Budaya tayub merupakan salah satu khas budaya Kabupaten Grobogan kini mulai meredup. Beberapa warga di ujung Grobogan seperti Desa Tegalrejo Kecamatan Wirosari, Randurejo Kecamatan Pulokulon hingga saat ini masih gemar dengan budaya tersebut.
- Ada Dress Code Berkebaya Pada Imlek 2025 Ini Di PIS Semarang
- Festival Ogoh-Ogoh, Kedepankan Semangat NKRI
- Wulan Purnama Sari Ingin Bangkitkan Gairah Kesenian Tradisional
Baca Juga
Namun, berubahnya generasi kekinian mengakibatkan budaya seni Tayub semakin tergusur hingga banyak ledhek (penari seni tayub) beralih profesi. Pendapatan diraup hasil menari sudah tidak mencukupi kebutuhan mereka. Kondisi perekonomian yang tidak mencukupi mengharuskan mereka beralih profesi lainnya.
Seperti salah satu Ledhek legendaris Grobogan, Lampi (60). Saat ini dirinya berprofesi sebagai pedagang kreditan. Perempuan terkenal dengan kemerduan suaranya itu, mengaku sudah pensiun dari dunia Tayub lima tahun lalu. Hal itu karena faktor usia semakin menua serta penampilan sudah tak seindah dulu lagi.
"Sebenarnya, masih ada yang ngejob tapi saya tolak halus, saya sudah malu merasa tak muda lagi. Biar yang muda saja," ujarnya saat ditemui RMOLJateng di kediamannya di Dusun/ Desa Kropak Kecamatan Wirosari Kabupaten Grobogan.
Dia memutar bola matanya sembari membangkitkan kenangan menjadi ledhek sekitar tahun 1989. Kala itu dia mantap menjadi penari ledhek karena enggan dijodohkan dengan seorang pria tak disukainya.
"Saat itu saya belum ingin menikah, masih banyak keinginan yang ingin saya capai. Saya nekad dan alhamdulillah saya bisa," tuturnya.
Perempuan kelahiran 1963 itu mengatakan, terjunnya ke dunia Tayub mendapat tentangan dari orang tuanya. Namun dirinya tetap bersikeras. Lambat laun orang tuanya pun merestui dirinya di dunia Tayub.
"Bapak saya sempat minggat ke Semarang, mungkin karena malu, saya menjadi seorang ledhek," ungkap perempuan pemilik nama panggung Lastri ini.
Di era 80 an, lanjutnya, seni Tayub menjadi hiburan paling menarik bagi rakyat Grobogan dan sekitarnya. Bahkan menjadi seorang ledhek menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi para pelantun lagu-lagu Jawa.
Dia mengatakan, saat itu seni Tayub hampir digemari semua kalangan bahkan hampir merata di Jawa Tengah dirinya mendapat undangan manggung.
"Bahkan, saking larisnya saya sempat manggung selama 14 hari berturut-turut, saat itu dapat upah Rp7500," kenangnya.
Daya Magis Penari Tayub
Di dunia Tayub, hal mistik sudah menjadi kewajaran bahkan kepercayaan masyarakat Kropak Kecamatan Wirosari Grobogan. Siapapun mendapat pulung, dari Punden Raden Bagus Citra mampu menjadi ledhek terkenal.
Di Punden Kropak itu, dipercaya masyarakat dihuni oleh pedanyangan melahirkan seni Tayub pertama kali. Selain Raden Bagus Citra, di Punden itu dihuni Raden Ayu Sekaring Bumi, Raden Ayu Suket Teki, Raden Ayu Murni dan Mbah Wage.
Punden Raden Bagus Citra Kropak Wirosari Grobogan. RMOL Jateng
"Sebelum memulai berkarir di dunia Tayub, saya merasa dimandikan oleh sosok pria berperawakan gagah berjenggot, dia disebut Raden Bagus Citra. Namun yang ikut saya saat itu Raden Ayu Sekaring Bumi," jelasnya.
