Dua Regulator Yang Berkelindan: Dewan Pers Dan Komisi Penyiaran Indonesia

Juni Soehardjo
Juni Soehardjo

Meneruskan upaya penolakan mayarakat pers terhadap Rancangan Undang-undang Revisi Undang-undang Penyiaran (RUU Revisi UU Penyiaran) maka kali ini perlu kita perhatikan dua regulator yang berbeda yang berkelindan di dalam kegiatan pers dan penyiaran.


Dua regulator tersebut sama-sama diamanatkan oleh Undang-undang yang mengaturnya. Pertama, Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers mengamanatkan suatu Dewan Pers yang independen untuk melakukan pengaturan di bidang pers atau jurnalisme. 

Di sisi lain, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran mengamanatkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang prosedur pemilihan dan pelantikannya mengikuti alur pemilihan Komisioner pada umumnya sesuai dengan hukum administrasi di Republik Indonesia. 

Di dalam tulisan ini, KPI yang dimaksud adalah Komisioner Penyiaran Indonesia Pusat.

Saat membahas Dewan Pers, prosedur pemilihan Anggota Dewannya dilakukan dengan cara pemilihan. Komposisi Dewan Pers terdiri dari 9 orang dan para Anggota Dewannya dipilih dari para penggiat pers yang senior di Indonesia. Semua nama-nama yang dipilih adalah nama yang diajukan oleh konstituen Dewan Pers. 

Nama-nama tersebut adalah berdasarkan kesepakatan setiap konstituen. Dari 9 orang tersebut, ada 3 orang yang mewakili masyarakat. Enam orang lainnya berasal dari konstituen untuk mewakili asosiasi profesi wartawan, perusahaan media dan serikat pers. 

Ada pun konstituen Dewan Pers per 2024 ini terdiri dari 11 (sebelas) konstituen. Mereka adalah AJI (Aliansi Jurnalis Independen), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), SPS (Serikat Perusahaan Pers), IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), SMSI (Serikat Media Siber Indonesia), AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia), JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia), PFI (Pewarta Foto Indonesia), ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia), ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia), dan PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Indonesia).

Kesemua konstituen itu bertanggungjawab untuk memilih Anggota Dewan Pers. Anggota Dewan memiliki masa tugas 3 tahun. Pada pemilihan selanjutnya, seorang Anggota Dewan dapat dipilih kembali. Namun, Anggota Dewan hanya dapat bertugas dan dipilih sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali. Setelah itu ia tidak dapat dipilih kembali.

Suatu komite pemilihan para Anggota Dewan Pers dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama para konstituen sekitar 6-9 bulan sebelum masa jabatan Anggota Dewan yang sedang bertugas berakhir. 

Pemilihan para Anggota Dewan berjalan dengan mekanisme yang disepakati dan dengan hasil yang dihormati oleh para konstituen. Sisi kelengkapan dan kelayakan administrasi para kandidat Anggota Dewan didukung dan dikawal oleh Sekretariat Dewan Pers. 

Di sisi lain, KPI Pusat merupakan suatu lembaga yang mengambil jalan administrasi yang mirip dengan dengan prosedur pemilihan komisioner komisi-komisi lainnya yang ada di Republik Indonesia. 

Para calon komisioner akan dipilih melalui fit and proper test yang diawasi dan dibawah ampuan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang diwakili oleh Komisi I. 

Sisi kelengkapan administrasi para kandidat Komisioner KPI dilakukan oleh Tim Seleksi Pemilihan Anggota KPI yakni suatu gugus tugas yang ditunjuk dan ditetapkan untuk itu oleh DPR RI.

Di dalam penyaringan kandidat Komisioner KPI, para calon tersebut harus melakukan berbagai tes seperti tes tertulis dan tes psikologi. 

