomi Kreatif
- Wacana Penyesuaian Tarif KRL Jabodetabek dan TransJakarta
Baca Juga
Permintaan pihak tersebut terlihat sebagai suatu hal yang sederhana. Permintaan agar ada koreksi atas suatu naskah tentang dirinya, baik judul saja atau pun kontennya.
Yang perlu diwaspadai oleh jurnalis dari permintaan seorang tokoh masyarakat adalah apakah ini suatu intervensi atau bukan? Intervensi di ruang berita, apakah memungkinkan dan diperbolehkan?
Apa yang harus dilakukan oleh seorang jurnalis apabila suatu hari ia mendapatkan telepon atau teks di kanal aplikasi pribadinya agar judul dan/atau isi karya jurnalistiknya diganti sesuai dengan permintaan pihak yang diberitakannya?
Dengan suatu pemikiran bahwa seorang jurnalis telah mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi, dan dalam penulisannya wajib untuk taat memproduksi konten jurnalistiknya dengan memenuhi syarat 5W + 1H, seharusnya tidak ada atau kecil kemungkinan adanya celah untuk diajukannya permintaan semacam ini.
Penulisan karya jurnalistik yang berkaitan dengan perkembangan suatu peristiwa dan dengan pemberian informasi yang berkembang akan rentan terhadap perbedaan persepsi para pelakunya dan karenanya perlu koreksi.
Pihak jurnalis juga kemungkinan akan mendapat kritikan dan opini yang berseberangan apa bila ia menuliskan suatu kondisi dan status tertentu.
Beberapa kondisi yang memungkinkan perbedaan persepsi adalah apabila jurnalis membuat produk jurnalistik di dalam pemberitaan tentang teroris, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, selain juga pelaporan yang berasal dari daerah konflik.
Semua hasil karya jurnalistik akan menimbulkan suatu interaksi. Yang paling awal adalah interaksi di ruang berita.
Ada pihak redaktur yang sudah memutuskan untuk memberikan lampu hijau atas suatu berita yang dianggap baik dan layak untuk diunggah.
Seorang redaktur pasti wajib memeriksa ulang, mencari tambahan informasi serta memastikan semua ejaan serta memastikan semua azas jurnalisme dipatuhi. Selain itu mereka pula yang memiliki sandi dan kunci koreksi suatu konten berita.
Ketidak puasan atas suatu judul atau konten berita akan menjadi perkara yang lebih serius pada saat berita tersebut sudah naik atau diunggah ke media masing-masing.
Suatu perjalanan panjang dari hasil karya yang dimulai dari kerja keras jurnalis dan selanjutnya oleh pihak redaksi di ruang berita, tidak cukup dapat dipotong dengan suatu permintaan secara verbal agar suatu hasil karya jurnalistik diubah sesuai dengan permintaan yang bersangkutan.
Rangkaian dari hasil karya jurnalistik tersebut selanjutnya akan bermuara di Pemimpin Redaksi sebagai penanggung jawab yang setiap hari memimpin, mengevaluasi serta melakukan monitoring terhadap semua kegiatan penugasan sampai dengan di ruang newsroom.
Yang lebih sering dipikirkan oleh para jurnalis adalah gawatnya suatu kondisi apabila dampak hasil karya jurnalistiknya berkembang sehingga mencetuskan suatu pengaduan dan bahkan laporan resmi ke Polisi sebagai awal dari langkah gugatan.
Untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang memenuhi kondisi dinamis suatu konten berita, maka di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers diatur mengenai kontrol masyarakat, yakni Hak Jawab.
Di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers pada Pasal 5 Ayat 2, diatur bahwa “Pers wajib melayani hak jawab”. Dengan demikian permintaan akan Hak Jawab tersebut wajib dilayani oleh media selaku penulis produk jurnalistik di dalam media yang terkait.
Hak Jawab memungkinkan suatu pihak untuk memperbaiki kekeliruan pemberitaan. Hal ini dimungkinkan apabila saat berita yang diliput masih berkembang, seperti terjadinya kecelakaan atau bencana yang menimpa satu atau beberapa atau sekelompok orang.
Perkembangan di lapangan tidak mungkin dapat segera diketahui oleh narasumber mau pun oleh jurnalis yang dikejar oleh kepentingan tenggat waktunya.
