Gosip Sensitif Badan Penerimaan Negara

Agus Widyanto; Wartawan, Peminat Budaya Dan Falsafah Jawa. Istimewa
Agus Widyanto; Wartawan, Peminat Budaya Dan Falsafah Jawa. Istimewa

Uang, duit, cuan, kepeng, selalu menjadi tema menarik bagi siapa saja. Tema uang, bahkan gosipnya pun, menarik untuk semua kalangan. Dari rakyat jelata sampai pejabat tinggi negara serta pengusaha dari yang level mikro sampai konglomerat, tidak mungkin steril dari persoalan uang, atau apa pun yang bisa disetarakan sebagai harta kekayaan.


Wajar jadinya menjelang pergantian kepemimpinan nasional yang akan dilaksanakan 20 Oktober 2024, salah satu gosip yang menarik, dan bisa jadi membuat waswas masyarakat adalah kehadiran Lembaga baru yang ada di dalam Visi-Misi dan Program Prioritas Prabowo-Gibran: Badan Penerimaan Negara. Sebuah Lembaga baru yang bakal mengambil alih peran Kementerian Keuangan yang sampai sekarang menjalankan fungsi ganda sebagai pemungut sekaligus pembelanja dalam kapasitasnya sebagai Bendahara Negara, khususnya tanggung jawab dalam hal menghimpun pendapatan negara dari pajak dan cukai.

Karena pajak, cukai serta pembayaran atas jasa pelayanan umum berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat secara keseluruhan juga karena akan mengurangi kewenangan sebuah kementerian yang memiliki sejarah panjang, maka rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara menjadi gosip yang sensitif. Barangnya belum ada, tapi getaran pengaruhnya sudah sangat terasa.

Yang mengherankan, banyaknya wacana tentang Badan Penerimaan Negara yang muncul justru membuat publik makin bingung. Bikin bengong. Wacana di media massa mau pun media sosial lebih cenderung mengangkat tema perlu-tidaknya lembaga itu hadir. Atau bahasa halusnya untung-rugi. Kalau pun keluar dari itu, temanya siapa yang cocok memimpinnya. Sangat politis dan pragmatis.

Tidak ada yang salah dengan itu, menerawang calon pemimpin adalah wacana yang sehat dalam sistem demokrasi. Yang perlu dihindari adalah melontarkan isu, wacana yang menyebabkan ketidakpastian, menyebabkan rasa waswas masyarakat. Sepatutnya, berikanlah informasi, pengetahuan, dan pemahaman yang memadai agar bisa menjadi pertimbangan publik dalam mengambil keputusan yang relevan. Sementara ini publik lebih banyak dijejali muatan-muatan yang dirancang untuk kepentingan tertentu.

Sejatinya, usulan pembentukan Badan Penerimaan Negara adalah ide yang brilyan, relevan, dan sangat menarik untuk dipertimbangkan. Setidaknya dalam beberapa era pemerintahan, konsep ini telah muncul. Menteri Keuangan pertama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Anwar, gagal mewujudkan gagasan tersebut karena hanya satu tahun menjabat. Penerusnya, Sri Mulyani, yang dalam kabinet pertama SBY menjabat Kepala Bappenas, juga tidak merespons gagasan tersebut.

Sri Mulyani Indrawati (SMI) diduga kuat orang yang menolak ide Badan Penerimaan Negara, mungkin sejak era masuk kabinet SBY. Dalam suatu forum, co-founder Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman yang pernah 29 tahun bertugas di Direktorat Jenderal Pajak, mengungkapkan sejak ide itu muncul tahun 2005 selalu ditentang SMI. Alasannya, membuat koordinasi menjadi lebih sulit dilakukan. Konon Menkeu SMI meminta syarat untuk realisasi konsep tersebut, yaitu penerimaan negara sudah di atas Rp 1.000 triliun, dan ‘tidak pada zaman saya (menjabat Menkeu)’.

Kabinet Jokowi-JK yang dianggap perkasa karena dukungan banyak pihak, pada masa transisi sebelum dilantik janji membentuk Badan Otoritas Pajak dan Badan Penerimaan Negara, sayang gagal. Padahal Andi Widjajanto, Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, mengungkapkan pembentukan dua lembaga baru itu dimaksudkan menggenjot penerimaan negara. Apa daya, Menkeu Bambang Brodjonegoro (27 Oktober 2014 - 27 Juli 2016) tak berhasil mewujudkannya.