Kesemua tes tersebut dilaksanakan oleh suatu lembaga yang ditunjuk untuk itu. Berdasarkan hasil tes tersebut, Tim Seleksi Pemilihan Anggota KPI membuat pemeringkatan (ranking) terhadap para kandidat komisioner. Selanjutnya mereka yang lolos dalam pemeringkatan akan masuk dalam proses fit and proper test.

Di dalam Undang-undang Penyiaran tidak disebut komposisi perwakilan para Komisioner, walau pun secara praktek disebutkan adanya perwakilan dari perusahaan penyiaran dan perwakilan dari masyarakat atau publik. 

Komposisi dan prosedur pemilihan KPI ini sangat perlu dimonitor dengan baik oleh masyarakat. Apalagi bila mengingat penyiaran adalah suatu sektor yang memiliki berbagai kelebihan dalam mempengaruhi pemilik suara (vote) dan punya efektivitas komunikasi yang berpengaruh terhadap proses dan hasil-hasil kebijakan dan pengaturan yang berkaitan dengan publik.

Dengan perhitungan sederhana, tentu dapat diperkirakan bahwa pemilihan regulator KPI sarat dengan berbagai kepentingan partai politik yang diwakili oleh para anggota Komisi I DPR RI. 

Berbeda dengan amanat di dalam Undang-undang Pers dimana disebutkan komposisi Anggota Dewan.

Menurut Undang-undang Pers, Pasal 15 ayat (3), disebutkan komposisi para Anggota Dewan adalah mereka yang mewakili wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan, pimpinan perusahaan pers serta tokoh masyarakat, ahli pers dan komunikasi dan bidang lainnya. 

Sehingga secara keseluruhan pemilihan Anggota Dewan Pers ini merupakan suatu hajat besar di antara penggiat pers yang diwakili oleh konstituen Dewan Pers yang memfasilitasi semua kepentingan sektor ini sendiri.

KPI yang diamanatkan oleh Undang-undang Penyiaran memiliki kewenangan untuk menetapkan standar program siaran, menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku, mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, dan melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Pers mencanangkan bahwa dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.

Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Pers langsung mengamanatkan fungsi Dewan Pers yakni untuk melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, dan mendata perusahaan pers.

Undang-undang Penyiaran membuat suatu pengecualian di dalam pelaksanaan kewenangannya yang dapat ditemukan pada Bagian Keempat Tentang Kegiatan Jurnalistik yakni pada Pasal 42.

Pasal 42 Undang-undang Penyiaran tersebut mengamanatkan bahwa “Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Dari perbandingan ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa regulator di kedua bidang tersebut memiliki penjabaran tugas dan kewenangan yang jelas berbeda. 

Dewan Pers wajib melakukan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, dan di dalam praktiknya, Dewan Pers melaksanakan penyelesaian sengketa dan apabila tidak berhasil akan diselesaikan dengan suatu pernyataan yang bersifat mengikat yakni Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers. 

Semua pengaturan mengenai pengaduan kepada Dewan Pers dapat dilihat pada Prosedur Pengaduan Ke Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/VIII/2017 tentang Prosedur Pengaduan Ke Dewan Pers yang masih berlaku sampai sekarang dan merupakan upaya andalan dari berbagai pihak yang bersengketa di bidang pers.

Sementara di dalam berbagai keputusan KPI, kesemua aduan masyarakat yang bersangkutan dengan isi atau konten, akan diselesaikan oleh para Komisionernya. 

Sampai dilakukan penelitian sederhana untuk menulis ini, belum ditemukan adanya keputusan KPI untuk menyelesaikan pengaduan masyarakat. Semua penyelesaian pengaduan rata-rata dalam bentuk pemberian sanksi. 

Sebagai pedoman penyelesaian yang diadukan kepadanya, KPI telah menerbitkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (SP3S) untuk menjalankan amanat Undang-undang Penyiaran.