Lampi mengetahui dirinya mendapat pulung sebagai penari Tayub oleh sesepuh desa setempat. Namun ada syarat harus dilakukan yakni menahan berhubungan dengan laki-laki manapun selama dua tahun.
"Saat itu saya masih gadis, lumayan banyak yang mengajak gituan, bahkan tak jarang mengajak berhubungan rumah tangga, namun saya tetap teguh hingga mampu melewati masa dua tahun," ungkap Ratu Tayub tersebut.
Tepat dua tahun menahan diri, akhirnya dirinya menikah dengan warga Sidorejo Pulokulon. Namun baru dua tahun, hubungan mereka kandas akibat kecemburuan suaminya berlebihan.
"Saat pacaran dengan Nardi, (suami pertama) dirinya sudah diperingatkan sama Mbah Wage (sosok Gandarwo yang selalu mengawasinya) sering mengingatkan, bahkan berulang-ulang, namun saya abaikan. Hingga pernikahan kami kandas," paparnya.
Hingga dirinya kembali menjalin hubungan ke dua dengan warga Doplang Blora, Joko Purwanto. Sayangnya sang suami kini telah tiada kena serangan jantung saat pandemi Covid-19 melanda.
"Para ledhek yang ingin popularitasnya naik dan ingin cepat terkenal banyak yang mendatangi punden dengan membawakan sesaji. Untuk sesaji biasanya mereka membawa satu ayam panggang, kembang telon, pisang raja dan rokok aroma melati," ujarnya.
Sesajen disiapkan mengikuti selera. Misalka, Raden Bagus Citra, lanjutnya, menyukai rokok dan ayam panggang. Sedangkan, untuk Raden Ayu Sekaring Bumi lebih menyukai kembang telon. Sementara untuk Mbah Wage menyukai Pisang Gablok.
"Tiap akan manggung biasanya para ledhek memberi sesajen. Hal itu dipercaya dapat menambah kharismatik dan keanggunan saat pentas," terangnya.
Para Ledhek Dibuai Janji Manis Hidung Belang
Tak jarang para ledhek jatuh ke pelukan laki-laki tak bertanggungjawab karena banyaknya tawaran dan iming-iming diberikan para lelaki hidung belang.
Lampi mengaku bukan hanya puluhan kali dirinya mendapatkan tawaran selain manggung. Namun dirinya selalu menolak dengan halus hingga mereka tak menaruh dendam padanya.
Namun begitu, banyak juga ledhek tergiur sehingga menghalalkan cara demi mendapatkan uang. Biasanya berkembangnya ekonomi pesat, melebihi batas kewajaran tanpa adanya bisnis lain dimiliki ledhek adalah salah satu cirinya.
"Banyak dari kawan-kawan, tiba-tiba kaya dalam waktu singkat, bisa jadi karena dapat job selain manggung. Buktinya, saya sendiri sudah manggung lebih dari 30 tahun perekonomian masih biasa saja," ungkapnya.
Namun, imbuhnya, semua adalah pilihan memiliki resiko masing-masing. Sementara dirinya memilih mendring (berdagang kredit).
Terpisah, Sekretaris Desa Kropak Sutopo mengatakan, para ledhek saat ini masih digemari di beberapa kabupaten di sekitar Grobogan.
"Hingga saat ini job ledhek masih banyak digemari seperti di Pati, Sragen, dan Ngawi, banyak pesta pernikahan yang menghadirkan Tayub sebagai hiburan para tamu-tamunya," ujarnya.
Mengenai minuman biasanya dalam pagelaran seni Tayub erat dengan minuman keras. Biasanya ada satu bandar minuman yang menyuguhi para tamu undangan dengan minuman tersebut. Tujuannya agar lebih menikmati saat diberi sampur untuk menari.
- Festival Komuniko Ke-10 Bertajuk Jateng Bungah
- Kabupaten Magelang Kirim Duta Seni Tari Soreng ke Event Banyuwangi Ethno Carnival 2024
- Pemkot Optimalkan Potensi Seni dan Budaya di Semarang