Praktik jual beli 'kursi' dan pungutan liar (pungli) dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 masih terÂjadi. Padahal, pemerintah berjanji akan menutup celah kecurangan tersebut.
- Tiru Pembinaan Atlet, DPRD Jawa Tengah 'Berguru' ke Jatim
- KPK Panggil 4 Saksi Untuk Tersangka Korupsi Politisi Demokrat
- Oknum Polisi Yang Jual Beli BBM Ilegal Terancam Dipecat
Baca Juga
Peneliti dari Indonesia Coruption Watch (ICW) Siti Juliantari menyebutkan, jumlah laporan jual beli bangku sekolah dan pungli tahun ini hampir sama dengan tahun kemarin. "Aktornya masih sama saja, seperti kepala sekolah, guru, dan komite sekolah," katanya di Jakarta.
Pihaknya mendapat laporan, tawaran jual beli kursi terjadi sebelum dan sesudah proses PPDB yang ditutup pada Jumat, 13 Juli lalu. Misalnya yang terjadi di SDNIbu Jenab ICianjur. Disana ada oknum guru yang memungut sejumlah uang kepada orang tua dengan iming-iming anak mereka bisa masuk SMP tujuan.
Tak hanya itu, ada laporan yang menyebutkan satu kursi sekolah dijual seharga Rp5 juta-Rp15 juta. "Kalau di sekolah favorit bisa lebih dari itu. Hal ini terus berulang setiap tahun," keÂluhnya. Potensi korupsi di institusi pendidikan juga muncul melalui pungutan liar dalam PPDB.
Pungutan liar yang terjadi memang tidak terang-terangan meminta uang. Namun bisa dalam bentuk uang seragam, uang buku, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan biaya perbaikan maupun peningkatan fasilitas sekolah yang dikenakan secara wajib terhadap siswa.
Sementara Permendikbud no. 14 tahun 2018 tentang PPDB secara tegas menyebutkan, sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah maupun masyarakat yang menerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dilarang melakukan punÂgutan atau sumbangan apa pun saat PPDB.
"Sumbangan memang diperÂbolehkan selama tidak ditentuÂkan besarnya dan tidak terikat waktu. Tapi dari laporan yang diterima, besaran sumbangan ditetapkan dan waktu membaÂyarnya juga ditentukan. Ini jelas pungutan," sebutnya.
Selain itu, Permendikbud no. 75 tahun 2016 juga melarang sekolah menyediakan atau menÂjual peralatan sekolah seperti seragam, buku apalagi LKS. Aturan ini diterbitkan untuk mencegah terjadinya korupsi dan kolusi saat penjualan buku dan seragam dilakukan.
"Biasanya distributor atau penerbit memberikan fee yang cukup besar kepada guru yang membantu menjualkan buku keluaran mereka, di situ potensi kolusi terjadi," kata Tari.
Seharusnya, guru hanya boleh merekomendasikan buku-buku tertentu yang dianggap memiliki materi pembelajaran yang bagus untuk diajarkan kepada siswa. "Tapi sebatas merekomendasiÂkan, siswa silakan membeli atau mendapatkan sendiri di luar sekolah. Intinya sekolah tidak boleh menghimpun uang untuk membeli buku dan seragam dari siswa," tandasnya.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid mengataÂkan, masih banyak orang tua ingin anaknya masuk sekolah walaupun harus bayar. Akibatnya marak terjadi pungutan liar.
"Jual beli kursi bisa masuk tapi bayar. Kalau pungli kan dari macam-macam saat pendaftaran, ada yang saat tarikan daftar ulang. Orang menganggapnya pada proses pendaftaran gratis kemudian juga kan peraturannya juga jelas," terangnya.
Menurut Ubaid, dari sekian banyak laporan hanya sedikit pelaku pungli dan jual beli kursi yang diberi sanksi.
"Banyak yang tidak terdeteksi lebih banyak yang lepas dariÂpada yang ketangkap. Karena mereka sudah mengantisipasi," sebutnya.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy mengklaim, sistem zonasi berhaÂsil memperkecil praktik kecuranÂgan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dengan sistem itu, tidak ada praktik jual beli kursi maupun murid titipan di sekolah tertentu.
Muhadjir berjanji akan menindak tegas jika ada kasus keÂcurangan dalam PPDB. "Zonasi itu bisa memperkecil prakÂtik jual-beli kursi, dan praktik titipan untuk masuk sekolah itu. Jadi kalau ada, laporkan," ujarnya. ***
- Tiru Pembinaan Atlet, DPRD Jawa Tengah 'Berguru' ke Jatim
- KPK Panggil 4 Saksi Untuk Tersangka Korupsi Politisi Demokrat
- Oknum Polisi Yang Jual Beli BBM Ilegal Terancam Dipecat