Di dalam naskah Pedoman Perilaku Penyiaran dan SP3S disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) Lembaga Penyiaran wajib memperhatikan etika profesi yang dimiliki oleh profesi tertentu yang ditampilkan dalam isi siaran agar tidak merugikan dan menimbulkan dampak negatif di masyarakat. 

Pada ayat (2) Pasal 10 dari Keputusan KPI disebutkan pula bahwa “etika profesi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah etika profesi yang diakui dalam peraturan perundang-undangan."

Pasal 10 ayat (2) dari Pedoman Penyiaran dan SP3S inilah yang mengacu langsung kepada Kode Etik Jurnalistik di dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik. 

KPI tidak menerbitkan keputusan tentang Kode Etik Penyiaran karena memahami bahwa para pekerjanya dan karya penyiaran terikat kepada standar dan kode etik profesi feature dan pembuatnya masing-masing, seperti profesi insinyur, profesi kedokteran, profesi ahli hukum, dan terutama profesi jurnalistik. 

Dari perbandingan regulator kedua bidang yang beririsan ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa keduanya memiliki kewenangan yang berbeda, namun terkait erat. Penyiaran jelas memiliki ikatan dengan sektor jurnalistik pada saat pihak lembaga penyiaran membuat suatu karya jurnalistik. 

Di dalam suatu karya jurnalistik maka semua aspek yang berada di dalam karya tersebut harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang Pers. 

Regulator yang mengaturnya sudah tentu Dewan Pers yang menjadi pengampu tunggal dalam mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. 

Yang menarik adalah hilangnya amanat Pasal 42 dari Undang-undang Penyiaran yang masih berlaku di dalam naskah RUU Revisi Undang-undang Penyiaran. Padahal Pasal 42 adalah pasal yang selama ini merupakan suatu pokok pedoman dari penyelenggaraan jurnalistik di bidang penyiaran. 

Menurut praktek ilmu hukum, suatu revisi undang-undang adalah suatu upaya melengkapi dan mengkoreksi kelemahan undang-undang yang sedang berlaku. Revisi adalah suatu tanggapan atas kekurangan sesuatu pengaturan. 

Revisi jelas bukan membangun sesuatu yang baru sama sekali. Revisi undang-undang jelas tidak mencabut atau mengotak-atik inti dari undang-undang yang masih berlaku.

Tidak mengherankan apabila pihak pers dan semua pengampu kepentingan di bidang jurnalistik meradang membaca naskah RUU Revisi Undang-undang Penyiaran yang sedang digodok oleh pihak Baleg DPR RI dan pada 29 Mei yang akan datang akan diajukan sebagai suatu Rancangan Undang-undang secara resmi. 

Ini bukanlah suatu RUU Revisi Undang-undang Penyiaran melainkan Rancangan Undang-undang Penyiaran yang baru. 

Rancangan Undang-undang Penyiaran Baru ini akan memiliki berbagai keuntungan terhadap kepentingan berbagai stakeholders. Keuntungan ini belum lagi dalam hal penggunaan peran media sosial seperti YouTube, Instagram dan facebook yang akan memberikan kemudahan-kemudahan secara langsung dan dicoba untuk diatur di dalam naskah Rancangan Undang-undang Penyiaran Baru tadi. 

Tentunya apabila semua media sosial tersebut dibiarkan untuk didefinisikan sebagai saluran komunikasi alias saluran penyiaran.

Dengan demikian, dari naskah tersebut dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan pers dan kemerdekaan rakyat di Indonesia memang sedang dilucuti terang-terangan di depan mata kita sendiri.

Juniarti Soehardjo, S.H., M.Si., Peneliti dan Pemerhati Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi serta Hukum Media. Ahli Pers Dewan Pers, Redaktur Pelaksana RMOLJawaTengah, Wakil Ketua Komisi Hukum PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), Penggemar Sejarah Eropa Kuno dan Pengamat International Affairs.

Tulisan merupakan opini pribadi, tidak merepresentasikan atau mewakili organisasi/institusi/lembaga di atas.