Disrupsi Teknologi: Suatu Tsunami Terhadap Profesi Jurnalis

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menyatakan telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 Tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital Untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas.


Hal ini ia umumkan pada acara puncak Hari Pers Nasional di Jakarta pada Selasa, 20 Februari 2024.

Peraturan Presiden ini sudah ditunggu oleh insan pers yang menginginkan adanya keadilan dalam pembagian kue dari keuntungan pendapatan selama ini dinikmati oleh pihak platform digital selama bertahun-tahun.

Sebelum membicarakan platform digital, maka sebaiknya kita membahas terlebih dahulu apa itu disrupsi teknologi yang menyebabkan gegap gempita disahkannya Peraturan Presiden populer di antara para pembentuknya dengan sebutan Perpres tentang Publisher’s Rights.

Pada awalnya adalah kemajuan teknologi informasi. Semua ini tidak secara langsung memicu kondisi disrupsi digital dimana media konvensional menemukan diri mereka berada di dalam persimpangan jalan. Tetapi dengan kemudahan penyediaan dan semakin murahnya gawai dan akses internet dan telekomunikasi, maka teknologi informasi mendadak mengalami kondisi mendapat durian runtuh (windfal) dan selanjutnya semua adalah sejarah.

Kemudian dari platform teknologi informasi tersebut muncul media sosial dalam segala aplikasi baik berbasis teks, audio, visual mau pun audio visual sehingga media sosial pada akhirnya meliputi segala dimiliki dinikmati oleh media massa. 

Perusahaan media dan jurnalis yang telah secara serius mengembangkan usaha dan menekuni pekerjaannya sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme dan memulai pekerjaannya dengan bekerja dari tingkat paling bawah tiba-tiba menghadapi berbagai kenyataan di abad XXI.

Jurnalis konvensional, dari media mainstream dari cetak hingga elektronik (penyiaran televisi dan radio) hingga media online, merasakan langsung tergerusnya keuntungan yang mereka nikmati sebagai perusahaan dan jurnalis dalam memiliki akses terhadap narasumber selama ini mereka miliki. 

Secara perlahan-lahan kedudukan mereka sebagai penyedia informasi diambil oleh pihak-pihak yang memiliki akses dan kemampuan sama tetapi tidak memiliki pendidikan dan kualifikasi sebagai wartawan. Namun, pihak-pihak yang memiliki kesamaan dengan para jurnalis itu tidak terikat dengan peraturan perusahaan dan semua yang berkaitan dengan kode etik jurnalistik. Mereka memiliki julukan influencer atau pemberi pengaruh kepada para pengikut atau pembaca dan pendengarnya. 

Influencer jelas bukan karyawan yang memiliki hierarki kepemimpinan. Mereka tidak memiliki Pemimpin Redaksi yang memiliki beban besar untuk bertanggung jawab atas kesalahan yang jurnalis lakukan. Mereka tidak memiliki Redaktur Pelaksana yang akan memberikan arahan dan memberikan lampu hijau naik tidaknya suatu berita yang dibuat oleh jurnalis ke media mereka. Mereka juga bukan pegawai atau karyawan yang menerima upah setiap akhir bulan dan THR setiap suatu Hari Raya menghampiri.

Influencer adalah pekerja independen. Karena influencer bukan jurnalis yang dipersyaratkan memiliki sertifikasi uji kemampuan wartawan untuk memiliki jenjang karier di bidang jurnalistik, maka influencer ini memiliki lingkup gerak yang lebih bebas. 

Influencer juga tidak perlu terikat dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, apalagi tunduk pada kode etik jurnalisme dan semua peraturan turunannya yang disahkan oleh Dewan Pers. Ia tidak wajib memberikan peliputan yang cover both sides dari suatu kondisi atau pun peristiwa. Ia juga tidak perlu mengingat formula 5 W (Who, What, When, Where, Why) + 1 H (How) untuk menghasilkan suatu karya jurnalistik yang bisa dipertanggung jawabkan. 

Kenyataan ini memberikan kesempatan tidak hanya bagi wartawan dan influencer memproduksi konten, tetapi bagi orang awam. Orang awam yang sama bahkan tidak mengetahui apa pun mengenai azas jurnalistik untuk taat pada 6M yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi. Mereka juga tidak terikat untuk bersikap independen, menempuh cara profesional dalam bertugas, menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak membuat berita bohong, tidak menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan seterusnya. 

Pendeknya setiap orang yang memiliki smartphone dan akses untuk terhubung dengan internet akan mampu membuat konten dengan segala keuntungan dan kerugian yang akan mengikutinya. Tidak ada batasan umur apalagi pertanggung jawaban yang mengikuti perilaku mereka. Kecuali apabila influencer dan content creator tersebut memasuki ranah tindak pidana dan fitnah.

Sekali lagi, media sosial awalnya adalah suatu media untuk beranjangsana dengan orang-orang sudah saling mengenal dan kegemaran sama, kemudian berkembang untuk membentuk suatu komunitas dengan perhatian dan kegemaran yang sama di lingkungan masyarakat global. Tetapi media sosial paruh kedua abad XXI sudah menjadi suatu media baru yang sangat berdaya dan bahkan mampu menimbulkan profesi baru. 

Tidak tertutup kemungkinan apabila para influencer ini telah berada posisi yang mapan maka ia akan memiliki tim pendukung produksinya, baik itu produser mau pun program director, yang akan mengatur penjadwalan pembuatan konten hingga peluncurannya disesuaikan dengan jadwal dan kondisi yang diperhitungkan menguntungkan. 

