- Kejadian Kecelakaan Di Perlintasan Sebidang Sudah Menjadi Isu Nasional
- Mudik Tidak Sekedar Lancar
- Saatnya Reformasi Penegakan Hukum Maritim!
Baca Juga
Di tengah dunia yang dilanda ketidakadilan dan ketimpangan geopolitik, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto memiliki peluang besar untuk menegaskan posisinya sebagai kekuatan maritim dan pemimpin moral di Asia Tenggara.
Komitmen Indonesia terhadap keadilan global, terutama dalam solidaritas terhadap perjuangan Palestina, semakin terlihat jelas melalui pidato Presiden Prabowo di Summit D-8 di Mesir, di mana beliau menegaskan bahwa Indonesia akan terus memperjuangkan hak-hak Palestina, sambil menjaga stabilitas dan perdamaian regional.
Kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo ke lima negara penting di Timur Tengah - Uni Emirat Arab, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania - menandai babak baru dalam diplomasi aktif Indonesia, terutama dalam merespons genosida yang sedang berlangsung di Gaza, yang mendapat kecaman luas dari dunia Islam.
Dalam konteks ini, ada urgensi untuk mempertimbangkan langkah diplomatik yang lebih tegas terhadap mereka yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam pendudukan dan kekerasan terhadap rakyat Palestina. Salah satu langkah yang mungkin diambil adalah penerapan gunboat diplomacy di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, yang melintasi Selat Malaka.
Langkah ini bisa melibatkan inspeksi atau penolakan pelayaran kapal-kapal yang terkait dengan Israel atau yang mendukung agresi tersebut sebagai bentuk tekanan simbolik namun berdampak.
ALKI Selat Malaka: Jalur Maritim Strategis
ALKI I, yang melintasi Selat Malaka, adalah salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Ribuan kapal dagang melintasi perairan ini setiap harinya, menghubungkan Asia Tenggara dengan Asia Timur. Indonesia memiliki kedaulatan atas perairan teritorial dan yurisdiksi maritim di sekitarnya, namun tetap mengakui prinsip innocent passage bagi kapal-kapal sesuai dengan hukum laut internasional.
Namun, prinsip ini tidak tanpa syarat. Jika suatu negara melanggar hak asasi manusia, melakukan agresi militer, atau melakukan genosida, negara pemilik wilayah memiliki hak untuk memperketat pengawasan dan menolak kapal-kapal yang memiliki afiliasi politik atau militer tertentu, yang melanggar perdamaian dan keamanan regional. Langkah ini bisa menjadi cara untuk menanggapi dukungan Amerika Serikat terhadap Israel dalam agresinya di Gaza, terutama selama gencatan senjata.
Gunboat Diplomacy: Tekanan Simbolik Bernilai Strategis
Gunboat diplomacy sering kali disalahpahami sebagai sekadar pamer kekuatan militer, padahal sejatinya ini merupakan simbol dari kekuatan negara dan peringatan bahwa negara tersebut siap menggunakan kekuatan militer untuk mendukung kebijakan politiknya. Dalam konteks ini, pengerahan terbatas armada TNI AL untuk melakukan inspeksi, pengawasan, atau bahkan penolakan terhadap kapal-kapal yang terafiliasi dengan kepentingan Israel atau yang mendukung tindakan militer di Gaza akan mengirimkan pesan yang kuat kepada komunitas internasional.
Untuk memperkuat dampak dari langkah ini, Indonesia bisa mengundang angkatan laut Malaysia, China, dan Rusia untuk ikut membantu mengawasi Selat Malaka, terutama di perairan internasional. Negara-negara ini, yang secara historis kritis terhadap dominasi Barat dan sering mendukung perjuangan Palestina, akan memberikan bobot lebih pada sikap Indonesia dan menciptakan keseimbangan kekuatan baru di kawasan. Partisipasi mereka juga akan mencegah adanya provokasi dari kekuatan asing yang mungkin berusaha menekan Indonesia.
Selain itu, kehadiran TNI-AU Indonesia dan Angkatan Udara Malaysia juga dapat memperkuat supremasi Angkatan Laut di Selat Malaka. Ini akan menyeimbangkan kehadiran militer AS di Timur Tengah, yang mendukung Israel dalam serangan terhadap Gaza meskipun ada gencatan senjata.