Hak Jawab memang diatur secara singkat. Tetapi Hak Jawab ini memberikan kewajiban kepada Jurnalis dan Media yang mengayominya untuk mempersilakan suatu pihak dalam memberikan versi atau opini mereka tentang suatu kejadian yang dialaminya.
Jawaban dari pihak yang menggunakan hak tersebut adalah hak dari masyarakat dan pemuatannya di suatu media tidak boleh dikenakan biaya.
Di dalam prakteknya, Hak Jawab ini juga harus memberikan konteks jawaban tersebut, baik dengan narasi, kesimpulan tentang pemberitaan tersebut atau dengan memberikan link atas berita yang dibicarakan.
Pihak yang bersangkutan perlu memberikan keterangan tentang kondisi yang dialaminya, baik sebagai narasumber, saksi mata mau pun pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan.
Oleh sebab itu, pihak yang bersangkutan dapat membuat naskah untuk menjawab terhadap berita yang dirasakannya merugikan atau merusak pemahaman atas ucapan dan/atau tindakannya. Seberapa banyak naskah Hak Jawab dimuat sudah tentu merupakan diskresi dari redaktur dan pemimpin redaksi.
Di sisi lain, masyarakat juga berhak memperoleh informasi yang benar dan akurat. Pers wajib mencegah terjadinya penyimpangan dalam menjalankan kemerdekaannya di bidang jurnalistik.
Hak Jawab ini juga merupakan suatu mekanisme yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan agar kinerja pers diawasi oleh pemangku kepentingannya yang terbesar yakni masyarakat yang diwakilinya.
Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan juga menyediakan kontrol atau kendali lainnya terhadap pers, yakni dengan menyediakan Hak Koreksi. Perbedaannya dengan Hak Jawab adalah pada faktor yakni pihak yang melakukan perbaikan.
Kewajiban koreksi bertumpu pada inisiatif pers atau media yang telah membuat dan memuat berita tersebut.
Hasil karya jurnalistik yang dihasilkannya, saat terjadi perkembangan suatu berita atau peristiwa, utamanya yang bersifat regional mau pun nasional, patut disesuaikan keakuratannya.
Kewajiban koreksi bertumpu pada inisiatif pers. Diminta atau tidak diminta, jika seorang jurnalis menemukan kesalahan dan ketidak akuratan data dan atau info dalam karya jurnalistiknya, maka Pers wajib melakukan koreksi.
Self-correction ini merupakan salah satu bukti bahwa pers menganut prinsip moralitas sebagaimana diingatkan di dalam Kode Etik Jurnalistik.
Sehingga, sewaktu pihaknya menyadari bahwa ia telah membuat kekeliruan atau kesalahan, ia akan langsung memperbaikinya dan mengkoreksinya.
Hak Koreksi wajib dilakukan walau pun tidak ada pihak yang meminta atau pun menuntut suatu koreksi. Jurnalis wajib untuk melakukannya. Dan apabila diperlukan, pihak media/Pers wajib menyertainya dengan permohonan maaf.
Hak Koreksi menunjukkan bahwa bagi Pers, kepentingan publik berada pada kedudukan yang utama.
Sebelum menyudahi penulisan pada kolom editorial ini, perlu diingat lagi satu perkara. Peliputan seorang jurnalis terhadap seorang tokoh yang sedang menjabat dalam jabatan publik dan sedang dalam kapasitas sebagai seorang pejabat publik, maka insan pers dan institusi media yang menaunginya tidak dapat dihukum.
Jurnalis tidak dapat dituduh melakukan pencemaran nama baik saat ia melaksanakan tugasnya. Pada saat ia melakukan tugasnya, maka ia mendapatkan perlindungan dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan di bidang jurnalistik.
Apabila seorang pejabat publik, atau pun perwakilannya, baik secara langsung atau tidak langsung, melakukan panggilan atau mengirimkan teks melalui media seluler atau aplikasi platform digital kepada jurnalis, dengan permintaan untuk mengubah judul atau konten suatu karya jurnalistik yang sudah memasuki newsroom, maka itu sudah masuk ke dalam kategori intervensi kemerdekaan pers.
- Qurban dan Teladan Kepemimpinan Pemuda Nabi Ismail AS
- JMSI dan Tantangan Arus Utama Media Siber di Tanah Air
- Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi Artificial Intelligence: Bidang Jurnalistik Bagaimana?