Dalam prakteknya, influencer dengan kebebasannya akan mencari suatu konten yang menimbulkan engagement tinggi dengan para pengikutnya. Engagement ini tidak perlu tunduk pada perilaku diharapkan dari seorang profesional. Apabila influencer memiliki engagement sangat tinggi, dan memiliki jumlah pengikut mencapai angka ratusan ribu bahkan jutaan, maka semakin pula ia berpengaruh. 

Semakin banyak pemirsa dan pendengarnya berduyun-duyun memenuhi akunnya, maka ia akan menghasilkan uang dan donasi sebanyak-banyaknya. Semua pihak perusahaan ingin mengikuti tingginya pengaruh si influencer dan akan berupaya untuk mengikuti arusnya. Dengan kata lain, keuntungan finansial akan merupakan hal tak terkira.

Influencer Indonesia terkenal saat ini misalnya Deddy Cobuzier mampu menembus jalur-jalur tidak biasa dan mampu menembus kalangan pemerintahan dan pejabat yang selama ini hanya dimiliki oleh jurnalis-jurnalis senior. Ia bahkan memiliki pangkat tituler di TNI Angkatan Darat karena dianggap pantas mendapatkannya. Channel YouTubenya memiliki pelanggan sebanyak 22 juta orang. Najwa Shihab yang bernas dan lincah memiliki pengikut sebanyak 9.97 juta. Keduanya jelas memiliki tim yang solid untuk mendukung podcast mereka yang melakukan riset dan mengikuti perkembangan mutakhir politik Indonesia. Jelas mereka memiliki pekerjaan (dan keuntungan material) yang serius sebagai podcaster dan influencer. 

Semua pemasukan diterima oleh pihak-pihak influencer, baik dari monetisasi akibat engagement tinggi mau pun sponsor masing-masing akan mereka langsung terima tanpa perlu masuk ke dalam kocek perusahaan. Keuntungan langsung kepada mereka ini dengan catatan apabila mereka memiliki perusahaan sendiri untuk mendukung usahanya. Mereka sudah tentu harus berbagi dengan tim masing-masing. 

Sudah tentu pembagiannya pun akan lebih mudah bagi mereka dari pada apabila mereka bekerja sebagai karyawan suatu perusahaan. Influencer asing seperti legenda sepak bola seperti Lionel Messi memiliki followers di akun Instagram sebanyak 499 juta orang, yakni jumlah yang melebihi populasi Republik Indonesia. Christiano Ronaldo, sang mahabintang yang sekarang bermain di klub bola di Arab Saudi, memiliki followers di Instagram yang jumlahnya lebih fantastis lagi, yakni 622 juta orang yang nyaris mengungguli total penduduk kawasan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations).  

Lalu apa hubungannya antara platform digital dengan content creator berupa para influencer ini? Presiden sendiri sudah mengatakan bahwa disahkannya Perpres ini bukan untuk mengatur para influencer yang disebut di atas. 

Apa hubungan semua ini? Sampai-sampai Dewan Pers dan para konstituennya menyodorkan naskah akademis dan naskah legal mereka kepada pihak pemerintah (dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika)?

Faktanya adalah platform digital tentu mendapatkan asupan pendapatan yang sangat besar dari engagement. Yang diatur di dalam Peraturan Presiden ini adalah searching engines atau mesin pencari yang selama ini selama hampir dua dasawarsa telah mendapatkan profits (keuntungan). Mereka mendapuk keuntungan karena semua lalu lintas internet mencari berita-berita, gossip terbaru, serta akun-akun asli dan akun-akun dari para penggemar (sering disebut fans based account) itu selalu melalui mereka. 

Lalu lintas itu hanya dibagi-bagi dengan pembagian presentase yang berbeda-beda. Semuanya tergantung kuat tidaknya searching engines tersebut dalam negosiasi dengan perusahaan penyedia jasa internet dan perusahaan telekomunikasi dan content creator. Bayangkan dalam sehari berapa banyak pertanyaan yang diajukan manusia di bumi yang berjumlah milyaran ini kepada searching engines tersebut. Dan berapa banyak pundi-pundi dollar yang mereka nikmati.

Sudah tentu karena insan pers menginginkan pihak pemerintah bertindak sebagai pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah bukan kementerian teknis yang mengatur masalah teknis penyediaan jasa internet dan search engines. Pemerintah di sini adalah Presiden yang selama ini selalu menandatangani keabsahan penentuan Anggota Dewan Pers terpilih. Pemerintah diharapkan untuk memberikan kerangka kerja sama yang pas antara pers dan platform digital. 

Artinya yang diharapkan oleh insan pers adalah agar search engines yang merupakan institusi atau badan hukum yang berada di Indonesia tunduk pada peraturan perundang-undangan di Indonesia  dan karenanya dapat berbagi kue pendapatan. Pers sudah jelas mengambil posisi sebagai influencer dan pihak yang menyajikan konten atau digital content creator. 

Seperti yang telah disebut di atas, manusia di bumi banyak yang ingin mencari berita termutakhir terhadap suatu subyek yang disukainya. Berita-berita itu pada kenyataannya telah dibuat oleh wartawan yang berjibaku di lapangan.

Dengan kata lain, jurnalis adalah profesi content creator tertua yang selama ini terikat oleh peraturan perundang-undangan dan semua pendekatan legal (legalistic approach) yang mengikatnya sebagai profesional, termasuk kode etik jurnalistik yang harus ditaatinya. 

Untuk diskusi tentang Peraturan Presiden Tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital Untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas nampaknya harus ditunda hingga Kamis depan. Sebab apabila dibahas pada tulisan ini akan menjadi terlalu luas dan panjang.