Dorongan Moral dan Legitimasi Regional
Palestina, dalam pernyataan terbarunya, secara terbuka mengungkapkan kekecewaannya terhadap negara-negara Islam yang hanya mengeluarkan kutukan simbolik tanpa tindakan nyata. Dalam konteks ini, Indonesia - sebagai negara demokrasi terbesar dengan mayoritas Muslim dan sejarah panjang dalam mendukung Palestina - tidak cukup hanya dengan berbicara. Tindakan simbolik dengan dampak strategis, seperti pembatasan logistik Israel melalui jalur maritim, akan menjadi bukti nyata keberpihakan Indonesia.
Apalagi jika langkah ini dilakukan bersama dengan Malaysia, yang memiliki kedekatan geopolitik dan posisi maritim yang berdekatan. Langkah kolektif ASEAN atau Koalisi Negara-negara Muslim akan memperkuat legitimasi dan menghindari konfrontasi terbuka.
Risiko dan Pertimbangan
Tentu saja, gunboat diplomacy tidak tanpa risiko. Reaksi dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Israel mungkin akan muncul. Namun, di sinilah diplomasi paralel yang cerdas diperlukan. Kunjungan kenegaraan ke Turki, Mesir, dan Qatar memberikan peluang bagi Indonesia untuk berkoordinasi dengan negara-negara tersebut dalam merancang langkah bersama yang tidak terisolasi. Koordinasi dengan negara-negara Timur Tengah akan mengubah tekanan unilateral menjadi konsensus global.
Indonesia juga harus memastikan bahwa langkah ini tetap sesuai dengan hukum internasional — tidak menargetkan warga sipil atau aktivitas netral — namun fokus pada simbol dan sistem ekonomi yang mendukung kejahatan kemanusiaan.
Momentum untuk Kepemimpinan Global
Presiden Prabowo kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ia membawa warisan nasionalisme dan kekuatan militer. Di sisi lain, dunia menantikan tindakan konkret, bukan hanya kecaman.
Gunboat diplomacy di Selat Malaka, jika dilakukan dengan bijaksana, proporsional, dan terkoordinasi, dapat menjadi strategi diplomatik yang menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya pengamat, melainkan penggerak keadilan global. Dengan langkah ini, Prabowo dapat melangkah lebih jauh dari hanya sekadar pemimpin nasional, dan bahkan menuju derajat kepemimpinan yang setara dengan Presiden Soekarno, yang dikenal dengan visinya yang global dan keberaniannya dalam memperjuangkan kemerdekaan serta keadilan dunia.
Presiden Soekarno, sebagai pendiri bangsa yang berani mengambil sikap tegas di kancah internasional dalam melawan kolonialisme, menempatkan Indonesia di peta dunia sebagai negara yang tidak takut berbicara untuk keadilan. Jika Presiden Prabowo mengambil langkah diplomatik ini dengan keberanian yang sama, ia tidak hanya akan memperkuat posisi Indonesia di tingkat global, tetapi juga melanjutkan tradisi besar yang telah dibangun oleh Soekarno - Indonesia sebagai pembela keadilan dan martabat manusia.
Saatnya Indonesia, di bawah kepemimpinan Prabowo, menulis bab baru dalam sejarah solidaritas umat manusia. Dengan keberanian yang terukur, kemitraan global yang cerdas, dan moralitas yang teguh, Indonesia dapat menjadi mercusuar keadilan di tengah kegelapan genosida, dan mengangkat status Prabowo ke tingkat kepemimpinan dunia yang sejajar dengan tokoh-tokoh besar sejarah.
*) Tommy Tamtomo, Wakil Ketua, Pusat Studi Air Power Indonesia
- Dari Demak: 350 Pohon Alpukat Aligator Siap Gebrak Pasar Nasional!
- Lenggak-Lenggok Emansipasi, Ketika Tari Menjadi Bahasa Perjuangan Perempuan
- Cegah Kecelakaan Dan Balap Liar, Jalan Desa Getas Blora Dipasang Pita Kejut