Media sosial akhir akhir ini ramai dengan unggahan trilingual atau multilingual. Hal ini bermula saat ada unggahan viral sebuah paragraf yang ditulis menggunakan beberapa bahasa sekaligus.
- Operasi Patuh Candi 2022, Dir Lantas Polda Jateng : Jawa Tengah Terkenal Santun dalam Berlalu Lintas
- Komitmen Kuat Pemerintah Dan Masyarakat Prasyarat Pengendalian Covid-19
- Peningkatan Pemahaman Kesetaraan Gender Harus Diwujudkan Bersama
Baca Juga
Bahkan Instagram resmi @bipakemdikbud pun tidak ketinggalan tren dengan membuat paragraf yang mencampur beberapa bahasa yakni bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Inggris, dan bahasa Korea.
Pakar bahasa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum. menanggapi fenomena bahasa ini, ditilik dari linguistik fungsional yang berdimensi pada triadik yakni bentuk, fungsi, dan konteks.
"Konteks memegang peranan penting dalam penggunaan multilingual atau multibahasa pada kehidupan sehari-hari. Tuturan tersebut pun memiliki maksud tersirat khusus. Di situ pasti ada implikatur tersendiri. Implikaturnya apa yakni maksud tersiratnya apa," kata Romadi, Jumat (21/1/2022).
Sejumlah makna, Pertama, ada yang menggunakan multibahasa sebagai pembeda dirinya dengan orang lain.
Ada yang menggunakan multibahasa untuk menjaga reputasi bahwa dia menguasai banyak bahasa.
Ada juga yang bertujuan menarik pembaca atau penonton dan juga ada yang bertujuan sebagai daya persuasif. Ini masing-masing terintegrasi dalam fungsi kebahasaan.
Fenomena multibahasa di Indonesia bisa dikatakan lumrah karena berdasarkan survei yang dilakukan oleh laman SwiftKey, Indonesia merupakan negara yang memiliki penutur tribahasa terbesar di dunia. Indonesia unggul di atas Israel dan Spanyol yang berturut-turut menempati posisi kedua dan ketiga.
Penggunaan multibahasa ini juga menurut Dr. Rohmadi menandakan bahwa penuturnya memiliki banyak wawasan sehingga berusaha untuk mengolaborasikan, mengkreasikan, dan menginovasikan bahasa yang ia kuasai.
Dr. Rohmadi mengatakan bahwa banyak faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia merupakan penutur tribahasa atau multibahasa. Faktor pertemuan budaya dan perkembangan teknologi disebut paling dominan mengakibatkan fenomena ini.
“Trilingual ini bisa terjadi akibat pertemuan budaya dari berbagai wilayah dan perkembangan teknologi. Dengan perkembangan teknologi itu, kita sekali ketuk bisa masuk ke semua lini. Kita tidak bisa bahasa apa pun tinggal buka google bisa tahu artinya,” ungkap dosen Sosiopragmatik di S2 Pendidikan Bahasa Indonesia UNS ini.
Dengan menguasai beberapa bahasa, penutur sering kali mencampur bahasa yang mereka kuasai saat berbicara atau pun menulis. Meski dikhawatirkan dapat merusak bahasa, Dr. Rohmadi menjelaskan hal itu harus dikembalikan lagi ke konteks pemakainya.
Merusak dan tidak itu bergantung konteks pemakainya. Kalau pemakai melihat konteksnya, pemakai tidak akan menggunakan itu kalau konteksnya formal.
Sering kali mereka menggunakan multilingual di konteks nonformal. Maka dari itu, pemakai bahasa ini harus empan papan lan panggonan dan bersikap dewasa dalam berbahasa.
“Kedewasaan berbahasa itu terbangun secara situasional. Kedewasaan itu bergantung lawan tuturnya siapa, situasinya seperti apa, dan orientasinya apa,” pungkasnya.
- Semua Pelanggan KAI Wajib Vaksin
- DPP Taruna Merah Putih Kecam Keras TikTokers Hina Megawati dan Minta Tidak Terulang
- Lebih Dekat Dengan Masyarakat, 234 SC Jateng Fokuskan Kegiatan Sosial