Begitu Bambang diganti SMI, maka rencana pemisahan kewenangan di Kementerian Keuangan seperti kembali ke laptop. Kembali ke konsep semua, tidak dapat dilaksanakan. SMI tidak ingin di masa jabatannya kewenangan Kementerian Keuangan dipisah, meski pendapatan negara di tahun 2016 sudah di atas Rp 1.000 triliun. Terbukti 10 tahun Jokowi menjadi Presiden, pembentukan Badan Penerimaan Negara tidak kunjung terwujud.

Cerita Badan Penerimaan Negara ternyata hangat lagi karena pasangan Prabowo-Gibran yang menang dalam Pemilu 2024, mencanangkan pembentukan Badan Penerimaan Negara dalam agenda prioritasnya. Pembentukan lembaga baru didukung niat yang sangat baik, meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional yang saat ini 10% menjadi 23%. Harapan besarnya, penerimaan negara melampaui kebutuhan belanja di APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

Supaya tidak terjadi kasala-mana yang artinya kliru tampa (salah menangkap), sebaiknya Badan Penerimaan Negara tak memakai akronim BPN karena sudah dipakai Badan Pertanahan Nasional. Cari akronim lain seperti Baperna, Banara, Bamara juga boleh. Terserah, yang penting tidak mengganggu Badan Pertanahan Nasional.

Masyarakat tentu punya harapan kehadiran Lembaga baru tersebut agar Ora salah gawe, ora salah kedaden, lan ora salah weweng (tidak berbuat di luar kewenangannya, aneh, dan menyalahgunakan wewenang). Fungsi, kewenangan, dan tanggung jawabnya harus jelas, klir, cetha, mudah dipahami orang banyak. Tidak perlu ndakik-ndakik.

Sebuah keniscayaan sesensitif apa pun isunya, selalu akan dikaitkan dengan personel, orang, yang dianggap cocok memimpin institusi baru. Di ruang omon-omon, muncul beberapa nama yang dipandang pas untuk memimpin Badan Penerimaan Negara. Jika diurutkan berdasarkan abjad dari nama pertamanya ada Anggito Abimanyu, Bambang Brodjonegoro, Edi Slamet Irianto, dan Misbakum.

Publik bisa mereka-reka tentang siapa yang cocok, pas, memimpin lembaga yang diharapkan menyatukan penerimaan negara yang sekarang tercerai-berai, berserakan (scattered) di banyak institusi dan lembaga sehingga sulit dikontrol.

Tentang Anggito Abimanyu sudah banyak yang tahu. Pernah menjabat Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dan Direktur Jenderal Haji dan Umroh di Kementerian Agama. Dosen FEB UGM ini juga sempat menjadi bahan perbincangan saat gagal dilantik sebagai Wakil Menteri Keuangan oleh Presiden SBY tahun 2010 gegara golongan kepangkatannya.

Nama Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro juga tidak asing. Meniti karir sebagai dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menjadi Wakil Menteri Keuangan di era SBY, selama setahun menjadi Menteri Keuangan Kabinet Jokowi-JK bergeser menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia, kemudian menjadi Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional 23 Oktober 2019 – 28 April 2021.  Pada masa jabatannya, Bersama DPR lahir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Adapun nama Edi Slamet Irianto (Esi) adalah orang yang lama mengabdi di Kementerian Keuangan, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Dirjen Pajak. Selain berkarir di DJP, Esi bertekun melanjutkan studinya sampai jenjang strata tiga hingga meraih gelar doktor Bidang Ilmu Administrasi Negara dari Universitas Gajah Mada dipromotori Prof Miftah Thoha, serta Prof Warsito Utomo serta Prof Mardiasmo selaku ko-promotor. Disertasinya tentang kebijakan pajak, diterbitkan menjadi buku yang cukup popular. Edi saat ini menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Wadokai atau Wadokai Karate-Do Indonesia.

Sementara Misbakun memulai karir politiknya di Partai Keadilan Sejahtera, kemudian bergeser ke Partai Golkar dan ditempatkan di Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan dan perbankan. Alumni STAN ini pernah menjadi pegawai di Dirjen Pajak sebelum memilih keluar untuk menjadi pengusaha.

Soal nama-nama yang muncul, mungkin hanya omon-omon di ruang publik. Tapi bisa jadi itu adalah model kandidasi era demokrasi sekarang ini. Bagaimana wujud Badan Penerimaan Negara, kita percayakan pada Tim Prabowo. Siapa yang mau dipilih sebagai komandannya, keutusan ada di tangan Prabowo Subianto sebagai pemegang hak prerogatif.

Tulisan ini adalah pandangan dan opini pribadi tidak mewakili/merepresentasikan institusi atau lembaga di atas.